Di Mana Organisasi Wartawan Ketika Ada  Berita Vulgar Tentang Selebritas Indonesia?

Tanggal 29 Juli 2021 Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mengeluarkan pernyataan yang isinya mendesak media massa menghentikan praktik sekisme dan subordinasi terhadap atlet perempuan dalam pemberitaan olahraga.

Pernyataan AJI dikeluarkan merespon pembicaraan yang ramai mengenai berita-berita olahraga di situs media Viva (mungkin maksudnya Viva.co.id)  

Menurut AJI, judul berita yang terdokumentasi selama 2020-2021 ini tampak mengobjektivikasi para atlet perempuan dan merendahkan kemampuan personal dan profesional mereka. Salah satunya adalah berita dalam arsip berikut https://archive.is/DDjHN

AJI menambahkan, Alih-alih memberitakan olahraga yang fokus terhadap prestasi para atlet, Viva justru menayangkan berita-berita seksis yang eksploitatif dan diskriminatif terhadap identitas gender hanya demi mendulang klik. Hal ini sangat bertentangan dengan nilai yang mengikat kerja-kerja jurnalistik seperti tertera dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ)  yang diatur dalam Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 dan UU Pers No. 40/1999.

Berita-berita ini telah melanggar Pasal 8 KEJ yang berbunyi, “Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa  serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa, atau cacat jasmani.

Selain AJI, Seksi Wartawan Olahraga (SIWO) Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) juga mengirimkan surat ke Pimpinan Redaksi Viva.co.id yang isinya mengangkat berita-berita tentang Olimpiadi Tokyo 2020.

Kepada Viva, SIWO PWI mengingatkan tentang Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang berbunyi : Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

PWI menilai berita-berita yang ditampilkan Viva.co.id mengenai Olimpiade Tokyo 2020 mengandung unsur cabul dan tidak bermoral.  SIWO mengingatkan, sebagai media siber terkemuka di Indonesia viva.co.id sepatutnya memberikan informasi yang mencerdaskan bangsa. Dan harus bertanggung jawab secara moril atas martabat atlet olahraga putri. Sebagai insan olahraga tentu kami sangat menyayangkan dan perlu mengingatkan.

Hapus Berita

Mendapat “serangan” bertubi-tubi dari masyarakat dan dua organisasi wartawan berwibawa tersebut, rupanya Viva tidak tahan, lalu menghapus tulisan-tulisan tentang atlet putri Olimpiadi Tokyo 2020 yang dinilai cabul dan melecehkan. Salah satunya, menurut AJI,  berita terkait atlet bulutangkis Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti dalam arsip berita berikut http://archive.today/RtU5D. Saat ini, berita dengan judul “Reputasi Bulutangkis Indonesia Rusak Gara-gara Praveen/Melati” sudah tidak bisa diakses.

Ternyata tindakan itu pun disalahkan oleh AJI. Mengacu pada  Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik,  media harus mencantumkan permintaan maaf kepada pembaca atau pendengar, jika mencabut, meralat, atau memperbaiki berita yang keliru. AJI Jakarta tidak menemukan adanya penjelasan lebih lanjut dari Viva terkait pencabutan berita tersebut, seperti yang diatur dalam Pedoman Pemberitaan Media Siber dan Kode Etik Jurnalistik Pasal 10.

Dalam pernyataan sikapnya AJI Jakarta menghimbatu media massa menghentikan praktek seksisme dan subordinasi terhadap atlet perempuan; memastikan jurnalis mematuhan pedoman pemberitaan media siber dan kode etik jurnalistik; dan mendorong publik memantau berita-berita bermasalah secara etik serta melaporkannya ke Dewan Pers.

Langkah Maju Tapi Terlambat.

Perhatian organisasi pers terhadap isi pemberitaan media merupakan sebuah Langkah maju, walau pun peringatan ini terkesan hanya respon atas reaksi masyarakat yang telah meramaikannya terlebih dahulu.

Namun perlu juga dipertanyakan, mengapa respon AJI dan PWI hanya sebatas tulisan-tulisan mengenai sekisme atlet Olimpiade semata. Apakah ini hanya ingin mendompleng popularitas Olimpiade Tokyo 2020 yang kebetulan sekarang sedang menjadi perhatian masyarakat.

Jauh sebelum Olimpiade berlangsung, banyak media yang menurunkan tulisan, termasuk foto yang lebih vulgar dari penggambaran pribadi atlet Olimpiade.

Tulisan mengenai selebritas seperti Nikita Mirzani, Dinar Candy, selebritas transgender Lucinta Luna dan banyak lagi, ditampilkan dengan judul-judul – berikut isinya – yang sangat vulgar. Hal-hal pribadi yang tidak pantas ditampilkan di media massa, bisa muncul tanpa hambatan.

Apakah organisasi wartawan / jurnalis itu menilai orang-orang seperti Nikita Mirzani, Dinar Candy, Lucinta Luna atau beberapa selebritas lainnya, bukan sosok yang perlu dilindungi seperti atlet Olimpiade Tokyo 2020?

Berikut adalah tulisan-tulisan beberapa selebritas tersebut yang turun di media massa:

https://suar.grid.id/read/202358872/hampir-keceplosan-nikita-mirzani-buka-bukaan-soal-kehidupan-ranjangnya-sebut-banyaknya-jumlah-pria-yang-pernah-berhubungan-intim-dengannya-sekarang-udah-lebih-dari-?page=all

https://www.tribunnews.com/seleb/2020/06/07/nikita-mirzani-buka-bukaan-soal-urusan-ranjang-sama-suami-melaney-melongo-semalam-bisa-8-kali

https://www.harianhaluan.com/hiburan/pr-10234446/bukabukaan-dinar-candy-ngaku-pernah-begituan-dengan-dj-italia

https://www.liputan6.com/showbiz/read/4578217/bahas-soal-gender-lucinta-luna-kalau-gue-cowok-nggak-mungkin-punya-pacar-cowok-yang-bisa-menghamili

https://www.tribunnews.com/seleb/2019/03/25/lucinta-luna-ngaku-malam-pertama-bercinta-10-ronde-ini-kata-dokter-soal-hubungan-yang-berlebihan

Sejauh ini tidak ada pihak yang keberatan, termasuk organisasi-organisasi pers. Entah ada di mana mereka ketika tulisan-tulisan itu turun.

Dalam pemahaman saya yang sempit ini, saya tidak tahu siapa sebenarnya yang mengawasi isi media di era reformasi ini. Apalah organisasi wartawan / jurnalis atau Dewan Pers? Lantas bagaimana institusi-institusi itu bekerja? Adakah bidang yang khusus mengawasi tulisan-tulisan di media, lalu mengambil tindakan sesuai dengan UU Pers atau Kode Etik Jurnalistik, tanpa menerima pengaduan? Nah itu yang jarang terdengar.

Di masa Orde Baru, ketika pers masih di bawah kontrol Departemen Penerangan, dalam struktur di Departemen tersebut ada Direktorat Jenderal Bina Pers dan Direktorat Bina Wartawan. Tugasnya adalah mengawasi berita-berita di media dan perilaku wartawan.

Waktu itu media tempat saya bekerja – dijuliki mingguan “kuning” – hampir setiap minggu dipanggil untuk menghadap. Ketika bertemu Direktur Bina Pers atau Bina Wartawan, kami disodori “daftar dosa” berita-berita yang kami turunkan. Buntutnya adalah peringatan, permintaan maaf, dan jabat tangan asyik! Tahu sama tahulah!

Di era reformasi tidak ada kontrol untuk pers. Pers baru dipanggil oleh Dewan Pers bila ada pengaduan dari masyarakat yang keberatan atas berita yang diturunkan. Dewan Pers memanggil para pihak, lalu melakukan mediasi. Ada yang bisa didamaikan oleh Dewan Pers, tetapi ada pula unsur masyarakat yang membawanya ke ranah hukum pidana.   

Sebagai warga desa, saya juga menghimbau kepada organisasi-organisasi pers, apakah PWI / AJI atau yang lainnya, untuk ikut juga memperhatikan berita-berita selebritas yang vulgar, jangan memiliki standar ganda.

Berita-berita tentang selebritas Indonesia itu jauh lebih merusak moral masyarakat, ketimbang tulisan atlet olimpiade yang diambil dari Instagram sang atlet sendiri. Toh para atlet itu juga secara sadar berpose begitu di instagrammya, walau pun media yang memuatnya membuat judul-judul lebay.  

Avatar photo

About Herman Wijaya

Wartawan, Penulis, Fotografer, Videografer