DAUN TERAKHIR

The Last Leaf

Dikisahkan ulang dari cerita klasik O Henry

Di sebuah distrik di Washington Square,  kediaman para seniman seperti berkerumun, berdekatan.  Sue dan Joanna bersama-sama menyewa tempat di lantai atas sebuah bangunan bata merah bertingkat tiga.

Pada suatu bulan November Joanna disapa ‘Tuan Pneumonia’, dan sakitnya parah. Dia berbaring diam di ranjangnya, menatap ke luar jendela. Sue memanggil dokter.  Setelah memeriksa keadaan Joanna ia berkata, “Kesempatan sembuh  temanmu adalah satu banding sepuluh. Dan itu bisa diraihnya, kalau ia memiliki semangat untuk hidup.”

Sue kembali ke kamar Joanna, membawa papan gambarnya. Ia mendapat pesanan dari sebuah majalah untuk membuat ilustrasi. Dilihatnya temannya berbaring diam di ranjangnya, hampir tidak bergerak. Sue mulai membuat sket seorang penunggang kuda, dan tiba-tiba mendengar suara rendah dari sang pasien. Dengan mata  terbuka lebar Joanna menatap ke luar jendela dan mulai berhitung mundur.

“Duabelas,” katanya. Lalu, “sebelas”, “sepuluh, “sembilan.” Kemudian hampir berbarengan, “delapan, tujuh…”  

Padahal di luar tidak ada apa-apa, hanya sebuah  pohon ivy yang merambat di tembok rumah tetangga, sekitar 20 kaki jaraknya dari jendela. Angin dingin musim gugur telah merontokkan daun-daunnya sampai tinggal batangnya, hampir botak.

“Ada apa?” tanya Sue.

“Enam,” ujar Joanna, hampir menyerupai bisikan. “Jatuhnya makin cepat saja. Tiga hari lalu hampir seratus, sampai pusing aku menghitungnya. Sekarang mudah. Tuh, jatuh satu lagi. Tinggal lima.”

“Lima apa?”

“Daun ivy. Kalau yang terakhir gugur, aku pun menyusulnya. Aku sudah tahu sejak tiga hari lalu. Dokter tidak mengatakan padamu?”

“Omong kosong, Joanna,” keluh Sue. “Apa urusannya daun ivy tua dengan kesembuhanmu? Jangan cengeng, ah. Dokter tadi pagi bilang padaku, bahwa kesempatamu sembuh sepuluh banding satu! Sekarang makanlah bubur, dan setelah itu biarkan aku menggambar. Dengan honornya aku akan membeli wine buatmu.”

“Kamu tidak perlu beli wine lagi,” kata Joanna, matanya terpaku ke jendela. “Rontok satu lagi. Tinggal empat. Aku ingin melihat yang terakhir rontok sebelum hari gelap. Lalu aku pun akan berangkat juga.”

“Joanna, maukah kau berjanji memejamkan matamu dan tidak melihat ke luar jendela sampai aku selesai bekerja? Gambar ini harus siap besok. Aku perlu penerangan dari jendela. Kalau tidak, sejak tadi aku sudah menutup gorden.”

“Tidak bisakah kamu menggambar di kamar yang lain?”

“Aku lebih suka di sini, lagipula aku tidak mau kamu terus-menerus menatap daun-daun konyol itu.”

“Beritahu aku kalau kau sudah selesai,” kata Joanna sambil memejamkan matanya, “aku ingin menyaksikan daun terakhir itu jatuh. Aku sudah lelah. Aku ingin melepaskan segalanya, dan melayang jatuh seperti daun-daun yang lelah itu.”

“Cobalah tidur,” kata Sue. “Aku akan memanggil Behrman untuk jadi modelku, sebagai penambang tua. Aku akan ke bawah paling-paling satu menit. Jangan bergerak sampai aku kembali.”

Behrman tua adalah pelukis yang tinggal di lantai dasar. Sebagai pelukis ia belum pernah berhasil melukis karya masterpiece, walaupun selalu mencoba. Selama bertahun-tahun ia hanya sesekali melukis buat perusahaan periklanan. Sebagai tambahan penghasilan ia kadang-kadang berpose untuk para pelukis di distrik itu yang tidak kuat membayar model profesional. Ia menganggap dirinya pelindung dari dua nona seniman yang tinggal di lantai tiga.

Sue memberitahunya tentang keadaan Joanna dan ketakutannya. 

Behrman mengomel panjang lebar, “Mana mungkin ada orang yang mati karena daun-daun yang rontok? Kenapa kamu biarkan ia berpikir seperti itu. Ah, kasihan Joanna.”

“Dia sakit dan lemah,” ujar Sue, “dan demamnya membuat  pikirannya kacau.”

Joanna tampak lelap ketika mereka naik ke atas. Sue menurunkan gorden di jendela dan mengajak Behrman ke ruang yang satu lagi. 

Dari sana mereka mengintip ke luar jendela dan saling menatap tanpa bicara. Di luar hujan turun dengan deras, bercampur salju. Behrman duduk berpose sebagai penambang tua di atas ketel yang dibalik, seolah-olah batu.

Ketika Sue terbangun keesokan paginya, ia melihat Joanna, dengan mata kosong, menatap gorden hijau di jendelanya.

“Bukakah, aku ingin lihat.”

Sue menurut.

Astaga! Walaupun semalaman hujan deras dan angin berhembus kencang, daun terakhir itu masih bertahan. Ia bergantung dengan gagah berani di batangnya.

“Daun terakhir,” ujar Joanna. “Kutaksir ia pasti rontok semalam. Kudengar angin keras sekali. Hari ini ia akan jatuh, dan aku akan mati bersamanya.”

“Duh, kamu jangan begitu,” keluh Sue sambil merebahkan kepalanya di bantal. “Kamu tidak kasihan padaku?”

Hari itu pun berlalu, dan dalam keremangan senja daun terakhir itu masih bergantung pada batangnya. Malam itu angin bertiup kencang lagi, dan hujan memukul-mukul kaca jendela.

Ketika pagi datang Joanna meminta Sue membuka gorden lagi.

Daun itu masih ada.

Joanna berbaring lama, menatapnya. Lalu ia memanggil Sue.

“Aku jahat ya, Sue?” katanya. “Daun itu bertahan di sana untuk membuktikan padaku, betapa jahatnya aku. Dosa, kan, menginginkan kematian? Sekarang aku mau makan bubur dan minum susu.”

Dokter datang lagi siang itu, dan setelah memeriksa Joanna, Sue mengantarnya ke lorong.

“Kondisinya bagus,” kata dokter. Dengan perawatan yang telaten ia akan sembuh. Sekarang aku harus memeriksa pasien lain di lantai bawah. Behrman  namanya, dan ia pelukis. Kurasa ia mengidap pneumonia juga. Ia sudah tua dan lemah, dan supaya lebih nyaman ia akan kubawa rumah sakit.”

Keesokan harinya dokter berkata pada Sue, “Temanmu akan sembuh. Kalian menang. Nutrisi dan perawatan, itu yang menyembuhkannya.”

Dan sore itu dilihatnya Joanna sudah bisa merajut selendang wol. Sue memeluknya. “Ada yang harus kusampaikan padamu,” katanya. “Hari ini Behrman meninggal di rumah sakit karena pneumonia. Pagi  itu tukang sapu menemukannya di kamarnya, terbaring di lantai.  Sepatu dan bajunya basah kuyup. Orang-orang tidak tahu ke mana ia pergi di malam yang dahsyat itu. Lalu mereka menemukan lampu gantung yang masih menyala, sebuah tangga, beberapa kuas, sebuah palet dengan sisa cat. Dan lihatlah di jendela, lihatlah daun terakhir itu. Tidakkah kau heran, mengapa daun itu tidak rontok ketika angin bertiup demikian kencang? Itulah masterpiece Behrman – dia melukisnya malam itu di sana, ketika daun terakhir rontok.”

11 Oktober 2020

#daun_medifans

Avatar photo

About Belinda Gunawan

Editor & Penulis Dwibahasa. Karya terbaru : buku anak dwibahasa Sahabat Selamanya.