Cinta Itu Tentang Kita..

Di klinik praktek bersama dokter hewan di Alam Sutera, Tangerang, Banten, aku mengalami pengalaman berharga.

Ternyata, suasana di klinik hewan bisa sama persiiiiis seperti di klinik dokter anak, terutama pada suasana peduli dan penuh cintanya.

Tadi, para ‘ortu’ dari hewan-hewan ini saling menyapa dan bertanya dengan ramah dan penuh perhatian,

“Sakit apa kucingnya?”
“Kenapa anjingnya?”
“Wah sudah berobat berapa kali?”

Mereka lantas saling bertukar cerita tentang kecintaannya masing-masing.

Ada 3 lelaki muda dengan 3 anjingnya duduk di teras dan mengobrol. Ada sederetan bangku berisi 5-6 ibu dengan kucing dan anjingnya, sedang mengobrol di ruang tunggu. Di selasar ada 3 orang berdiri sambil menggendong anjing dan kucingnya masing-masing. Sisanya menunggu di mobil di area parkir yang padat.

Saat itulah, aku merasakan : cinta yang mereka miliki, sangat besar.

Ada yang rela berdiri berjam-jam sambil membopong anjingnya yang kejepit syarafnya. Ada yang memangku kucingnya yang lesu. Ada yang memeluk sambil berbisik-bisik ke hewan kesayangannya.

Dan yang paling menarik : tidak ada diskriminasi …!

Pagi itu, aku adalah satu-satunya orang beretnis Jawa. Membawa kucing kampung. Sementara belasan lelaki dan perempuan di klinik itu, semuanya beretnis tionghoa dan membawa kucing atau anjing ras yang bagus-bagus.

Tapi semuanya memandang Percy-ku dengan pancaran mata penuh kasih dan sebagian bertanya, “Kucingnya kenapa…?”

Ketika kujelaskan bahwa kucing ini kutemukan di jalan, beberapa orang berkerumun dan menyimak ceritaku. Sepasang pasutri muda (masih pacaran?) bahkan mengelus Percy dan dengan lembut berkata, “Aduh, cepet sembuh yaaa…” dengan cara bicara baby talk.

Aku meleleh….
Kucing kurus dan dekil ini tidak dianggap hina, padahal dia ‘tidak ras’.


Seketika aku ingat pengalaman semalam, di RS Hewan Ragunan, Jakarta. Ada sekeluarga menangis tergugu, sambil salah seorang memeluk bungkusan kain putih yang kuduga isinya adalah hewan peliharaan mereka. Entah anjing, entah kucing.

Pegawaiku memandangi keluarga ini dengan terheran-heran.

Di mobil, dalam perjalanan pulang, dia bertanya, “Padahal cuma hewan peliharaan ya bu? Nangisnya sampai melas begitu… Nggak tega lihatnya…. Kayak kematian orang…”

Saat itulah sebuah kesadaran baru menyambarku.

Oh. Kalau sudah terkait perasaan cinta, maka apa dan siapa yang menjadi ‘object of affection’ itu, bukanlah penentunya. Melainkan siapa pemilik perasaan cinta itu lah yang menentukan nilainya.

Contoh, begini :
Katakanlah kamu mencintai kain songket dan kain tenun nusantara yang langka. Kamu memelihara dan menyimpannya dengan teliti dan seksama.

Ketika kamu sedih karena kain itu rusak terkait paku atau salah penanganan di laundry, lantas seseorang menertawakanmu, dan mengatai,

“Halaaaaah cuma kain ajaaaa…! Drama amat sih!”

Maka kamu akan marah dan merasa terhina. Karena bagimu, orang tersebut bukan hanya menghina nilai kain-kainmu, melainkan juga melecehkan perasaan cintamu yang besar pada kain-kain koleksimu.

Nah perasaan itu sama menyakitkannya jika ada yang menghina anjing kampungmu, kucing butamu, ikan sirip patahmu, suami buruk rupamu, istri gendutmu, anak pesekmu…. mereka semua itu kecintaanmu…!!!
Dan tak seorang pun boleh menghinanya…!

Menghina mereka, sama saja dengan merendahkan rasa cintamu yang besar padanya/pada mereka.


Hari ini aku belajar, bahwa menghina ‘object of affection’ seseorang… itu sama seperti menghina si pemilik cinta.

Menghina manusia lain dan menyakitinya… itu sama seperti menghina pencipta-Nya.

Ngeri.

(Nana Padmosaputro)

Avatar photo

About Nana Padmosaputro

Penulis, Professional Life Coach, Konsultan Tarot, Co.Founder L.I.K.E Indonesia, Penyiar Radio RPK, 96,3 FM.