Cut Nyak Dhien, Perempuan Tangguh Pemimpin Perang Aceh

Seide.id – Cut Nyak Dhien merupakan salah satu perempuan Indonesia yang sangat inspiratif.
Beliau mendapat julukan “Srikandi Indonesia”.

Kiprahnya nampak jelas saat beliau terlibat dalam Perang Aceh, sebuah perlawanan rakyat Aceh yang bermaksud untuk menumpas segala bentuk penjajahan bangsa kolonial Belanda.

Cut Nyak Dhien lahir di daerah Lampagan pada tahun 1848.
Beliau berasal dari keluarga bangsawan yang relijius di Aceh Besar.
Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia dan ibunya keturunan bangsawan Lampagan.

Seorang wanita Belanda bernama M.H Szekely-Lulofs , penulis terkenal berkebangsaan Belanda yang menulis novel berlatar belakang Hindia Belanda, dan pernah bertemu dengan Cut Nyak Dhien menyebut jika Cut Nyak Dhien merupakan keturunan bangsawan Minangkabau yang merantau ke Aceh.

Leluhurnya bernama Datuk Makhdum Sati, yang pernah berdomisili di sekitar sungai Woyla.
Datuk Makhdum Sati memiliki putra yang bernama Nanta Cih (ayah dari Nanta Seutia).

Makhdum Sati bisa dikatakan merupakan kakek buyut Cut Nyak Dhien sedangkan Nanta Cih merupakan kakeknya.

Pada pernikahannya yang pertama dengan Teuku Ibrahim Lamnga, Cut Nyak Dhien dikaruniai seorang anak perempuan bernama Cut Gambang.
Suami Cut Nyak Dhien yang pertama meninggal dalam peperangan melawan Belanda.

Kemudian, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar Johan Pahlawan atau yang lebih dikenal dengan nama Teuku Umar.
Nasib serupa dialami suami kedua Cut Nyak Dhien yakni suaminya meninggal dalam peperangan melawan Belanda.

Kiprah Cut Nyak Dhien Pada Perang Aceh

Pihak Belanda resmi menyatakan perang pada rakyat Aceh yang dimana orang Aceh menyebutnya dengan istilah “Perang Kaphe Ulanda” sedangkan pihak Belanda menyebutnya dengan istilah “Perang Aceh”.

Cut Nyak Dhien pada akhirnya berhasil menghimpun bala tentara Aceh yang mulanya terpecah belah pasca meninggalnya Teuku Umar.
Sebuah pencapaian yang patut untuk diacungi jempol mengingat beliau merupakam seorang perempuan.

Perang Aceh terjadi pada tahun 1873 hingga tahun 1904 yang dimana perang ini merupakan salah satu perang yang mengangkat kesetaraan gender dimana pada perang tersebut laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam memperjuangkan diri dari belenggu penjajahan oleh bangsa Belanda.

Memimpin perang yang bala tentaranya mayoritas laki-laki menjadi tantangan tersendiri bagi Cut Nyak Dhien.

Sebagai seorang pemimpin, Cut Nyak Dhien rela berkorban walaupun didera penyakit, beliau tetap fokus pada perjuangan melawan penjajahan Belanda.
Sebuah pengabdian diri serta kesetiaan pada bumi pertiwi yang layak diteladani.

Semangat Cut Nyak Dhien dalam peperangan melawan Belanda yang kian membara, selain karena penderitaan yang diakibatkan Belanda juga karena Cut Nyak Dhien dikhianati oleh sahabat mendiang suaminya (Teuku Umar) yang bernama Pang Laot yang menunjukkan letak persembunyiaanya pada Belanda.

Cut Nyak Dhien dimakamkan di daerah Gunung Puyuh Sumedang.
Juru kunci makam tersebut menyebut Cut Nyak Dhien datang ke Sumedang pada tahun 1906 (Khoirunnis Salamah)

Hari Perempuan Internasional