Seide.id – Dalam bayangannya, antara sadar dan tidak, lelaki itu seperti didatangi seorang kakek tua.
“Apakah kau ingin melihat masa depan keluarga sepeninggalmu?”
“Terima kasih, biarlah semua itu jadi misteri,” sahutnya takzim.
“Serius?”
“Ya!” tegas lelaki itu sopan, sambil menunduk. Ia tidak mau halunisasi. Dikejar keingin-tahuan dan makin penasaran. Masa depan itu misteri, dan domain Ilahi.
Sesungguhnya, apa yang dicari dalam hidup ini, selain harus dijalani dengan ikhlas.
Hidup ikhlas hati itu yang tengah diupayakannya. Ia ingin melepas ikatan keduniawian tanpa merasa kehilangan. Lahir dan mati ia tidak membawa apa-apa agar hidup ini tanpa beban.
Faktanya itu sulit. Sejak ditinggal istri terkasih untuk selamanya itu, hidupnya seperti kehilangan kendali dan arti.
Semula ia berpikir, dan menjalani. Bahwa dengan banyak aktivitas bersama teman dan komunitas itu ia bakal mampu melupakan istri, anak cucunya, dan hidup bahagia.
Ternyata tidak. Dalam keramaian itu ia tetap merasakan sepinya sepi hidup sendiri.
Begitu pula, ketika di rumah. Banyak aktivitas dilakukan. Mulai dari beberes rumah, menyiram tanaman, masak nasi, nonton tv, membaca, atau meditasi. Semua itu juga tidak mampu menghilangkan rasa sepi.
Ia lalu mencoba mengikuti saran anaknya untuk bersenang-senang dengan pelesir, berwisata, atau berziarah. Hal itu juga gagal. Hatinya berasa hambar, dan kosong.
Seorang sahabat juga pernah menyarankan agar ia menikah lagi supaya ada yang menemani. Tapi hal itu tidak bisa dituruti, karena figur istrinya yang setia itu tidak bisa digantikan oleh wanita mana pun juga.
Ia juga pernah mencoba untuk hidup dalam komunitas pendoa yang terkenal disiplin. Ia merasa mampu, karena sejak kecil ia telah dididik disiplin ketat oleh orangtua.
Oleh Guru spiritualnya itu, ia disarankan agar berpikir seksama dan bertanya pada nurani sendiri. Karena hidup sebagai pendoa itu datang dari kesadaran hati, dan anugerah Allah. Sekitar dua minggu ia mampu bertahan di komunitas pendoa itu, lalu rindu dengan aktivitas di kota.
“Apakah kelak saya harus tinggal di panti jompo?”
Tiba-tiba pertanyaan itu mengusik hatinya. Ia lalu membayangkan hidup di panti dengan banyak orang yang seumuran. Benarkan, di panti ia tidak bakal kesepian?
Untuk yang kesekian kali pula ia ragu seragunya, karena banyak cara telah dicobanya. Tapi selalu gagal. Ia merasa sepi, sendiri, dan tidak berarti.
“Apakah aku harus tinggal bersama anak, menantu, dan cucu?”
Hal itu juga pernah dicobanya. Ia datangi anak-anaknya dari satu kota ke kota lainnya bergantian, dan menginap beberapa lama. Anehnya ia merasa tidak nyaman, jika dibandingkan tinggal di rumah sendiri.
Menantu si A banyak menuntut, si B cerewet dan bawel. Cucu-cucunya biasa ribut, berisik sekali, dan sulit diatur. Padahal, ia telah mengajar dan membiasakan anak-anaknya dulu untuk disiplin, tata krama, sopan santun, dan tertib. Faktanya, mereka seperti kurang peduli dengan anak sendiri. Anak dulu dan sekarang itu jauh berbeda. Anak dulu itu mudah diarahkan dan miliki rasa peduli pada orangtua. Anak sekarang ingin serba instan dan mudah.
Kini, harus bagaimana ia tentukan sikap?
Dihelanya nafas panjang. Entah kenapa, tiba-tiba ia rindu pada anak, menantu, dan cucu-cucunya. Ketika kecil ia juga nakal dan badung seperti cucunya. Bahkan ia sering berantem, lalu orangtuanya dipanggil ke sekolah. Ibu amat sabar sesabarnya, karena tidak pernah menghakimi, tapi selalu mengingatkan dan memberi solusi padanya.
Kesabaran dan kasih Ibu itu yang membuat hatinya luluh, sadar, dan berubah untuk perbaiki diri.
“Jadi orangtua itu tidak mudah, Le. Merubah perangai orang itu sulit. Lebih baik kau yang sabar dan mohonlah rahmat Allah agar kau dapat berubah sendiri untuk memahami mereka,” nasihat Ibu bijak.
Nasihat Ibu itu lalu mengikutinya, dalam tarikan nafas, langkahnya, dan sungguh membuat hatinya makin risau. Ia tidak bisa menuntut orang lain untuk berubah, tapi ia harus berubah sendiri.
Bisa jadi anak dan menantunya menolak tinggal serumah, karena aturan disiplin yang ketat dan kaku dalam keluarga. Mereka harus ikuti peraturan itu.
Sesungguhnya ia yang membatasi diri sendiri terhadap anak-anak dan menantunya. Sikap kaku itu yang membuat mereka segan padanya. Sehingga ia kurang merasakan perhatian dan kasih mereka.
Sebutir kesadaran menggelundung ke dasar hatinya. Tidak seharusnya ia sekaku itu terapkan aturan dalam keluarga. Aturan yang dulu lain dengan yang sekarang, karena kita harus ikuti perkembangan zaman.
Semboyan Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karsa, dan tut wuri handayani” itu telah membuka mata hatinya. Bahwa semangat keteladanan orangtua itu harus dihidupi dengan semangat pengertian dan mengasihi tulus hati agar mengakar kuat di hati setiap anggota keluarga.
Ia tidak mau kehilangan cinta anak-anak, menantu, dan cucunya. Ia akan mencurahkan cintanya agar mereka kembali kepadanya demi keutuhan dan kebahagiaan keluarga.
…
Mas Redjo / Red-Joss