Seide.id -Seharusnya ajakan Farel Prayoga, saya ikuti. Tidak ada gunanya saya membanding-bandingkan dengan orang lain. Lebih baik mensyukuri yang ada agar saya bahagia.
Kenyataannya, bagaimana mungkin saya tidak membandingkan kedua gadis cantik dan menarik hati itu.
Awalnya saya ingin pinjam catatan kuliah hari Sabtu kemarin pada FR, karena hari itu saya harus masuk kerja untuk menyelesaikan laporan akhir tahun.
Ternyata Minggu siang itu FR pergi mendadak, sehingga lupa untuk menitipkan buku catatannya pada orang yang di rumah.
Kebetulan di rumah ada adik perempuan FR, WN yang baru pulang dari Senayan.
“Sebentar lagi Mbak juga pulang,” kata WN, ketika saya menanyakan kepastian berapa lama saya harus menunggu kepulangan FR.
Keasyikan ngobrol dengan WN membuat saya lupa waktu. Padahal tujuan saya pinjam catatan kuliah itu sekadar alasan untuk mendekati FR.
Secara kebetulan, atau saya yang ge-er. Ketika kuliah sore itu saya sering menangkap tatapan mata FR yang aneh.
Semula, saya berpikir FR itu pendiam, bahkan introvert. Dengan teman yang lain, ia juga tidak banyak ngobrol. Tapi perkiraan itu keliru. Karena FR banyak ngobrol, jika dengan teman yang cocok.
Yang membuat saya tertarik pada FR, karena mandiri dan prinsip
hidupnya terarah jelas. Selain bekerja, FR kuliah dengan biaya sendiri. Dan ia selalu optimistis menatap masa depan.
Dari kunjungan pertama, disusul yang kedua, dan seterusnya ke rumah FR, kami sering ngobrol bertiga dengan WN.
Anehnya, ketika saya mengajak FR untuk ke luar, ia seakan menghindar dengan segudang alasan. Sebaliknya, WN yang ingin ke luar untuk saya temani.
Berbeda dengan FR, WN cenderung manja, lincah, dan lebih menarik.
Membanding FR dan WN, membuat hati saya jadi bimbang. Sikap ketak-acuhan FR membuat saya ragu dengan perasaan sendiri. Bisa jadi selama ini saya ge-er pada FR. Sedang WN, masa depannya jauh dan tidak lebih sebagai adik.
Sore itu, seperti biasa WN menelepon. Selain menanyakan kesehatan, ia juga menanyakan perihal saya yang sudah lama tidak ke rumah.
“Mosok sibuk melulu,” gurau WN.
“Maklum nguli kerja ma nguliah,” kata saya sambil tertawa.
“Malam Minggunya kuliah?”
“Lha, kuliahnya kan Sabtu Minggu.”
“Jadi besok nggak bisa nemani?”
“Sori berat, deh…”
Klik! Hubungan diputus.
Mungkinkah WN marah padaku? Dada saya berdesir. Kemanjaan WN membuatku risau. Kini, setelah saya tidak banyak berharap pada FR, haruskah harapan itu saya alihkan pada WN?
Tiba-tiba saya jadi menyesal, karena mengecewakan WN. Hati ini pun jadi rindu.
Sepulang dari kantor saya langsung meluncur ke rumah WN.
Ketika saya membelokkan motor ke halaman rumah, saya melihat WN naik mobil. Dan di sebelahnya seorang cowok!
“Sori ya, Mas. Saya pergi dulu. Itu Mbak FR ada di rumah.”
Kuhela nafas. Ada yang menyesak di balik dada ini, dan nyeri.
Semula saya berpikir, tak ada rotan akar pun jadi. Saya seharusnya tidak membanding-bandingkan, tapi mensyukuri yang ada. Tapi semua itu terlambat, karena akar itu keburu dipotong oleh orang lain.
(Mas Redjo)