Seide – Pemuda itu melihat arlojinya. Pukul 12.00. Ia termangu di tempat parkir. Meragu. Haruskah ia nekad untuk mengikuti tes wawancara terakhir, selangkah lagi agar diterima bekerja?
Diamatinya bajunya yang ternoda darah, karena menolong orang yang kecelakaan tabrak lari di pertigaan jalan.
Rasanya tidak mungkin ia pulang dulu untuk ganti pakaian yang terkena percilan darah. Lalu meneruskan tes yang telah terlambat itu. Jikapun gagal, ia tidak menyesal, karena menolong orang. Peluang dan kesempatan pekerjaan yang lain juga masih terbuka.
Ia tidak bisa cuek dan tak peduli untuk menonton atau membiarkan orang tergeletak merintih kesakitan tanpa ditolong. Sehingga ia menemani orang itu dibawa ke RS.
Kini, setelah keluarga orang yang kecelakaan itu datang ke RS, ia dapat meninggalkan orang itu dengan tenang.
Sekali lagi dihelanya nafas panjang. Ia mencoba mereka-reka peserta tes wawancara yang sekitar 20 orang itu. Jika wawancara per pelamar itu 15-30 menit berarti diteruskan seusai istirahat siang. Mungkinkah itu?
Ia merenung sejenak, dan berdoa. Tidak ada salahnya mencoba. Yang penting ia telah berjuang, berusaha, dan jika gagal pun secara terhormat.
Ia segera melarikan vespanya ke gedung perkantoran tempat wawancara.
Dengan tergesa ia naik ke lt 4, lalu menemui resepsionis.
“Selamat siang, Bu. Maaf, apakah tes wawancara masih berlangsung dan saya bisa menyusul?” tanyanya ramah. Ia lalu menjelaskan kronologi kejadian di jalan, sehingga terlambat datang.
“Silakan duduk, nanti saya sampaikan ke bagian personalia,” katanya ramah.
Seperempat jam kemudian Ibu resepsionis itu memberi tahu, ia diizinkan. Tes wawancara sesuai nomor urut kedatangan.
Pemuda itu menghela nafas lega, dan mengucap syukur.
Ketika ia dipanggil untuk masuk ke ruangan tes, ia melangkah dengan optimistis.
Bunga harapan itu kembali mekar di hatinya.
Mas Redjo, Red-Joss