CERPEN : TERINGAT LUNA

Dion membalik badan. Bagian ranjang di sebelahnya kosong. Di mana Melani? Oh, di jendela. Dibiarkannya sejenak. Dia tahu istrinya sesekali suka menatap bulan.

Memang itu yang dilakukan Mel. Ia menyingkap vitrase jendela kamarnya, menatap bulan penuh yang bergantung di langit. Dia menarik napas dalam-dalam. Teringat dia akan Luna, yang lahir pas bulan purnama. Usianya kini 16 tahun, persis Melani dulu.

Waktu itu ia masih kelas dua SMA, Dion juga, dan mereka belum terikat tali merah perkawinan. Dan bayi itu…sudah dijanjikan pada orang lain, entah siapa. Sebagai pihak yang ‘bersalah’ dia tidak berani bertanya. Apalagi Dion. Lagipula dia tahu, itu rahasia.

Mel menatap purnama lagi. “Luna, Nak, mudah-mudahan kau di sana sedang menatap bulan yang sama,” katanya dalam hati.

Enambelas tahun lalu, sesungguhnya hati Melani sudah dewasa. Buktinya hati itu tidak pernah beralih dari Dion, begitu pula sebaliknya. Sayangnya mereka melakukan ‘kesalahan’ yang membuahkan Luna, lalu menumbuhkan kasih, lalu menorehkan luka bernama rindu. Itu terjadi padanya, karena dia seorang ibu. Entah Dion.

Didengarnya langkah Dion. Lalu terasa sentuhan tangannya di bahu. “Kamu lihat apa? Super moon yang lagi viral itu?”

“Super moon atau bukan, bulan penuh selalu membuatku ingat Luna. Tiga hari lagi dia berulang tahun.”

“Oh ya?”

“Dia kan lahir tanggal 10 Mei. Waktu itu bulan sedang penuh.”

“Kurasa dia happy di sana. Bukankah dia pelengkap kebahagiaan sepasang orang tua yang mendambakan anak?”

“Mudah-mudahan. Tapi mana kita tahu? Bisa saja sebaliknya.”

“Huss, sudahlah, Mel. Berpikir positif saja. Mmmm…sudah cukup lihat bulannya? Balik yuk….”

Mel menatap purnama sekali lagi, lalu mengiringi langkah Dion kembali ke tempat tidur.

“Aku masih sering menyesal melepas Luna, Dion,” keluhnya sambil duduk bersandar ke bantalnya dan memeluk gulingnya.

“Apa yang sudah terjadi tidak perlu disesalkan, Mel. Coba kita ikuti cara pandang orang tua kita. Seandainya kita menikah dan punya anak dalam usia 16 tahun….”

Mel melanjutkan kisah itu, “Kita akan putus sekolah. Kau tidak akan selesai S2 dan aku S1. Kita tidak akan bekerja layak dan berpenghasilan. Lalu bagaimana jadinya Luna?”

“Dia terjepit di antara dua ortu yang belum bisa apa-apa, yang mungkin setiap saat hanya memikirkan, dari mana ada uang untuk membesarkannya,” imbuh Don yang mendapat ‘angin’.

“Ortu, yang dirinya pun masih anak-anak,” Mel mengulang apa kata ibunya belasan tahun lalu. “Tapi Dion, mereka hanya memperturutkan logika. Mereka tidak memikirkan kita, setidaknya aku. Aku seorang ibu, Dion, aku sayang anakku, aku rindu Luna.”

Dion meraih Mel dan membiarkannya meringkuk dalam pelukannya. Dia tahu, kalau sudah begitu, Mel jangan dibantah. Bisa-bisa curhat berubah jadi perang.

Lama. Kemudian Dion melanjutkan, “Mel, kamu tahu nggak, kita telah membuktikan bahwa ortu kita salah.”

“Hah? Bukannya mereka selalu benar?”

“Tidak, dalam hal ini. Kamu dan aku bukan anak-anak yang tidak bertanggungjawab pada perasaan kita.”

“Maksudmu?”

“Kita menjaga cinta kita, walau dipisah jarak.”

“Ya,” jawab Mel. Ia tersenyum. “Mamaku luluh ketika kau pulang dari sana dan langsung menyusun rencana lamaran. Kamis kau sampai, Minggu melamar. Ah, acara lamaran yang heboh….”

Mel teringat acara hari itu, bagaimana ayah mertuanya ‘berpidato’ dengan gugup, bagaimana ibu mertuanya memasangkan kalung di leher Mel sebagai tanda ikatan dua keluarga, lalu mencium pipinya kanan dan kiri. Sementara seluruh pasukan pelamar – dua belas orang! − ditambah sederet keluarga Mel sendiri, bertepuk tangan dengan riuh.

Lalu Mama mempersilakan para tamu ke ruang makan. “Ayo, ayo, makan seadanya.” Padahal Mama sudah mengerahkan seluruh kemampuannya memasak untuk menyambut calon besan.

“Kamu cantik deh sebagai pengantin,” Dion meluncurkan rayuan lanjutannya.

Mel tidak membalas dengan bertanya, “Memangnya sekarang jelek?” Atau balas merayu bahwa Dion tampan mengenakan tuksedo. Ia masih ingin sedikit merajuk. Katanya, “Tapi mungkin Tuhan belum sepenuhnya mengampuni kesalahanku.”

“Maksudmu?”

“Setelah menikah resmi, setelah jadi istri, aku malah kosong bertahun-tahun.”

“Mel, jangan berpikir begitu. Kita memang salah. Tapi kita mengakui kesalahan itu dan menanggung akibatnya. Kita diampuni. Tuhan baik, Mel.”

Pelan-pelan tangan Dion turun dari lengan ke perut Mel yang baru sedikit berubah bentuk. “Buktinya, bukankah sudah ada…adik Luna?”

Senyum Mel pelan-pelan mengembang. Ia menutupi tangan besar Dion dengan tangannya yang mungil.

“Ya, Tuhan baik,” katanya.

Dua pasang mata saling menatap dalam keremangan malam; dua pasang mata yang berkilat dengan cinta yang sarat.

7 Juni 2021

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.