Parenting 101: Rasa Cinta, Kagum, Suka, dan Sayang, Tak (Seharusnya) Menyakitkan

Parenting 101 : Rasa Cinta, Kagum, Suka, dan Sayang, Tak (Seharusnya) Menyakitkan

(Foto: Ivy)

Ketika Will Smith memukul Chris Rock yang di hadapan hadirin malam penganugerahan Piala Oscar mengolok-olok Jadda Pinkett Smith yang penampakannya mirip GI Jane-tak berambut; publik cukup terkesima. Tak menyangka Will Smith akan menunjukkan perilaku kekerasan sebagai reaksi membela istrinya atas nama cinta, tak menyepakati juga tindakan Chris Rock yang melakukan body shaming sebagai lelucon.

Kini, saya mau melihatnya dari sisi parenting.

Coba perhatikan kasus berikut. Seberapa banyak kita berucap demikian kepada anak-anak.

Robi tuh gangguin kamu, soalnya kamu cantik, Greta!”

Atau, “Dia suka nyubit kamu, soalnya kamu menggemaskan, Dea!”

Atau juga, “Tomi sering ledekin kamu soalnya dia suka. Cieee ada yang suka, nih!”

Bukankah ucapan kita bisa menjadi bias dan jadi membingungkan dicerna anak-anak?

Lihatlah kalimat pertama.

Robi mengganggu Greta karena dia cantik. Pesan yang ditangkap Greta dari kalimat itu, tak apa-apa dirinya diganggu. Atau, pesan yang lain, karena dia cantik jadi diganggu.

Nah… jadi rumit, bukan? Apalagi, setiap kali Greta diganggu, orangtuanya mengatakan demikian tanpa penjelasan sama sekali serta tak menanyakan juga bagaimana perasaan Greta sehingga memungkinkan sekali terjadi kebingungan pemahaman Greta tentang dirinya, dan konsep cantik.

Lalu, lihatlah perkataan kedua dan ketiga.

Secara tidak langsung, perkataan seperti itu menafsirkan perlakuan fisik tidak menyenangkan atau ejekan kepada anak perempuan boleh diartikan orang tersebut menyukai atau senang kepada kita.

Efek jangka panjangnya, love language ditafsirkan boleh-boleh saja dalam bentuk perlakuan fisik tidak menyenangkan atau ejekan.

Wah… berarti anak perempuan enggak boleh dibercandain gitu? Tegang amat hidup lu!

Atau, seperti kejadian Oscar, wah itu ‘kan hanya lelucon, kok reaksi Will Smith sangat berlebihan.

Sebagai orangtua, sudah merupakan tugas kita menanamkan (terutama) kepada anak perempuan, bahwa love language senantiasa hal yang positif. Bukan ejekan, sikap mengganggu atau malah perlakuan fisik yang tidak menyenangkan.

Bila kita menganalisa teori love language Gary Chapman, yang perlu orangtua beri pemahaman dan amati pada anak sehari-hari, baik lelaki maupun perempuan adalah wujud cinta (dalam arti positif) seperti apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.

Apakah mereka selalu perlu sentuhan fisik seperti pelukan, tepukan di bahu, atau malah yang selalu mengharap-harapkan diberikan hadiah? Di sisi lain, ada juga anak yang merasa diperhatikan dengan pemberian kata-kata positif seperti ‘kamu pasti bisa’ atau ‘kamu anak yang hebat’.

Anak yang lain mungkin memiliki kebutuhan lebih besar untuk didampingi  atau dibantu ketika mengerjakan sesuatu.

Anak yang lain lagi, merasa dicintai bila orangtuanya sering meluangkan waktu untuk beraktivitas bersama.

Love language Gary Chapman bila diterapkan orangtua dan bisa dikomunikasikan ke anak memang ideal adanya.

Sayangnya, pemahaman orang mengenai love language orang lain tak selalu bisa sejalan.  

Seorang perempuan, sebut saja Astri menceritakan pengalamannya:

Apakah olok-olok atau rasa suka menyakiti seperti demikian, bisa dikatakan atas nama cinta?  Saya banyak mengalaminya ketika anak-anak, tanpa ada pemahaman yang diberikan orang tua bahwa hal itu keliru. Akhirnya ketika remaja, saya berkencan dengan laki-laki yang tak segan memperlakukan saya begitu buruk, atas nama cinta. Dan, ketika dewasa beberapa lelaki senantiasa mengejek setiap ada kesempatan, alih-alih bilang itu bentuk perhatian mereka kepada saya.”

Tanpa disadari, pada realitanya teori love language menjadi bermakna lain seperti yang dialami Astri. Baginya perlu proses dan waktu lagi untuk  memercayai dan berprinsip seperti apa seharusnya hubungan sosial dan percintaan.    

“Mungkin dia suka sama kamu” menjadi ucapan yang menempatkan anak-anak usia dini untuk berpikir boleh-boleh saja diperlakukan seperti itu atau mereka pantas diperlakukan demikian.  

Pesan tak langsung yang tersampaikan juga kepada pelakunya adalah tak apa mengontrol dan menguasai orang lain atas nama cinta, serta perilaku seperti mengganggu, mengejek, mencubit tak memiliki konsekuensi apa-apa bagi dirinya maupun orang lain. Sungguh sebuah kondisi yang tak kita harapkan.

Lalu, apa yang bisa dilakukan orangtua  untuk mengajarkan mereka, baik anak perempuan yang menjadi korban, maupun anak lain yang menjadi pelaku.

– Ada batasan perlakuan dan tidak apa-apa bila seorang anak menyatakan untuk tidak sembarang memukul, mencubit, menarik rambut,  bahkan ke anak-anak yang mengaku teman sekalipun

– Tidak apa-apa bila anak marah dan tak mau bergaul dengan teman yang menyakiti mereka

– Berteman dengan jenis kelamin lain, tak mesti berarti saling naksir, atau mau berpacaran; melainkan untuk belajar tentang gender, dalam arti hal-hal apa saja yang bisa dilakukan sebagai anak perempuan atau sebaliknya

– Konsensual merupakan hal yang penting dan prinsipil. Ketika muncul ketakutan saat anak lain mengganggu, mungkin itu tanda rasa tidak nyaman bergaul dengannya.

Sebagai pegangan bagi anak untuk merasa aman, seharusnya orangtua membuka peluang untuk anak-anak berbagi hal-hal yang dialami, apa yang disukai dan tidak.

Hal ini untuk menanamkan kepada mereka, bagaimana  love language tak pernah bersifat menyakitkan baik fisik maupun psikis kepada anak lain, serta bagaimana ia bisa menghormati hak otonomi tubuhnya sendiri. Dengan demikian, ia akan tahu dan paham kapan sinyal maksud tidak baik perlu diwaspadai.

Dalam kasus Piala Oscar, tentu saja baik Chris Rock dan Will Smith tak bisa dijadikan contoh bagaimana menyampaikan love language dengan cara yang tepat

Meskipun merasa dekat, tak berarti bebas me-roasting dalam sebuah lelucon tanpa mempertimbangkan latar belakang dari sebuah kondisi fisik atau psikologis tertentu.

Namun, membalas sebuah perundungan dengan melakukan kekerasan apalagi di depan umum, tidak selalu bisa diartikan sudah mencintai dengan sungguh hati.

BACA LAINNYA

Parenting 101: Anak Bersikap Intoleransi, Salahnya di Mana?

PARENTING 101: Curiosity Anak, Orangtua dan Akses Dunia Maya

SEPUTAR CHEATING: Hal Penting Lain Dari Sekedar Mengurus Perempuan atau Lelaki Lain

Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta