Dari Jakarta hingga Kereta Kuda Kaum Gitanes di Prancis

Roti Bagelen

Saya kenal Roti Bagelen lewat gerobak becak kayuh dan penjual roti pikulan yang dulu biasa keluar masuk gang-gang kampung di Jakarta. Pernah Bapak mudik ke Ngawi, dan pulangnya beli oleh-oleh beberapa kotak Roti Bagelen di Stasiun KA Madiun. Jawa Timur. Pernah juga kami sekeluarga piknik ke Kota Garut, Jawa Barat dan mampir di pabrik sekaligus toko Roti Bagelen Abadi.

Hikayat Roti Bagelen (1)

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide.id 30/05/2023 – Pasca Lebaran kemarin, Mbak Pudentia MPPS, Ketua ATL (Asosiasi Tradisi Lisan), mengudang saya ikut rapat rencana Pameran dan Seminar Internasional Tradisi Lisan yang akan digelar di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada 12 -16 Juni 2023. Di meja saji ruang rapat rumahnya di Menteng Wadas Manggarai itu, saya temukan cemilan Roti Bagelen dalam kemasan kantong plastik cantik.

Roti Bagelen ini jenis roti klasik Indonesia, kesukaan saya sejak kecil di Kota Betawi alias Jakarta. Banyak teman lain dari kota lain, juga suka Roti Bagelen. saya kira. Karenanya saya ‘gatal tangan’ dan lantas memposting foto penampakannya itu di laman Face Book sambil melempar tanya, “Apa yang Anda ingat ihwal Roti Bagelen dan sejarah kelahirannya?”

Responnya sungguh mencengangkan. cuma dalam hitungan menit, belasan jawaban masuk ke laman saya. “Tentu ingat, dong…!” ucap Belinda Gunawan, mantan PemRed beberapa majalah di Femina Group yang kini editor andal buku-buku fiksi. Prof. Dr. Wahyu Wibowo dari Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional menyebut baru saja beli Roti Bagelen saat mampir di Yogyakarta.

Tak kalah menarik adalah respon Maman Suherman, kriminolog dan jurnalis serta aktivis ‘bagi-bagi buku’ ke berbagai perpustakaan di pelosok tanah air, yang langsung memposting foto Roti Bagelen produk Bandung yang jadi temannya ngopi pagi itu. Memang tak ada jawaban ihwal sejarahnya, sebagaimana saya tanyakan, Namun respon ini cukup jadi petunjuk, betapa Roti Begelen disuka dan dikenal luas.

Saya kenal Roti Bagelen lewat gerobak becak kayuh dan penjual roti pikulan yang dulu biasa keluar masuk gang-gang kampung di Jakarta. Pernah Bapak mudik ke Ngawi, dan pulangnya beli oleh-oleh beberapa kotak Roti Bagelen di Stasiun KA Madiun. Jawa Timur. Pernah juga kami sekeluarga piknik ke Kota Garut, Jawa Barat dan mampir di pabrik sekaligus toko Roti Bagelen “Abadi”.

Roti Bagelen juga saya temukan di Medan, Manado, Batam, Dili (ibukota Timor Leste), dan di Sorong -Papua Barat. Bahkan dengan nama setempat yang mengacu pada arti ‘roti panggang kering’ juga saya temukan di Singapura, di pasar loak Cha Thu Chak – Bangkok – Thailand, di Ho Chi Mint City – Vietnam, di resto perahu di Sungai Mekong di tengah Kota Vientiane – Laos, dan banyak lagi.

Kejutan juga terjadi nun di Murat di selatan Perancis. Saat itu tahun 1994, saya menjadi bagian dari rombongan kesenian Provinsi Jambi di Sumatera, yang mewakili Indonesia hadir di Festivals du Monde, pesta folklore tahunan musim panas di Eropa, dan tahun itu rombongan Jambi Indonesia tampil dari desa ke desa di tiga negara: Perancis, Andorra, dan Spanyol.

Dipimpin Tom Ibnur, maestro Tari Zapin lulusan Intitut Kesenian Jakarta, kami pentas dari desa ke desa. Dari Murat (kota kecil sekitar 400 Km di selatan Paris) di tenggara Perancis hingga Ferin di ujung baratdaya Spanyol yang bebatasan langsung dengan Portugal. Kami juga pentas di Andorra (negara kecil seluas Kebayoran Baru Jakarta Selatan) di perbatasan Perancis dan Spanyol.

Murat banyak disinggahi kaum Gitanes, suku pengelana/nomaden Perancis (di Eropa umum disebut Troubadoor), bermatapencaharian sebagai pedagang keliling. Dengan kereta-kereta kayu tradisional berkanopi terpal lengkung lipat (tempat tinggal sekaligus toko) ditarik 2 – 4 ekor kuda, mereka ngumpul berderet di pinggir plaza Murat, membentuk ‘pasar malam’ di keliling panggung Festivals du Monde

Tim Jambi Indonesia di banyak desa persinggahan sempat pentas bareng Tim Filipina, Malaysia dan Singapura. Juga dengan tim Belanda, Bulgria, Burgundi – Afrika, India, Kazakhan – Uni Soviet, Tiongkok, Turkiye, serta Polandia yang beberapa kali menimbulkan ‘insiden bendera’ karena panitia (umumnya Ibu-Ibu PKK di desa tersebut) terbalik memasang bendera Indonesia ataupun bendera Polandia.

Festivals du Monde selalu dimulai selepas sore hingga tengah malam. Enam negara pentas bareng berturut-turut dalam semalam, dengan durasi masing-masing 1jam pentas. Begitu juga saat memulai pentas di Plaza de Murat di selatan Perancis. Kereta-kereta kaum Gitanes (ya toko cenderamata, ya café, ya wanita Gitanes yang tukang ramal) seperti pagar pembatas plaza dimana terdapat panggung pertunjukan.

Demikianlah sore sebelum pentas, kami melihat-lihat ‘pasar dadakan’ yang dibentuk oleh deret kereta para Gitanes. Duduk-duduk di kafe, menikmati wine (konon dibuat sendiri oleh para Gitanes) dan…sepiring sajian berbasis Baquette French Bread alias ‘Roti Perancis’ (biasa dibawa pendaki gunung Indonesia sebagai bekal) yang dipanggang kering dengan olesan mentega dan madu gunung…

“Lha.., jauh-jauh ke Murat di selatan Paris, kok ya camilannya Roti Bagelen, asal Purworejo, Jawa Tengah,” begitu yang saya ingat, Tom Ibnur berkomentar, hi…hi…hi…! *** (Bersambung)

30/05/2023 PK 08:24 WIB

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.