Seide.id – Suatu ketika, aku menonton tayangan Natgeo di tv. Untuk usiaku, ini jauh lebih menghibur dan ~tentu saja~ lebih menambah pengetahuan ketimbang nonton sinetron, misalnya.
Di tayangan itu, aku melihat banyak sekali ikan air tawar di danau di Malawi-Afrika, sangat mirip dengan mujair. Sangat beragam. Mulai dari ukuran, jenis dan warna. Mulai dari sebesar ikan cupang sampai sebesar ikan nila. Ikan yang berukuran kecil, warnanya mulai dari yang standar yaitu perak, abu-abu, coklat, ungu, biru tua, semu hijau, oranye bahkan ada yang bercorak seperti pelangi. Yang lebih besar, warnanya cenderung gelap dan monoton.
Tiba-tiba ada serombongan ikan bertubuh agak besar sekitar 15-20 cm (menurut reporternya), berwarna perak agak gelap megarah ke-abu-abu, berjalan beriringan. Ikan-ikan lain seperti menyingkir (mungkin sambil menggerutu). Lalu, beberapa ekor ‘merebut’ tempat yang sudah dibuat oleh ikan chiklid lain yang lebih kecil. Tempat itu dibuat sedemikian rupa sedikit-demi sedikit dengan sangat telaten, sehingga mirip gunung dari pasir agak kasar. Kerikil di susun di sekitar ‘kaki gunung’ supaya pasir tak merosot. Bagaimana ikan bisa ‘berfikir’ seperti itu?
Di tengah kerucut dari pasir itu terdapat cekungan mirip kawah. Ternyata ‘kawah’ itu adalah semacam pelaminan, atau tempat yg dibuat chiklid jantan untuk menarik hati pasangannya untuk bertelur. Chiklid yang membuat ‘pelaminan’ itu, (diclose up, seperti bersungut-sungut, hehe) tapi terpaksa pergi,… membuat ‘pelaminan’ lain, agak jauh dari ‘chiklid preman’ tadi.
Nah, rombongan chiklid besar yang berwarna perak mengarah ke-abu-abu bergaris-garis hitam itu, sangat mirip-rip, plek-ketiplek dengan ikan mujair.
Bagaimana dengan nila? Ikan nila, yang kita kenal bisa berukuran lebih besar daripada mujair, lebih kecil daripada gurame dan warnanya sekilas mirip ikan mas. Rasa dagingnya enak, antara mujair, gurame dan mas. Maka aku berkesimpulan: mujair berselingkuh dengan gurame dan ikan mas.
Dulu, ketika SD, kita ~atau paling tidak aku~ terpesona kepada pak Mujair yang menurut guru dan buku-buku, adalah sosok yang ‘menemukan’ mujair. Lalu, sejak saat itu, ikan itu dinamai sesuai dengan nama penemunya yaitu Mujair.
Suatu ketika, aku diajak teman ke kolam ikannya. Kolam itu sebetulnya budidaya ikan mas. Tapi ketika memancing, aku malah berkali-kali mendapat ikan mujair. Lho?
Menurutnya, kalam apa pun yang dibudidayakan, kecenderungannya, bisa dipastikan terdapat ikan mujair. Padahal tidak disenai atau dibudidayakan. Lho, lagi.
Ternyata setelah mengintip mbah Google, begini penjelasannya.
Ikan yang banyak terdapat di perairan air tawar, baik sungai, danau mau pun air payau (muara sungai) di negara-negara Afika timur dan Amerika latin. Penyebarannya sampai ke-Asia, bahkan sampai ke-sungai di plosok Blitar lalu ditemukan oleh pak Mujair pun, masih misteri.
Ikan ini unik dan enak. Unik karena telur dan calon anak-anaknya setelah dibuahi oleh pejantan, lalu ‘disembunyikan’ di dalam mulut induknya. Gunanya supaya anak-anaknya itu aman dari predator. Unik kerena secara alamiah jika insting anak-anak ikan itu ‘merasa’ terancam, mereka akan segera masuk ke dalam mulut ibunya. Kadang jika menonton di televisi.. sepertinya tak mungkin ikan kecil-kecil sebanyak itu, bisa masuk. Eh ternyata bisa.
Enak (paling tidak menurut lidahku), jika digoreng kering dengan bumbu ketumbar, bawang putih dan garam.. wuiiih ikan itu bahkan tak tersisa sampai kepala-kepalanya. Apalagi ‘dijodohkan’ dengan gulai daun singkong atau sayur lodeh ditingkah sambel cabe ijo.
Di Afrika, ikan itu bernama: Chiklid. Jenisnya buanyak sekali, sekitar 150-200an jenis. Meski di perairan kita, jenis yang kita kenal cuma 2, yaitu mujair dan nila. Jika mujair dinamakan untukmenggormati pak Mujair, nama penemunya, …mungkin nila juga dinamai demikian untuk menghormati penemunya yang bernama ‘bu Nilasari?… (mungkin lo).
Chiklid atau mujair atau tilapia, termasuk ikan purba. Ikan ini sangat mudah beradaptasi, makanya bisa survive sampai hari ini. Penyebarannya bisa dibilang hampir ke-seluruh pelosok dunia. Mbah Darwin, pakar evolusi pernah berkata, bahwa: “Mahluk hidup yang akan survive bukanlah mahluk yang besar, dominan, kuat, sangar bahkan cerdas, tapi mahluk yang bisa beradaptasi.
Chiklid, memakan segala. Mulai dari cacing, binatang melata kecil di dalam air, kutu-kutu, laron, semut atau rayap nyasar, dedaunan, buah-buahan, biji-bijian, sampai limbah rumah tangga (ngmong-ngomong soal pemakan segala, tak ada mahluk yang mengalahkan manusia, manusia bisa memakan jembatan, anggaran, jalan tol bahkan memakan teman ..makanya manusia konon mahluk paling survive di masa depan).
Di banyak belahan dunia, chiklid malah digunakan sebagai semacam pengukur bagi penyebaran tumbuhan air tertentu. Di Amerika, meski perlakuan polisi lingkungan(?)nya tak seekstrem perlakuannya terhadap ikan gabus atau toman, chiklid termasuk predator yang agak mengganggu habitat sungai atau danau.
Ikan gabus atau toman di Amerika malah dianggap hama karena ikan gabus yang konon diselundupkan atau tak sengaja terbawa oleh orang Asia menjadi ikan yg diburu (bukan untuk dikonsumsi, tapi dimusnahkan!), karena sangat mengganggu bahkan merusak ekosistem sungai-sungai di Amerika, terutama di sungai Potomax. Tapi, aku sedang blanyongan tentang chiklid. Jadi lain kali saja aku blanyongan tentang ikan gabus atau toman yang menjadi hama di Amerika.
Yang jelas, semakin survive, semakin bisa beradaptasi, ikan-ikan yang bernama chiklid, mujair, tilapia atau apa pun saja namanya, tentu sangat munguntungkan manusia. Karena ikan-ikan itu, jika digoreng garing, dipecak (menu betawi, diberi sambel tomat nyemek-nyemek), dipesmol atau dipepes,…hmmm…
(Aries Tanjung)