Selama tiga tahun, saya sempat tiga kali berpacaran. Cintanya seperti apa, ya seperti monyet atau cinta anak ingusan alias cinta anak-anak yang masih bau kencur.
OLEH SYAH SABUR
MALAM ini tiba-tiba saja saya ingat pengalaman bercinta di masa SMA atau yang biasa disebut cinta monyet. Minggu malam kemarin, saat saya bersama istri dan anak-menantu makan di salah satu pusat kuliner di kota Tangerang, kami diiringi penyanyi yang membawakan sejumlah lagu karya Iwan Fals.
Ketika sang penyanyi meminta saya menyebutkan lagu yang akan dibawakannya, spontan saja saya menyebut lagu yang berjudul Buku Ini Aku Pinjam. Kebetulan lagu tersebut mirip dengan kisah cinta monyet saya saat sekolah di SMA. Kebetulan di masa itu cinta monyet saya cukup produktif.
Selama tiga tahun, saya sempat tiga kali berpacaran. Cintanya seperti apa, ya seperti monyet atau cinta anak ingusan alias cinta anak-anak yang masih bau kencur.
Sebetulnya bibit cinta monyet saya sudah ada sejak SMP. Saat itu saya naksir cewek-cewek cantik di sekolah tapi semua hanya saya pendam sendiri, tidak berani saya ungkapkan. Paling saya hanya berani memandang sang pujaan hati dari jauh.
Lalu apa hubungan lagu Iwan Fals tersebut dengan kisah cinta monyet saya? Begini ceritanya.
Saat saya duduk di kelas tiga, saya naksir salah seorang siswi kelas satu. Tapi bagaimana saya mengungkapkannya karena saya tidak punya keberanian untuk itu?
Saya pun tidak kehilangan akal. Suatu hari saya meminjaminya sebuah buku tapi saya lupa buku tentang apa. Lalu saya katakan kepadanya bahwa ada surat di dalam buku itu untuknya.
Surat cinta
Sehari kemudian, saat kami berpapasan, dia pun penasaran karena tidak menemukan surat yang dimaksud. “Katanya ada surat tapi saya kok tidak menemukannya di buku?”, tanyanya.
Tentu saja surat itu tidak ada karena saya memang tidak membuatnya. Dalam hati saya berpikir, ini saatnya untuk menyatakan isi hati. “Jadi mau saya buatin surat ya?”, tanya saya menggoda.
Seketika mukanya memerah tanda malu setengah mati. Langsung saya pun menulis surat dan singkat cerita, kami pun berpacaran. Bagaimana kisah pacarannya, tak perlulah saya ceritakan. Pokoknya seru, paling tidak itu yang saya rasakan waktu itu.
Yang kedua, saat saya duduk di kelas tiga, saya naksir siswi kelas dua. Kali ini ceritanya lain lagi.
Suatu saat sang pacar berulang tahun dan mengadakan pesta kecil di rumahnya yang dihadiri teman-temannya. Namanya anak muda di masa itu, perayaan ulang tahun diwarnai ajojing diiringi lagu yang diputar dari kaset atau piringan hitam (PH), saya lupa.
Tapi saya sama sekali tidak mengenal ajojing walaupun saya suka musik. Lalu, apa yang saya lakukan di acara ulang tahun sang pujaan hati? Dengan gagah, saya pun membaca sajak.
Entah mengapa, sajak yang saya bacakan sama sekali bukan tentang cinta, melainkan sajak pamflet atau sajak protes karya penyair terkenal, WS Rendra. Judulnya, Potret Pembangunan dalam Puisi yang sangat terkenal di masa itu, terutama di kalangan aktivis pro-demokrasi atau demonstran.
Saya lupa apakah waktu itu pacar saya kagum dengan pembacaan sajak yang dilakukan secara amatiran atau sebaliknya dia kecewa. Yang pasti, kami tidak pernah membahasnya.
Pacaran singkat
Seperti juga cinta yang lain di masa itu, proses pacaran kami berlangsung singkat. Mungkin dia bosan karena kami hanya berpacaran di rumah dan saya tidak pernah mengajaknya makan di luar rumah atau nonton film misalnya. Maklum monyetnya memang miskin.
Di rumah pun tidak banyak obrolan yang muncul karena monyetnya memang masih malu-malu. Ngobrol satu-dua buah kata, lalu diam saling membisu.
Pacaran yang ketiga juga tak kalah lucu atau konyol. Saat saya pacarana dengan siswa yang sama-sama kelas tiga (atau kelas dua, saya lupa persisnya), di waktu yang bersamaan, kakak sulung saya berpacaran dengan kakak sulung pacar saya.
Sebagai adik, tentu saja saya harus mengalah kepada kakak. Di saat kakak saya apel ke rumahnya yang bertetangga dengan rumah saya, saya pun mengalah.
Karena kakak saya sudah bekerja, sekali-sekali kakak mengajak pacarnya nonton film atau jajan di luar rumah. Saat itulah saya bisa pacaran di rumahnya. Tapi karena saya tidak punya uang, saya tidak pernah mengajaknya makan atau nonton film. Maka kadang-kadang saya meminta izin ke rumah sahabat kami untuk numpang pacaran. Ada kalanya kami pacarana dengan berjalan-jalan di kota kami yang kecil.
Tapi nasib pacaran ini pun tak jauh beda dengan pacaran sebelumnya: kandas dalam waktu singkat. Susah memang kalau pacaran tanpa modal, hanya ngobrol sekadarnya.
Tapi bagaimanapun saya cukup bangga karena pernah memacari tiga siswi di SMA. Tentu saja pacarannya hanya sekadar cinta monyet, monyet miskin dan pemalu. (end)