Cina

Salah-satu, keinginanku yang belum tercapai adalah keluyuran ke-Cina. Busyeeet, Cina ‘kan luas banget. Mau ke-Cina sebelah maneee?. Yaa, sebelah mana saja. Dulu, sih waktu masih muda dan kuat (kuat tenaga, ya bukan biaya haha,…biaya sih teteup ngandelin kantor) cita-citanya, yaa sebanyak dan sejauh mungkin yang bisa dicapai.

Jika membayangkan, membaca dan melihat di saluran Natgeo, Cina begitu luas. Pasti tekstur daratannya kontras atau paling tidak, berbeda dgn kita. Negri kita, ‘berpencar’ , dipisahkan oleh laut menjadi sekitar 8.000an pulau.

Sementara Cina yang begitu luasnya, terletak dalam 1 daratan. Daratan yang begitu luas, dengan tekstur relatif datar tanpa gunung-gunung tinggi, pasti sesuatu yang sangat unik.

Pegunungan memang ada, dan juga ekstrim, karena pegunungan tertinggi di dunia, yaitu Himalaya di selatan. Berbatasan dengan negara: Rusia, India, Nepal, Buthan, Pakistan(?), Afganistan dll. Konon di zaman purba, daratan (yang sekarang India dan Pakista) terpisah, dengan daratan Cina. Pergeseran itu menyebabkan daratan di utara India dan selatan Cina ‘terangkat’ menjadi pegunungan Himalaya.

Yaa, pernah juga sih, mrlipir di bagian yang sangat pinggir, sebentar dan ‘sangat standar wisatawan’ ke wilayah Cina. Itu pun, aku curi-curi masuk ke wilayah Cina di luar tugas.

Dunsanak tau ‘kan waktu aku ke-mana?. Yak, waktu itu aku ke-Hongkong. Membuat laporan unik. Yaitu meliput kehidupan Hongkong, menjelang dan sesudah wilayah itu ‘dikembalikan’ ke-Cina, setelah ‘dipinjam’ (kalau tak salah karena perang candu) oleh Inggris, selama 90 tahun. Unik, karena aku membuat laporan lewat coretan kartun.

Waktu itu aku ‘menyasarkan diri’ (tanpa sepegetahuan kantor, haha) ke-Cina. Dgn agak merayu, aku mengajak teman seperjalananku: “Ayolaah, mumpung disuruh kantor. kataku. Badunglah sedikit. Toh, kantor tak tau. Lagi pula, jika dengan biaya sendiri, belum tentu kita bisa”.

Rayuan tak mempan, akhirnya aku ‘mengejek dan memaksa’. Aku bilang,…biarlah uang saku kita habis, atau mungkin nombok, tapi kita sampai di Cina,…meski di pinggirnya saja. Eh, dia mau.

Maka ‘one day tour’ lah kami melewati perbatasan Hongkong-Cina, ‘standar wisatan’ yaitu kota Shenzen. Yang menurut pemandu wisatanya terkenal dengan “kota yang dibangun dalam semalam”. Kota Shenzen memang terlebih dulu dibangun infrastrukturnya dengan sangat cepat, baru manusia-manusia yang menempati menyusul kemudian.

Seorang teman pernah bercerita. Dia keluyuran ‘disuruh’ kantor Nenyusuri Cina. Dia bilang sampai mbelenger, karena kelamaan, karena harus berkomunikasi dengan bahasa Inggris seadanya (maksudku penduduk Cina, bukan temanku, temanku sih bahasa Inggrisnya jago atuuuh). Bahkan tak jarang menggunakan bahasa universal untuk berkomunikasi, yaitu bahasa Tarzan.

Suatu hari ketika di sebuah kota kecil, dia sedang tengak-tenguk di sebuah warung, dia mendengar sayup-sayup orang sedang berbicara dengan bahasa Indonesia terbata-bata, dengan dialeg…Sunda! Bahkan diselingi satu-dua kata berbahasa Sunda. Tentu saja reaksi sang teman campur aduk. Antara tak percaya dengan pendengarannya, kaget, heran, terpesona, dan bingung. Tapi tentu saja senang,…gembira. Diajaknyalah orang itu berbincang. Kalau perempuan -apalagi cantik- mungkin sudah dipeluk,…hahaha.

Aku pun punya pengalaman yang lucu juga di Hongkong. Waktu itu aku dan teman perjalananku sedang mencari apartemen tempat tinggal seseorang. Ini orang penting, karena aku membawa suatu titipan dari bos.

Ketika kami sedang melihat-lihat peta, berkutat, berdebat mencari bus nomor berapa yang sampai ke-sana (ternyata harus naik beberapa bus). Nyaris putus asa, akhirnya aku telpon ke apartemen tujuan. Dia menyarankan naik taksi saja. Aku bilang, bahwa aku belum seputus-asa itu. Kami akan tetap berusaha naik bus kataku.

“Terserah lo deh (bukan sayur) yang penting titipan gw, nyampe. Mulut gw sdh asem nih!” (dunsanak pasti bisa menduga bukan?, aku dititipi apa).

Ketika kami sedang berdebat itu, rupanya diperhatikan olah seorang manula. Lalu sang manula menegur kami dengan logat bahasa Indonesia th’60an(?), 70an(?).

“Gua perhati’in dari tadi lu-lu olang pada mau pigi ke sini ya (dia menyebut apartemen)?”.

Maka dengan setengah berteriak, aku nyatakan kesenanganku. Lalu sang manula memberitau, kami harus beberapa kali ganti bus untuk mencapai apartemen itu. Agak jauh di selatan Ho gkong, di sebuah pulau kecil.

Di Shenzen pun tak kalah lucu. Ini soal ‘kebiasaan kuliner’. Ketika itu kami sedang makan siang. Kami disatukan dengan beberapa wisatawan di sebuah meja bundar, yang bisa berputar itu.

Ketika sedang makan, seseorang bercerita tentang ketakjubannya sehabis melakukan wisata sungai.

“Bayangkan mas,…lebih dari 2 minggu, kami takjub dengan pemandangan indah di ke-dua sisi sungai yang kami telusuri. Air jernih. hutan-hutan asri, bukit-bukit batu pualam yang timbul tenggelam di sela-sela kabut. Seperti lukisan”, katanya ngelangut…(salah,…lukisan yang meniru alam! protesku dalam hati).

Sementara itu, istrinya kresak-kresek, membuka bungkusan plastik berminyak-minyak yang aku duga makanan. Ketika aku perhatikan, si ibu seperti malu-malu, lalu menawarkan bekalnya sambil berkata.

“Kalok keluyuran ke-luar Indonesia, lidah saya gak bisa dibohongin. Saya selalu membawa bekal ini.”

Rupanya:…ikan kering tak terlalu asin, teri dan kacang tanah dibalado. “Wuiiih, siapa takuuut”…

Kembali ke luasnya daratan Cina yang menjadi cita-cita keluyuranku (siapa tau ada yang berminat mengongkosi dengan ‘ganti ongkos’ yaitu kisah perjalanan yang selalu aku tulis dengan asyik dan menarik, hahaha).

Seorang pemandu wisata, di Shenzen, aku tanya: Berapa luas Cina. Tolong gambarkan, sehingga aku bisa mengerti atau paling tidak bisa meraba-raba dan membayangkan ‘seluas apa’ luasnya Cina itu.

Sang pemandu wisata, tengak-tenguk sejurus. Lalu, pemandu yang lahir dan besar di Semarang itu menganalogikan atau memberi gambaran keluasan wilayah Cina kurang lebih begini.

“Berapa jumlah provinsi di Indonesia” tanyanya.

Waktu itu provinsi Indonesia ‘masih’ 25, sekarang 34. Meski mungkin tak persis benar luas wilayah provinsi di Indonesia dibanding Cina, tapi katakanlah, rata-rata luasnya kurang-lebih sama.

Nah, bisa dibayangkan, Indonesia, dengan 25 provinsi itu begitu luas. Wilayah Indonesia, dari ujung barat ke-ujung timur, dipisahkan oleh laut. Nah Cina (waktu itu) ada 51 provinsi (entah sekarang berapa), berarti wilayahnya kurang-lebih 2x wilayah Indonesia lebih sedikit dan…daratan semua. Tak terpisahkan oleh laut. Bisa dibayangkan betapa luasnya?


Ilustrasi: lukisan agak lama. “A little girl pouring tea, in the Chinese room”…(cat air di atas kertas linen, 60x40cm)…

Aries Tanjung

Kaya