Oleh DIMAS SUPRIYANTO
SAYA ikut lega konser akbar Colplay berlangsung lancar. Meriah dan aman. Ormas anarkis yang semula mau menganggu acara hiburan, gagal melakukan aksinya, meski bisa mendekati lokasi. Hanya berhasil teriak teriak, tapi tak mampu membatalkan konser. Puluhan ribu, konon ada 80 ribu penonton yang lama menunggu sejak Mei 2023 lalu, berhasil menuntaskan rasa penasarannya dan menikmati music hidup, khas hiburan di abad 21, ketimbang pendemo, kumpulan warga primitive, ormas intoleran anarkis, yang seharusnya tinggal di gurun pasir di jazirah Arab atau gurun Afrika.
Banyak warga ibukota dan sekitarnya yang salah lahir dan salah tempat tinggal. Harusnya lahir di abad pertengahan, tapi hidup di hari ini – di negeri kita ini. Seharusnya tinggal di Afganistan atau Yaman, tapi numpang hidup di sekitar Jakarta ini. Dan itu menjadi penyakit peradaban. Memuja kehidupan Zaman Nabi di era IoT (internet of thing) di hari ini.
Tak semata bersenang senang, hura hura dan pesta bagi yang menikmati, konser music adalah manifestasi kebangkitan ekonomi dengan dampak hasil hingga senilai Rp 167 triliun saja dari kegiatan konser – sepanjang tahun ini – menurut perkiraan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Salahuddin Uno.
Saya tidak hadir di Stadion Senayan dan nonton konser Coldplay Music of The Spheres World Tour itu. Tidak terobsesi juga. Tak mampu membayar tiketnya. Rp 800 ribu hingga Rp 11 juta per lembarnya. Dan itu belum termasuk pajak pemerintah 15 persen, ‘convenience fee’ 5 persen, dan biaya tambahan lainnya. Mahal sekali. Gilanya terjual 100 persen. Tak pelak, banyak tiket palsu beredar.
Selain itu, saya juga tak begitu familiar dengan jenis musiknya. Saya sudah out of date untuk perkembangan music jenis ini. Saya sudah puas menyaksikan langsung ‘Konser Emas 50 tahun God Bless’, band rock jadul yang bertahan hingga kini di Istora Senayan, 10 November lalu.
Tapi ColdPlay memang fenomenal yang mencengangkan. Bukan semata corak music dan aksi panggungnya, melainkan konsep pergelarannya yang bertabur cahaya. Gemerlap seluruh panggung dan stadion. Suasana konser Coldplay memang sangat berasa di malam hari dengan gemerlap lampu yang bersumber dari sinar gelang LED yang dipakai penonton. Istilah populernya ‘LED wristbands’.
Sejauh yang saya tahu, ini band dunia pertama, yang melibatkan penonton sebagai bagian pertunjukkan. Sehingga apa yang tersaji di layer video, yang juga terekspos di media sosial penonton bukan semata mata penikmat yang duduk manis dan menyaksikan artis yang sedang menghibur, melainkan bagian dari “pemain” yang memeriahkan konser itu.
Panitia konser meminjamkan gelang LED dari Xylobands yang dirancang dalam kontrol radio untuk menciptakan beberapa pola lampu kilat dengan beragam efek visual. Dan dikembalikan sesudahnya.
Dan ajaibnya penonton membayar mahal untuk itu. Ingin jadi bagian dari pergelaran itu, dan merayakannya bersama. Luar biasa. Hanya sepakbola dan partai politik besar yang bisa menyanginya. Kabar Rp.1,7 triliun dampak ekonomi yang berputar di konser ini sangat masuk akal. Hotel berbintang di sekitar Senayan fully booked. Banyak yang dari luar Jakarta berdatangan khusus untuk nonton konser ini.
Saya mengenal lagu lagu Coldplay sejak sepuluh tahun lalu, dari ponakan di Bandung. Lewat lagu ‘In My Place’ yang diputar berulang ulang di kamarnya, dengan denting melody pembukanya yang membius. Belakangan baru menyusul lagi ‘Yellow’, ‘Clock’, ‘Viva La Vida’ – dll.
Tapi bagi penggemar tak semata itu. Di konser music, yang dinikmati adalah suasana, atmosfir, vibe, kebersamaan menikmati sesuatu yang menyenangkan. Terlebih lagi di era media sosial kini: setiap orang yang bisa hadir di moment yang ditunggu dan jadi puncak acara istimewa merupakan eksklusifitas yang harus diabadikan dan dibagikan, share di akun media sosialnya! untuk menyatakan dan menegaskan; “Aku ada di sana lho. Aku pun ada di situ!”
Pihak band, melalui vokalis Chris Martin, memberi kode bahwa mereka mau datang lagi, konser perdananya yang sukses ini. Dan pernyataan itu disambut gemuruh penggemarnya.
Kota Jakarta memang asing bagi yang belum datang ke sini. Gambaran keterbelakangan negara kita masih dibayangkan oleh mereka, sesuai keterbatasan informasi yang mereka terima. Seperti delegasi Amerika Latin, saat menyaksikan stasion di Surabaya sebelum penyelenggaraan Piala Dunia U-17 2023. Mereka tak mengira kita punya stadion modern megah dan besar . Demikian juga nampaknya ColdPlay
Lebih dari itu, sambutan heboh fans dan peran aktifnya di pertunjukkannya merupakan energi tersendiri bagi para artis panggung seperti mereka.
“Rasanya mau setiap minggu konser di sini, “ kata Chris Martin, vokalis berpembawaan ramah, yang mencium tanah bandara Halim Perdana Kusumah, sebelum naik pesawat dan balik ke negerinya.
Bule ikut Sujud Syukur juga? ***