Menjelajah hutan Pulau Handeuleum, di Taman Nasional Ujung Kulon, 2007, di antara daun daun dan pohon pohon.
Oleh Heryus Saputro Samhudi
Suatu siang di tahun 1993, selepas ‘teng’ waktu bubaran sekolah, saya mendapatkan putra sulung kami keluar dari kelas sembari menunduk, menangis. Sementara beberapa teman sekelasnya merendengi langkah lesu Si Sulung sambil tertawa-tawa. Bahkan beberapa ada yang menunjuk-nunjuk buku gambar yang didekap Si Sulung sambil nyeletuk, “Daun itu hijau, Sayangku…!”
Apakah gerangan terjadi? Selidik punya selidik, ternyata ini menyangkut pelajaran menggambar yang baru saja berlangsung di kelas menjelang ‘teng’ berakhirnya jam belajar. Si Sulung memperlihatkan lembar gambar karyanya. Gambar yang menurut saya “bagus”, untuk ukuran anak kelas 2 SD. Gambar crayon warna-warni, ihwal sebuah pot tanaman hias yang daun-daunnya didominasi warna pink kemerahmerahan.
Agak terkejut saya bahwa gembar se’bagus’ itu cuma diponten Ibu Guru (pelajaran) menggambarnya dengan angka 4 (ampat), dan (ini yang bikin teman-temannya berkepanjangan men’tertawa’kan Si Sulung) di bagian bawah lembar kertas gambar Si Sulung tertera kalimat pendek, ditulis dengan pulpen tinta hitam yang tak mungkin dihapus: “Daun itu hijau, Sayangku…!”
Ke’ribut’an kecil di halaman teras depan sekolah rupanya menarik perhatian Guru Kepala, yang bertanya kepada saya sembari mengusap-usap kepala Si Sulung yang masih menangis. Kepada Ibu Guru Kepala segera saya ungkap duduk perkara, ihwal gambar karya Si Sulung. Nggak masalah gambar dapat ponten 4. Tapi imbuhan kalimat di bawah gambar bisa menjerumuskan anak didik jadi salah kaprah berkepanjangan.
Guru Kepala mencermati gambar Si Sulung dan tulisan dibawah gambar, lalu tampak mengangguk-angguk. “Bapak benar….,” katanya kepada saya, arif suaranya. “Mari kita kembali ke kelas. Kita selesaikan soal ini baik-baik. Kalian anak-anak boleh ikut, mendengar…,” lanjut Ibu Guru Kepala seraya menuntun Si Sulung, mengajak saya (dan beberapa teman Si Sulung) ikut masuk kelas.
Ibu Guru (menggambar) masih di kelas, membereskan sesuatu sebelum pukul 14:00 Wib, waktunya pulang. Saya duduk rapi di bangku-meja kelas, bareng Si Sulung (yang sudah berhenti menangis) dan beberapa temannya, sementara Ibu Guru Kepala terlihat bicara sesuatu kepada Ibu Guru (menggambar) sambil membuka buku dan lembar gambar Si Sulung. Sempat terdengar suara, “Daun itu tidak selalu hijau, Bu…”
Mendadak Ibu Guru melangkah ke depan tengah kelas. Sambil membuka lembar gambar Si Sulung dan memperlihatkannya kepada hadirin seisi ruang, dengan tegas dan sikap jantan, Ibu Guru bicara: “Anak-anakku, wa bil khusus Bapak orang tua murid, saya minta maaf, sudah berbuat khilaf, mengira – seperti selama ini banyak orang mengira – bahwa warna daun itu melulu hijau, seperti pepatah ‘ijo royo-royo’…”
Mengharukan. Ibu Guru segera menghampiri, memeluk, mengusap-usap kepala Si Sulung seraya berbisik, “Maafkan Ibu, ya, Nak…,” katanya sembari membubuhkan sesuatu di kertas gambar Si Sulung. Teman-teman Si Sulung segera merubung, dan lalu bersorak gembira. Mereka sama mengacungkan jempol kepada Si Sulung. Apa pasal? Ternyata angka empat sudah diberi tanda silang dan berganti ponten tujuh.
“Emang ape yang Abang bilang ke Guru Kepala dan beliau, pasti, ngejelasin lagi ke Ibu Guru Gambar?” mendadak suara Mak Wejang terdengar saat saya melaju di sadel sepedamotor, membonceng Si Sulung ke terminal bus Blok M, Kebayoran Baru Jakarta Selatan, untuk Si Sulung pulang sendiri ke rumah kami di kampung Pondok Pinang.
Saya bilang apa yang saya faham bahwa daun pohonan tak melulu hijau. Ada pohon di pegunungan yang masyarakat sekitar menyebutnya Perak Salju karena sekujur batang dan daunnya memang berwarna perak seperti diselimuti salju. Kita juga kenal pohon Pucuk Merah (yang sebetulnya jenis pohon Cinnamon, Kulit Kayu Manis) yang disebut begitu karena daun-daun di pucuknya akan selalu berwarna merah terang.
Dulu, kitaran tahun 1978, kerap diwartakan koran dan TVRI ihwal Bapak Presiden Soeharto sekeluarga yang kerap berlibur, mancing ikan, di Pulau Handeuleum, pulau kecil di perairan Taman Nasional Ujung Kulon – Banten yang diberi nama berdasar toponimi tumbuhan Handeuleum (Graptophyllum pictum) yang juga dikenal sebagai pohon Daun Ungu karena memang semua daunnya berwarna ungu.
Dalam imaji atau fantasi artistik yang berputar di kepala, saya rasakan Mak Wejang mengangguk-angguk, dan tersenyum saat saya ungkap fakta bahwa tulisan di gambar Si Sulung sudah diubah bunyinya dengan tambahan kata dalam afostrop (*/) hingga menjadi kalimat positif: “(Kamu benar, Nak…!) Daun itu (tak selalu) hijau, Sayangku…!”
06/07/2021 pk 09:27 wib.