CERPEN: Rumah Aman

Cerpen Rumah Aman

Effi S. Hidayat

Tubuhnya gemetar, wajahnya lesi sepucat cat tembok. Mulutnya rapat terkunci. Segencar apa pun dia ditanya, tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Isak tangis pun tiada. Benar, tak setetes pun air terlihat di matanya yang semakin cekung saja.

“Kau lihat dia? Aku takut sekali melihat reaksi anak itu,Tia,” Rum berbisik.Tak ada yang bisa kulakukan selain mengangguk setuju.

Sementara di seberang meja, seorang lelaki dengan wajah merah padam melempar umpatan berang tak berjeda.

“Rumah Aman macam apa ini? Kami percaya penuh titipkan puteri kami untuk terapi, tetapi malah apa yang dia dapatkan? Apaaa?”. 

Suara lelaki itu menggelegar. Di sampingnya, seorang perempuan berwajah sendu tak henti terisak.

Sungguh situasi mencekam yang teramat tak mengenakkan. Kalau boleh memilih, aku ingin kabur saja. Tetapi, tentu saja tak bisa, tugasku bersama Rum adalah mendampingi Ibu Nani. Sebagai asistennya  kami berdua harus duduk manis diam-diam di sisi kiri dan kanannya.

Apa yang dilakukan Bu Nani? Dia tak mampu menjawab sepatah katapun! Pimpinan “Rumah Aman”, tempat terapi kejiwaan di mana kami bekerja, yang biasa tegas dan penuh percaya diri menghadapi klien, terlebih para karyawannya — mendadak seperti seekor singa sirkus yang kelihatan sekali terburu-buru ingin pulang kandang.

Tetapi, tentu saja tak bisa! Kami semua, tepatnya Bu Nani harus bertanggung- jawab pada apa yang telah terjadi. Dan, lelaki itu, sama sekali tidak salah jika terus saja marah besar mencerca.

Aku bisa merasakan sakit hatinya. Siapa yang tak murka dan sedih luar biasa jika anak perempuan yang dititipkan untuk melakukan terapi malah kemudian bertubi menjadi korban kekerasan seksual?

                     

Andini namanya. Usianya belum genap 14 tahun. Masih duduk di kelas satu SMP ketika diperkosa kali pertama oleh guru agamanya sendiri. Ya, saat itu dia tinggal di  Klaten bersama ayah dan ibu, serta dua orang adik lelakinya. Karena peristiwa itulah mereka sekeluarga lalu pindah kota.

Sang ayah harus mencari pekerjaan baru . Dan, Andini bersama ibu dan kedua adiknya harus memulai kehidupan  berbeda. Sekolah dan tetangga yang tidak lagi sama, termasuk mengikuti terapi mental pemulihan — mungkin itu akan mampu menyembuhkan luka Andini. Kalau saja , peristiwa menggenaskan tak terulang kembali. Saat ini, di “Rumah Aman” kami…

Oh. Aku menghela napas panjang. Masih kuingat jelas data fisik maupun kisah lengkap remaja itu. Tak tega, diam-diam aku melirik wajah lesi yang tak mampu menyembunyikan kejelitaannya.

Ya, mungkinkah ini penyebab pelecehan berulang itu? Biarpun masih belum mekar betul, ibarat bunga sekalipun baru kuncupnya saja, Andini… entah kenapa terlihat begitu memikat hati.

Aku saja yang notabene seorang perempuan harus mengakui hal itu. Kulitnya putih mulus. Lekuk bibir dan pipinya yang ranum, ditambah mata bundar bulat secemerlang purnama sungguh teramat menggairahkan.

Tentu demikian yang dirasa Abang Tahir. Begitu kami biasa memanggilnya. Di “Rumah Aman”, tempatnya bekerja lima tahun belakangan ini, sosoknya cukup disegani. Bukan karena kumisnya yang tebal, tapi sikap mengayomi kebapakannya memang menonjol. Itu sebabnya Bu Nani memercayakan kasus sulit seperti Andini untuk ia tangani.

Biasanya pula, dalam jangka waktu tak lama, anak-anak remaja yang pernah terjerat narkoba seperti Rio si Anak Jakarta, atau Rudy mantan siswa di New York , semua takluk bertekuk lutut di bawah bimbingan Abang Tahir.

Bukan saja sebagai sarjana psikologi yang lulus summa cum laude, secara ilmu tasawuf pun ia mumpuni. ‘Ah, tetapi, mengapa terhadap seorang remaja mungil seperti Andini, imanmu luntur, Bang?’ Aku merintih dalam hati.

Andini mengangkat kepalanya,sekejap bersirobok pandang denganku, namun secepat kilat ia kembali mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Apa yang dilihatnya di sana?

Kurasakan sangat, berapa perih luka sang bunga mawar yang luruh sebelum mekar itu…. Tega nian Bang Tahir memerkosanya berulang dan bahkan ‘menjual’-nya juga kepada orang di luar sana. Cih, kejinya lelaki itu!

Pantas Bu Nani syok berat, dan bahkan pingsan berulangkali saat berita itu terkuak dan menyebar begitu cepat. Hanya sekedipan mata, “Rumah Aman” yang dibinanya berpuluh tahun hancur berantakan.

“Pokoknya kami tidak mau tahu! Pelakunya harus dijebloskan ke penjara dan dihukum seberat-beratnya. Dan, dan… Andini, duh, Nak… Apalagi yang harus kami perbuat untukmu? Ayah tak sanggup, Dini… tak sanggup! ” Lelaki, ayah Andini itu terus menggedor meja, bahkan memukuli dadanya sendiri. Sehingga tangannya kemudian ditangkap dan digenggam erat-erat oleh isterinya.

Istighfar, Pak. Istighfar…., Kita masih punya Tuhan, “Kudengar sayup saja bisikan perempuan berkerudung abu-abu itu. Tetapi, nyess, sesuatu  menembus relung hatiku. Terlebih kemudian, sesuatu pemandangan tak biasa kudapati.

Perlahan-lahan tetapi pasti, Andini bangkit dari tempat duduknya. Masih terlihat lunglai tak bertulang, namun ia merengkuh, memeluk ayah dan ibunya erat. Erat sekali. Seolah mencoba meneguhkan. Membuatku dan Rum, juga Bu Nani yang menyaksikan tak mampu menahan linangan airmata.

Ah, terbuat dari apakah hatimu, Andini?

Gadis kecil itu masih tak berkata apa-apa. Tetapi masih kuingat sangat ; beberapa sesi terapi yang pernah ia lakukan, kutemukan sosok perempuan tangguh tersembunyi mengilat di relung batinnya.

Namun siapa sangka kekerasan seksual itu berulangkali harus menimpanya. Lalu, lalu…sekuat apa dia kini?

Aku berpandangan dalam diam bersama Rum. Keringat dingin membanjiri tubuhku.

Bang Tahir memang sudah ditangkap. Dan, semoga ia mendapat hukuman seberat-berat dosanya! Hanya saja, apakah ia sungguh menyesali perbuatan durjananya? Aku sungguh tak tahu dan tak mau tahu.

Bu Nani sendiri sudah menegaskan akan mengganti segala kerugian yang diderita Andini. Baik secara materil maupun kejiwaan. “Izinkan kami melanjutkan terapi lagi bagi Andini, Bu, Pak…”, kudengar akhirnya Bu Nani memberanikan diri mengajukan permohonan layanan bantuan.

” Apa? Tidaaak! Tidak mungkin Dini kutitipkan lagi di sini. Rumah Aman? Rumah Aman apa iniii? Sebaiknya bubarkan saja, tak pantas lagi nama itu dipakai. Rumah laknaaat….!”

“Hus, hus… Pak. Su… sudahlah. Lebih baik kita pulang sekarang. Kita pikirkan dan pikul bersama apa yang terbaik untuk Andini, Ya, Nak?” Lagi-lagi aku tertegun. Ibu Andini begitu sabar dan bijak. Aku pikir dia-lah selaiknya orang terbaik yang harus mendampingi Andini di rumahnya sendiri. Sama sekali bukan di “Rumah Aman”.

Ah, aku tersentak. Aku mendiskreditkan  tempatku bekerja. Namun memang sudah kuputuskan tegas dalam hati, selepas kasus ini aku siap melayangkan surat permohonan berhenti bekerja. “Rumah Aman” yang tak lagi aman… Bagaimana mungkin  kupertahankan citra yang selama ini kugadang-gadang sarat kebanggaan?

Hais, menyesal aku Tia, pernah naksir Bang Tahir! ” bisikan Rum di telingaku mendadak bikin kudukku meremang.

“Dasar Srigala berbulu domba!”Kali ini kudengar erangan lirih menggeram Bu Nani .”Maafkan kami, Nak Andini…Maafkan kami….”

Di depan pintu papan nama “Rumah Aman” yang seolah ikut gemetar terguncang gempa, kami bertiga terpaku membeku menyaksikan Andini  ke luar diapit kedua orangtuanya.

Langkah kakinya terlihat goyah, namun kepalanya tegak dengan pandangan mata menatap lurus ke depan. Diam-diam aku bergidik merasakan tekad bajanya yang menyebar di udara. Kembang itu belum sepenuhnya luruh, bukan?

Dalam lunglai jiwa di lubuk hati terdalam aku bersujud syukur mampu bertahan; menjaga mahkotaku yang “satu” itu. Ya, ya, walau aku …aku pun… pernah kesengsem berat kepada lelaki itu! Bahkan sejujurnya, dia sudah berjanji akan membawaku bertemu dengan orang tuanya awal bulan ini.

Duh!

____________

Avatar photo

About Effi S Hidayat

Wartawan Femina (1990-2000), Penulis, Editor Lepas, tinggal di BSD Serpong, Tangerang