Oleh SYAH SABUR
Duka akibat gempa dan tsunami yang melanda Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah rupanya tak menghentikan penyebaran hoax, dan ujaran kebencian di media sosial. Malah, bagi sebagian orang, suasana duka ini seolah dianggap momen yang pas untuk menyebar beragam hal yang bengkok dan miring, yang berkaitan dengan bencana tersebut.
Mereka berupaya sekuat tenaga untuk mencari kesalahan pemerintah dalam menangani bencana. Kalaupun tidak ada kesalahan besar, mereka akan memanfaarkan kesalahan sekecil apapun untuk memulai aksinya. Lalu bagaimanna jika tidak ada kesalahan? Tentu saja mereka tidak akan kehabisan akal untuk memproduksi informasi palsu, fitnah maupun ujaran kebencian.
Lihat saja pernyataan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Shobri Lubis yang mengaitkan gempa bumi di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah dengan penetapan tersangka terhadap penceramah Sugi Nur Raharja alias Gus Nur. “Gus Nur dinyatakan tersangka, di Palu langsung gempa bumi,” kata Shobri dalam acara Doa untuk Keselamatan Bangsa di Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Sabtu (29/9) seperti dikutip berbagai media. Tidak jelas, apa yang membuatnya yakin bahwa penetapan tersangka Sugi berakibat gempa dan tsunami di Donggala dan Palu.
Di media sosial juga muncul hoax yang menyatakan akan adanya bencana susulan yang lebih besar di Palu: “Tolong hubungi Mama Mea dll yang di Palu. Palu siaga 1. Barusan temanku di BMKG habis periksa alat pendeteksi gempa yang dorang taro di laut, kalau gempa susulan akan ada lebih besar dari kemarin, berkekuatan 8,1 ke atas dan berpotensi tsunami yang lebih besar dari kemarin”.
Selain itu, ada pula hoax lain yang berkaitan dengan gempa. Pesan berantai di WhatsApp tersebut menginformasikan akan terjadi gempa megathrust Pulau Jawa, khususnya Jakarta yang besarnya bisa mencapai 8,9 pada Skala Ritcher. Pesan berantai itu juga mengimbau masyarakat untuk waspada dan menyiapkan surat-surat penting. Padahal, hingga saat ini belum ada satu pun ahli dan teknologi yang mampu memprediksi gempa.
Lalu muncul berita pelintiran bahwa Mendagri mengizinkan warga korban gempa untuk mengambil barang yang diperlukan di minimarket dan pemerintah akan membayarnya. Padahal, maksudnya, Mendagri meminta aparat di jajarannya untuk mengambil barang di minimarket bagi korban gempa. Selanjutnya, pemerintah yang akan membayarnya kepada pemilik minimarket.
Ada juga pernyataan petinggi partai oposisi yang menggelitik. Juru bicara Prabowo-Sandi, Ferry Juliantono mengatakan, dalam memberikan bantuan, dia tak ingin bantuan yang diberikan Jokowi di luar tugasnya sebagai presiden, memanfaatkan fasilitas negara yang dimiliki oleh Jokowi sebagai presiden. Karena itu, Ferry meminta agar fasilitas negara tidak dimanfaatkan Jokowi saat menyampaikan bantuan untuk korban gempa.
Ferry seolah lupa bahwa, sesuai aturan, saat membagikan bantuan, Presiden Jokowi memang berhak memakai fasilitas negara. Jokowi dilarang memanfaatkan fasilitas negara saat berkampanye, yang berlangung di hari libur atau saat mengambil cuti.
Tentu ada pula komentar berupa sindiran halus. FPI sudah turun di Palu, Donggala dll. Semoga BANSER sudah di sana juga ya. Begitu status yang tertulis di salah satu akun Facebook.
Para penyebar hoax dan kabar miring sepertinya tidak mengenal hari libur. Dalam suasana duka akibat bencana pun, hoax dan kabar miring tetap hadir. Celakanya, satu ujaran miring akan mendapat dukungan dari orang-orang yang sepaham atau sealiran. Bahkan, tidak jarang kemudian sejumlah ujaran tersebut menjadi viral akibat disebarkan oleh banyak orang.
Lalu mengapa hoax begitu mudah menjadi viral, menyebar? Pernyataan salah satu penulis terkenal asal Amerika Serikat, Mark Twain sekitar satu abad lalu sepertinya masih relevan dengan kondisi saat ini. “Kebohongan dapat menyebar hingga separuh dunia sementara kebenaran hanya tersimpan di ujung sepatu”.
Koran New York Times pernah menyebut berita-berita bohong yang kerap dibumbui judul bombastis dan menarik perhatian sebagai virus digital. Yang menjadi masalah adalah, virus digital ini cenderung lebih mudah menjadi viral dan dipercaya banyak orang. Penyebab dari mudahnya informasi bohong ini menyebar adalah karena terbatasnya perhatian manusia dan banyaknya informasi yang muncul di media sosial atau internet.
Yang juga mengejutkan, beberapa waktu lalu sebuah penelitian di Amerika Serikat menyatakan, warga dengan pendidikan tinggi memiliki kemungkinan menyebar hoax terbanyak. Memang belum ada penelitian serupa di Indonesia. Namun, dari postingan netizen yang bisa dibaca di grup WhatsApp maupun Facebook, terlihat bahwa banyak orang yang berpendidikan tinggi yang mudah percaya hoax.
Tapi memang harus dibedakan dengan tegas antara berpendidikan tinggi dengan banyak membaca. Sebab, khususnya di Indonesia, orang yang berpendidikan tinggi tidak otomatis banyak membaca.
Dari riset kecil-kecilan yang penulis lakukan, sebenarnya banyak orang yang tidak suka hoax, berita miring atau ujaran kebencian tapi mereka pasif dengan berbagai alasan. Misalnya, karena tidak mengetahui suatu topik hoax secara mendalam, tidak suka berkonflik dengan teman segrup atau merasa hoax yang menyebar tidak berkaitan secara langsung dengan kehidupannya. Kalau demikian, untuk apa mereka peduli?
Hoax dan berita miring juga mudah menyebar berkat adanya media sosial di telepon genggam banyak orang. Dengan begitu, hoax dan berita miring langsung sampai kepada individu, kapan dan di mana pun. Karena media penyampaiannya yang berlangsung antarindividu, hoax jadi begitu personal, yang mudah menarik kepercayaan penerimanya.
Hal itu berbeda dengan radio, televisi, majalah atau koran misalnya yang tidak selalu menempel pada seseorang. Sedangkan telepon genggam, seperti kata sebuah iklan, selalu setia setiap saat.
Hoax dan kabar miring juga mudah dipercaya karena penerima pesan mengenal baik si pengirim pesan. Apalagi grup WhatsApp yang biasanya beranggotakan orang-orang yang cenderung homogen, baik dalam latar belakang pendidikan maupun minat. Lihat saja umumnya grup WhatsApp yang terdiri dari teman satu sekolah, teman satu jurusan di kampus atau teman sekantor, seprofesi maupun seideologi, khususnya menjelang tahun politik.
Lalu, apa yang harus dilakukan untuk mengurangi penyebaran hoax dan ujaran kebencian? Lewat UU ITE pemerintah sebenarnya sudah menerapkan sanksi bagi para penyebar hoax, fitnah, dan ujaran kebencian. Pasal 45A (1) misalnya menyebutkan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selanjutnya ayat 2 menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Selain itu, Polri pun sudah memberikan stempel hoax pada berbagai informasi yang terbukti palsu. Ada pula langkah Kementrian Komunikasi dan Informasi yang memblokir situs penyebar hoax dan ujaran kebencian.
Namun, dalam bukunya Meda Komunikasi Politik (2018), Gun Gun Heryanto mengatakan, berbagai langkah tersebut ternyata tidak efektif. Sebab, selalu muncul penyebar hoax baru, situs baru, dan sekaligus hoax maupun ujaran kebencian yang baru.
Karena itu, Gun Gun mengusulkan adanya counter isu atau counter narasi agar penyebaran hoax, fitnah, dan ujaran kebencian tidak terjadi secara massif. Masyarakat harus mudah mendapatkan sumber informasi yang valid agar makin sedikit masyarakat yang percaya hoax.
Dalam kaitan ini, media mainstream memiliki tanggung jawab besar. Media mainstream harus terus merawat kredibilitasnya agar tidak ditinggalkan masyarakat. Sebab, ketika masyarakat mulai kehilangan kepercayaan kepada media mainstream, saat itulah hoax makin merajalela
Masalahnya, tidak banyak pengguna media sosial yang bersedia meluangkan waktu untuk membaca sumber informasi yang terpercaya. Ketika menerima hoax dan ujaran kebencian, sebagian orang langsung mempercayainya dan menyebarkannya kepada orang lain. Sebagian lagi bisa jadi ragu-ragu sehingga tidak menyebarkannya.
Tapi, orang-orang ini tidak berupaya untuk mencari informasi yang benar. Akibatnya, tidak ada tradisi yang serius untuk selalu mencari kebenaran dan mengabaikan hoax dengan penuh keyakinan. Sebagian sisanya mungkin tidak mudah percaya hoax dan ujaran kebencian sekaligus termotivasi mencari kebenaran. Tapi karena jumlahnya hanya sedikit, para penyebar hoax dan ujaran kebencian pun hampir selalu bersorak kegirangan. Mereka gembira karena berhasil memviralkan niat jahat mereka, termasuk di tengah bencana seperti gempa dan tsunami di Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah.***