Curhat dan Ngundat-undat: Refleksi 50 Tahun PDIP

Bagaimana dia bisa merendahkan kadernya, Presiden yang masih memerintah kini – yang mampu bertahan di Istana Negara selama 10 tahun ? Dengan begitu banyak jejak monumental?

Oleh DIMAS SUPRIYANTO

SAYA naik turun ke kamar atas, sambil browsing Youtube, ngetik ini itu, samar samar mendengar celoteh nenek dan emak emak, yang sedang curhat dan merepet di depan anak cucu di hari istimewa keluarga besarnya.

Nenek yang sukses, bangga dan sedih, juga bahagia, sesekali melucu, dengan ekpresi berganti ganti. Dia sangat menikmati duduk di singgasananya, di depan keluarga besarnya, dimana duduk menghadapnya; presiden, wakil presiden, gubernur, para menteri dan tokoh tokoh penting nasional.

Bagaimana pun si Nenek ini sangat powerfull. Elite politik, pejabat, konglomerat dan rakyat Indonesia menyimak ‘ngendikan’, ‘wejangan’, ‘dawuh’ dan ‘suwuk’nya, terkait calon presiden RI dulu, kini dan akan mendatang, pengganti Ir. Joko Widodo yang sudah memerintah dua periode.

Seperti biasanya, Nenek meremehkan presiden. Hanya kader dan petugas partai. “Untung Pak Jokowi masuk PDIP, kalau nggak, aduh kasihan deh, “ katanya dengan kenes. Genit.

Pernyataan sarkas itu menuai protes netizen, sore dan keesokannya;
”Kami milih Pak Jokowi sebagai presiden, bukan PDIP! Seharusnya, PDIP lah yang berterima kasih pada Pak Jokowi, bukan sebaliknya! ”

“Kalau mau bukti lagi, silakan PDIP ajukan calon yang tidak dimaui rakyat. Bakalan nyungsep kayak Partai Demokrat!” tambah netizen.

PANDA NABABAN, orang kepercayaan Megawati, penghubung Jokowi ke putri Bung Karno itu, sudah melakukan autokritik di channel Total Politik. Diakuinya, dua kali (Megawati) gagal dalam pencapresan, yaitu saat duet dengan KH Hasyim Muzadi (Pilpres 2004) dan Prabowo Subiyanto (2009). Kemenangannya saat nyalon bareng Gus Dur (Pilpres 1999) dianulir oleh kelompok Poros Tengah besutan Amin Rais. Gus Dur kemudian jadi presiden ( 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001).

Setelah Gus Dur dimakzulkan barulah Megawati menggantikannya (23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004). Mendapat kekuasaan limpahan.

Secara statistik dan faktual, Jokowi mengungguli Megawati. Dua kali pemilihan Walikota di Solo sukses, ikut Pilgub DKI sukses, dua kali presiden RI sukses. Si tukang kayu dan pengusaha mebel yang pernah tinggal di pinggir kali itu, tak pernah gagal. Lebih dari itu, dia membawa Indonesia mendunia. Melampaui negeri negeri jiran yang diguncang krisis politik, 10 tahun terakhir.

Megawati sebaliknya, dua periode berpuasa dari nyamannya kekuasaan – jadi oposan selama masa kepemimpinan SBY.

Jadi apa yang disampaikan di Hall A JEXPO Kemayoran itu sekadar celoteh saja – “ngudar roso” dan “ngoyoworo” yang kadang melantur, “ndondro ndodro” “Ngusin-isini”. Bikin malu. Khas orangtua yang suka mengundat-undat (membangkit bangkitkan) jasa diri, ngungkit watak anak dan cucunya.

JELEK JELEK begini saya pernah membantu PDIP dan Megawati. Saya ikut turun ke jalan memeriahkan kampanye memerahkan Jakarta – mengajak anak isteri – dalam kampanye terakhir yang menggetarkan istana.

Kami sudah muak pada Suharto dan Orde Baru saat itu. Suharto kabarnya marah besar melihat Jakarta yang memerah. Sudharmono yang Ketum Golkar, sebagai andalan Cendana, masa itu, kena tegur keras.

Saya juga nyoblos PDIP waktu itu. Tentu saja Golkar yang menang di 1997, tapi puas setidaknya mengurangi suara Golkar. Kekecewaan saya mulai ketika Mega jadi presiden. Menggantikan Gus Dur.

Saya mengutip saja, komentar sarkas orang elite kita saat itu, tentang mereka di luar sana:

“Negeri kami punya presiden yang lengkap, yang satu buta, yang satu tuli!”

Kita tahu, Gus Dur memang tak bisa melihat. Sedangkan Mega lebih banyak diam dalam menjalankan roda pemerintahannya. Masyarakat dibiarkan menebak nebak kebijakannya.

Gejolak politik pun mengganggu pemerintah keduanya dan masing masingnya berakhir dengan singkat.

Bagaimana dia bisa merendahkan kadernya, Presiden yang masih memerintah kini – yang mampu bertahan di Istana Negara selama 10 tahun ? Dengan begitu banyak jejak monumental?

Jokowi jelas “titisan” Bung Karno, yang tegas menjalankan program “Berdikari” : berdiri di atas kaki sendiri – engambil alih seluruh tambang yang dikelola asing, membrangus mafia migas, melawan Uni Eropa yang ngotot minta ekspor nikel dan bauksit mentah.

Menyediakan Bali sebagai Tuan Rumah G20, mengundang negara adi daya Blok Barat dan Blok Timur, meski kepala negara wakil timur tak hadir.

Jokowi menunjukkan keadilan sosial dengan menyeragamkan harga BBM di seantero negeri. Membangun infrastuktur merata, memastikan swasembada beras dan kebutuhan lain. Memutus rantai impor yang tak berkesudahan.

Dan terbaru, mengakui Pelanggaran HAM Berat di masa lalu, yang dilewatkan oleh presiden presiden sebelumnya.

Akan tetapi Nenek itu justru “meng-kasihani-nya”?

Kasihan, deh, Nenek.

Bagaimana pun dialah pemilik sah kendaraan besar, kini – kendaran berbentuk partai – bagi para politisi yang ingin jadi kepala daerah, di kabupaten, kota, provinsi, bahkan kepala negara berikutnya. Maka semua takzim mendengarkan curhatnya.

Apa boleh buat. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.