Demi Keadilan, Peninjauan Kembali Tak Perlu Dibatasi

Diskusi Hukum01

Oleh YUDAH PRAKOSO

PK merupakan pengejahwantahan hakikat proses peradilan perkara pidana yang pembuktiannya harus meyakinkan hakim, mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau kebenaran materil, yaitu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat keraguan.

ADAGIUM  “lebih baik melepaskan 1000 orang bersalah, daripada menahan atau memenjarakan satu orang yang tidak bersalah”, sepertinya tidak berlaku di dunia peradilan Tanah Air saat ini. Merujuk kasus-kasus yang membetot perhatian public, seperti kasus kopi sianida yang mengakibatkan terbunuhnya Mirna Salihin dengan terpidana Jessica Wongso (2016); kasus pengambilalihan lahan penduduk oleh perusahaan di Surabaya (2015) serta kasus yang menjerat Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (2016), kasus-kasus ini kini tengah membutuhkan “keadilan baru” dengan mengajukan upaya hukum : Peninjauan Kembali (PK).

Berbagai kasus ‘salah tangkap’ hingga ‘salah vonis “ masih terus terjadi. Masih ingat kasus Sengkon danKarta pada era 1970-an? Kasus ini adalah salah satu contoh berlakunya peradilan sesat di Indonesia yang cukup fenomenal. Sementara itu masih ada lagi kasus-kasus yang “ditarget” untuk cepat selesai demi kepentingan tertentu, seperti untuk “menutup”  kasus yang menyita perhatian khalayak dan adanya desakan public serta untuk alasan image baik.

Sebaliknya untuk kasus yang rumit penuntasannya, hamba hukum kitat erkesan abai dan menyerah. Kasus pembunuhan ibu Titi dan anaknya, Amel di Subang (18 Agustus 2021) atau dugaan pembunuhan mahasiswa Universitas Indonesia (UI) asal Jogyakarta Akseyna yang “tenggelam” di danau UI, yang sudah 7 tahun menggantung malah gagal menghadirkan “tersangka” apalagi “terpidana”.

Diskusi Hukum yang dihelat Samwisesa dengan topik PerlukahPengajuanPeninjauan Kembali Dibatasi ?” : Antara Pengebirian Hak AsasiManusia versus Matinya Rasa Keadilan di Kopi Lembah,  Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (Sabtu, 28 Maret 2022) yang dihadiri perwakilan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum dari beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta.

Acara dikusi di Kopi Lembah,  Kampus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu, 28 Maret 2022 yang dihadiri perwakilan Senat Mahasiswa Fakultas Hukum dari beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta, mendapat perhatian serius dari para peserta.

Para pembicara yang hadir di antaranya,  Dr. Sigid Riyanto, SH, MH dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Dr. Arief Setiawan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia serta dimoderatori pengamat komunikasi politik Dr Ari Junaedi, SH, M.Si dari Nusakom Pratama Institut.

Menurut Arief Setiawan, banyak pencari keadilan gagal menggapai keadilan yang hakiki sementara upaya untuk pengungkapan fakta baru atau (novum) kandas dengan aturan yang membelenggu.

“Peninjauan Kembali (PK) merupakan salah satu bagian dariupaya hokum luar biasa, di samping upaya kasasi, terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Disebut sebagai upaya hukum luar biasa karena Peninjauan Kembali (PK) hanya bisa dilakukan apabila seluruh upaya hukum biasa, yakni banding dan kasasi, telah dilakukan. Sehingga, pada esensinya PK merupakan sarana bagi terpidana atau ahli warisnya untuk memperoleh keadilan dan melindungi kepentingan terpidana,”ungkap Arief Setiawan.

Sedangkan menurut penilaian Sigid Riyanto, mengingat pentingnya PK sebagai upaya mencari keadilan bagi terpidana,  Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 34/PUU-XI/2013 telah mempertegas bahwa pengajuan peninjauan kembali pada perkara pidana tidak seharusnya dibatasi jumlah pengajuannya.

Melalui putusan ini, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yang menguraikan permintaan PK hanya dapat dilakukansatu kali saja, tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

“Konsekuensi dari putusan ini, terpidana sekarang dapat mengajukan permohonan PK lebih dari satu kali sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur,” jelas Sigid Riyanto.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menekankan bahwa PK merupakan pengejahwantahan hakikat proses peradilan perkara pidana yang pembuktiannya harus meyakinkan hakim, mengenai kebenaran terjadinya suatu peristiwa atau kebenaran materil, yaitu kebenaran yang di dalamnya tidak terdapat keraguan.

Diskusi dihadiri oleh Dr Sigid Riyanta SH, MH pakar hukum pidana Fakultas Hukum UGM, Dr Ari Junaedi SH, Msi, Pakar Komunikasi Politik UI, Dr Arief Setiawan SH, MH pakat Hukum Pidana Fak Hukum UII.

Dalam mencapai kebenaran materil ini, tidak seharusnya ketentuan yang bersifat formalitas membatasi upaya terpidana dan hakim untuk mencari keberanan materil. Salah satunya pembatasan pengajuan permohonan PK hanya satu kali.

Mahkamah Konstitusi berkeyakinan bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi bahwa upaya hokum luar biasa (berupa PK) hanya dapat diajukan satu kali, karena mungkin saja setelah diajukannya PK dan diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial ditemukan yang pada saat PK sebelumnya belum ditemukan.

Baik Arief maupun Sigid sepakat, hakim-hakim agung di Mahkamah Agung saat menerima pengajuan PK bisa merenungkan kembali bahwa dirinya adalah wakil Tuhan yang sedang memutuskan nasib peradaban manusia yang tengah memperjuangkan keadilan. – */dms

SEIDE

About Admin SEIDE

Seide.id adalah web portal media yang menampilkan karya para jurnalis, kolumnis dan penulis senior. Redaksi Seide.id tunduk pada UU No. 40 / 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Opini yang tersaji di Seide.id merupakan tanggung jawab masing masing penulis.