Circular Economy dan Solusi Soal Sampah

Sungai di Kota Jogya

Penampakkan sungai di kota Jogya. Dampak pembangunan infrastruktur, masifnya pembangunan hotel dan perumahan, pemerintah daerah bersama pihak swasta harus berkomitmen untuk membuat sawah baru sebagai pengganti dari terjadinya penyusutan tanah persawahan. Untuk itu dalam penyusunan APBD harus memprospektif anggaran untuk  pengelolaan sampah. (foto yp)

OLEH YUDAH PRAKOSO R

Sejak ditutupnya TPST Piyungan di Jogjakarta, terjadi persoalan baru yang disebabkan oleh menumpuknya sampah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Darurat sampah di Jogjakarta ini berdampak pada perilaku mssyarakat sebagai produsen sampah yang ingin mengatasi permasalahan sampah di rumahnya yaitu denga cara  pembakaran samah di halaman rumah masing-masing dan pembuangan sampah di tempt-tempat tertetu bahkan di sungai. Terjadii fenomena domino dalam kasus sampah.

Berdasarkan data Dinkes DIY, jumlah kasus pneumonia yang juga termasuk penyakit ISPA, hingga pekan ke-38 atau Oktober 2023 mencapai sebanyak 1.886 kasus.

Sementara di 2022 jika dihitung sepanjang periode yang sama ditemukan sebanyak 1.181 kasus pneumonia.Terjadi tren kenaikan kasus ISPA di DIY terutama di Bantul berdasarkan data. Kabupaten Bantul menjadi penyumbang angka kasus paling banyak yakni sebanyak 690 kasus. Kemudian disusul Kota Yogyakarta sebanyak 614 kasus, Sleman 259 kasus, Gunungkidul 170 kasus, dan Kulon Progo sebanyak 153 kasus.

Menurut big data dari Lembaga Penelitian Pares Yogyakarta yang disampaikan oleh Fandy, peneliti, kendati Pemda DIY dan kabupaten/kota sudah menyampaikan persoalan sampah, namun karena berita soal lingkungan dan sampah kurang masif di media mainstream dan media sosial. Hanya ada beberapa media massa yang memuat berita dan artikel persoalan lingkungan dan sampah, itupun media massa berskala nasional.

Sampah, air, dan udara

Akses air dan udara yang bersih adalah hak warga negara. Untuk senantiasa menjalankan hidup yang sehat, kualitas air dan udara terus berada pada pengawasan. Sebagai sumber kehidupan, kualitas keduanya harus terus dipertahankan untuk meminimalisir resiko penyakit yang dapat mengancam jiwa. Namun, peningkatan mobilitas masyarakat juga turut berperan dalam jumlah polutan baik di udara maupun air. Hal ini diiringi oleh meningkatnya jumlah kendaraan bermotor hingga aktivitas membakar sampah dan membuang sampah di sungai.

Keberadaan stasiun pengawasan kualitas udara serta penelitian mutu air tidak serta merta menjadikan kualitas air dan udara termasuk sehat sesuai standar. Terutama di Provinsi DIY, kualitas air sungai kurang dari standar baku mutu nasional, bahkan dikategorikan tercemar berat. Selain itu, kualitas udara DIY juga tidak tergolong “sehat”.

Namun demikian masyarakat justru menjadi kambing hitam atas fenomena pencemaran air dan udara. Polusi udara yang meningkat selalu dikaitkan dengan tingginya jumlah kendaraan bermotor, sehingga masyarakat diminta mengurangi penggunaan transportasi pribadi dan beralih ke transportasi umum.

Dengan gencarnya program pariwisata di daerah-daerah, dan ibukota, termasuk Yogyakara, persoalan sampah menjadi semakin kentara. Setiap akhir pekan, long weekend,  ataupun libuan sekolah, hari raya agama, dan akhir tahun, ratusan bus pariwisata dan kendaraan dari luar kota masuk ke DIY dengan tujuan untuk berwisata. Karenanya pengotoran udara yag disebabkan oleh polusi lalu lintas, dan pembuangan sampah makanan dan pembungkus menjadi signifikan.

Demikian pula dengan dampak masifnya pembangunan hotel dan perumahan seta infrastruktur lain, menjadikan penyempitan lahan seluas 200 hektar setiap tahunnya. Hal ini menjadikan menyusutnya debit air tanah, dan polusi air di sumber-sumber air. Lebih lanjut, pencemaran air juga ditimbulkan dari aktivitas membuang sampah di sungai.

Menurut Ketua Komis A DPRD DIY, Eko Suwanto, yang hadir secara daring sebagai pembicara dalam diskusi yang bertajiuk Melihat Lebih Dalam: Big Data Ungkap Dampak Sampah terhadap Kualitas Udara dan Air mengungkapkan untuk mengelola sampah organik sebaiknya masayarakat, dan pemerintah, melibatkan Perguruan Tinggi untuk  kemudian mengolah secara tepat menjadi pupuk organik.

Saat ini orang-orang kampung di Yogyakarta sudah pinter. Mereka memanfaatkan  sampah plastik menjadi bahan baku batako dan lain-lain sehingga memiliki nilai ekonomis. Lebih lanjut  menrut Eko, untuk mengatasi masalah  sampah bisa dilakukan dengan pendekatan bisnis, salah satunya adalah melelui adanya bank sampah. Hal ini harus ada niat politik pemkab pemkot untuk menyelesaikan soal sampah.

Khusus untuk dampak pembangunan infrastruktur, masifnya pembangunan hotel dan perumahan, pemerintah daerah bersama pihak swasta harus berkomitmen untuk membuat sawah baru sebagai pengganti dari terjadinya penyusutan tanah persawahan. Untuk itu dalam penyusunan APBD harus memprospektif anggaran untuk  pengelolaan sampah.

Edukasi sampah dan Circular Economy

Sementara itu menurut Sri Wahyuningsih, Pengelola Sekolah Air Hujan Banyu Bening di Malang Jawa Timur, masalah sampah yang berdampak pada pencemaran air dan uadara harus diatasi sejak usia dini, yaitu denga edukasi. Tidak membiasakan masyarakat menggunakan barang-barang sebagai wadah makanan yang hanya sekali pakai sehingga menimbulkan limbah. Circular Economy di Indonesia menurut Sri Wahyuningsing belum berjalan.

Drum bekas untuk membakar sampah plastik di rumah (insert). Solusi sementara menangani penumpukkan sampah rumah tangga yang tak tertangani Dinas Kebersihan. (foto yp)

Circular Economy atau CE adalah untuk mengurangi limbah dan polusi dengan memperbaiki rancangan produk, memperpanjang umur produk, dan mendaur ulang material. Dengan kata lain, CE bertujuan untuk menutup loop aliran material dalam perekonomian.

Meskipun model CE telah ada sejak lama, namun implementasinya di Indonesia dapat dibilang kurang efektif. Hal ini dikarenakann kitabmasih menganut model ekonomi linier yang ditandai dengan penggunaan sumber daya sekali pakai dan menghasilkan jumlah limbah yang masih tinggi.

Hal ini berkontribusi pada bertambahnya masalah lingkungan seperti emisi Gas Rumah Kaca, pencemaran udara dan air, serta penumpukan dan pemadatan sampah. Oleh karena itu, adopsi CE dipandang sebagai solusi jangka panjang bagi kita dalam mengatasi masalah-masalah tersebut dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Sejauh ini, upaya penerapan CE di Indonesia masih bersifat terfragmentasi dan terfokus pada produk atau bahan baku tertentu di yurisdiksi atau klaster produk tertentu. Kurangnya harmonisasi standar dan koordinasi antar stakeholders menjadi penghambat bagi adopsi CE yang lebih luas. Oleh karena itu, harmonisasi standar dan fasilitasi perdagangan menjadi salah satu prioritas utama dalam kerangka kerja ekonomi sirkular di Indonesia.

“Terjadinya eksploitasi air tanah tidak sebanding tangkapan airnya. Dalam kasus ini terjadi penyusutan air tanah yang disebabkan oleh cara pemakainnya”, pungkas Sri Wahyuningsih. (*yp)

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.