Di Zaman Nabi Tak Ada Paskibraka

Paskibraka 2024

Jilbab adalah kostum yang baru yang muncul awal 1980-an, yang kedatanganya berbarengan dengan sukses Revolusi Islam Iran tahun 1979, diteruskan oleh kelompok Ikwan Muslimin (IM) Mesir dan Salafi Wahabi Arab Saudi. Hijab bukan semata mata gerakan agama melainkan gerakan politik. Tujuannya hegemoni politik berkedok agama.

OLEH DIMAS SUPRIYANTO

SEANDAINYA benar bahwa Istana melarang Paskibraka berhijab maka saya mendukung sepenuhnya larangan itu. seandainya larangan berhijab itu diperluas kepada Polwan, Kowad, Kowal, Kowau, dan ASN, di kantor kantor layanan pemerintah, kantor BUMN, siswa dan mahasiswa di lembaga pendidikan yang dibiayai negara, saya pun mendukung larangan itu.

Saatnya Indonesia menegaskan kedaulatannya dan menghentikan penjajahan budaya atas nama agama.

Kalau mau jadi Paskibraka jangan berhijab. Kalau mau berhijab ya tak usah jadi Paskibraka. Banyak remaja tidak berhijab yang siap jadi Paskibraka. Yang berhijab tidak usah memaksakan diri. Jadi penonton saja, atau petugas lain di belakang tenda.

SEJAK menjadi bagian penting dalam Upacara Peringatan Kemerdekaan RI, Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) punya standar disiplin yang jelas dan keseragaman dalam banyak hal – utamanya gerak langkah dan tindakannya, melalui pelatihan khusus yang keras – seperti yang nampak hasilnya dalam upacara di Istana Negara – setiap tahunnya. Mereka digembleng tak semata mata untuk baris berbaris dan menaikkan bendera, melainkan juga menempa mental patriot bangsa, dalam menghadapi berbagai ancaman negara.

Jika tidak bisa memenuhi syarat itu tak perlu memaksakan diri. Duduk saja di tribun penonton. Atau berdoa dan ‘wiridan’ di depan teve. Lagipula pada zaman nabi tidak ada Paskibraka!

KESAL. Saya sungguh kesal! Belakangan kaum agamawan makin membabi buta dalam memaksakan kehendak dan hak istimewanya. Mentang mentang beragama. Mudah tersinggung, marah, tantrum, melow, protes dan menuding siapa saja yang berlawanan dengan pendapat mereka, sebagai anti agama, anti Pancasila, antiHAM, bahkan AntiTuhan.

Padahal yang mereka bela ajaran agama asing, agama impor – bukan agama asli dari bumi Indonesia.

INDONESIA adalah negara bangsa, bukan negara agama. Sejak memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia berdaulat atas politiknya dan budayanya, mewarisi nilai nilai keindahan yang diciptakan oleh nenek moyang dan terus dikembangkan sebagaimana nampak pada pakaian tradisi yang beragam dan indah saat ini.

Pidato Bung Karno telah diulang ulang diperdengarkan; Jadilah Islam tanpa menjadi Arab, jadi Hindu tanpa jadi India, jadi Kristen tanpa menjadi Pelestina, menjadi Budha tanpa jadi Himalaya. Karena budaya kita kaya raya. Banggalah dengan kebudayaan sendiri.

Penting ditegaskan lagi – saat ini, agar tidak ada penjajahan budaya atas nama agama. Secara khusus agama Islam. Lebih khusus lagi Islam puritan ala Saudi Arabia dan Ikhwanul Muslimin, HTI-FPI. Lihatlah warga Bali yang menjadi Hindu tapi tidak keIndia-indiaan. Mengapa muslim kita keArab-araban?

Dampak buruk perbudakan spiritual – yang telah diingatkan oleh Guru Bangsa almarhum Buya Syafii Ma’arif – kini mulai terbongkar, sebagaimana yang tengah heboh; skandal Habib Palsu, Makam Palsu dan keluarga besar Ba’alawi yang terputus garis keturunannya. Padahal mereka sudah angkat kepala, menjajah Muslim lokal, dengan menjual gelar keturunan Rasulullah. Ternyata bukan keturunan Nabi, melainkan rombongan Imigran Yaman, yang diundang kaum penjajah Belanda untuk menaklukan pejuang Muslim di sini.

HIJAB bukan produk budaya Indonesia, juga bukan produk Islam. Sebelum 1980-an tidak ada hijab di Bumi Nusantara. Islam Nusantara mengenal kerudung sebagai penutup kepala layaknya None Betawi, ‘Kudung’ di Jawa Tengah atau ‘Tingkuluak’ bagi Wanita Minangkabau dan ‘Bulang’ bagi wanita Simalungun, Sumatera Utara. Ada puluhan nama lainnya, puluhan jenis, bermacam motif dan warna warni untuk beragam keperluan, dari ke sawah, menyambut tamu hingga upacara adat.

Jilbab adalah kostum yang baru yang muncul awal 1980-an, yang kedatanganya berbarengan dengan sukses Revolusi Islam Iran tahun 1979, diteruskan oleh kelompok Ikwan Muslimin (IM) Mesir dan Salafi Wahabi Arab Saudi. Hijab bukan semata mata gerakan agama melainkan gerakan politik. Tujuannya hegemoni politik berkedok agama.

Pemakaian jilbab sempat dilarang oleh Pemerintah Suharto, karena mencerminkan puritanisme dan mewakili Islam garis keras. Namun setelah reformasi 1998, menjadi bebas. Bahkan diwajibkan di sekolah, di kampus, kantor-kantor pemerintah, pegawai BUMN, yang mengancam keberagaman dan keIndonesiaan.

Bagaimana bisa, produk pakaian bangsa asing, menjadi busana wajib bagi anak anak perempuan dan kaum wanita kita – hanya karena tafsir keyakinan dan agama? Sebab banyak juga muslimah, anak Kyai, Ulama besar yang tidak berhijab.

BELAJAR dari Negeri Tajikistan di Asia Tengah, yang telah melarang pemakaian hijab bagi warga wanitanya, dengan tujuan “melindungi nilai-nilai budaya nasional” dan “mencegah takhayul dan ekstremisme” – baru baru ini – maka penting juga bagi Indonesia menegaskan kedaulatannya dengan sikap yang sama.

Hijab dilarang di Tajikistan karena bukan produk budaya mereka, dan juga bukan budaya Asia Tengah pada umumnya – dengan banyak negara (–tan) di sana. Apalagi Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia, Brunei dan lainnya!

Jilbab adalah produk budaya Timur Tengah yang tidak mewakili agama, karena dikenakan oleh kaum Yahudi, Kristen (Koptik), Islam, Assyrian, dan Yazidis. Juga penganut Majusi dan Atheis. Serta suku suku tradisional di Timur Tengah lainnya.

Tajikistan melakukan “shock therapy” karena jilbabisasi di negeri itu, telah merusak budaya asli mereka. Kini Tajikistan menerapkan larangan mengimpor, menjual, mengenakan, dan bahkan mengiklankan jilbab serta didorong untuk mengenakan pakaian nasional Tajikistan. Lengkap dengan sanksi dan denda yang harus ditanggung bila melanggar.

HIJABISASI di Indonesia dan negeri lainnya – berkelindan dengan kaum Islam puritan intoleran, kelompok hijabers, pemakai burqa dan semacamnya. Jenggot, celana cingkrang bagi kaum laki lakinya. Juga gaya hidup eksklusif, anti modernitas, anti bank, poligami, dll. Kembali ke abad kegelapan.

Mereka cenderung antipati kepada non muslim, gampang mengkafirkan yang tak segolongan dengan mereka yang tak sepaham.

Mereka terobsesi pada romantisme zaman nabi. “Pada zaman nabi….”, adalah awal doktrinnya.

“Ini tidak ada di zaman nabi… ” untuk hal yang mereka larang dan haramkan.

Anti negara, anti gereja dan rumah ibadah non Islam lainnya. Bahkan tak ragu menyerang kaum seagama, yang berbeda aliran.

Ajaran puritan yang mereka anut mengancam keberagaman. Kebhinekaan. Menciptakan penjajahan budaya. Korbannya bukan hanya Indonesia melainkan dunia Islam. Dan bangsa Indonesia, bangsa kita telah diperlat oleh mereka.

Melarang hijab tidak bertentangan dengan Pancasila dengan sila ketuhanan dan kebhinekaan. Sebab hijab bukan bagian dari budaya kita. Silakan berhijab tapi tak usah jadi Paskibraka.

Pihak Istana telah membantah bahwa tak ada lrangan berhijab bagi Paskibraka. Padahal saya sudah mendukungnya dan banyak orang seperti saya yang pasti mendukungnya.

Sayang sekali. ***

Avatar photo

About Supriyanto Martosuwito

Menjadi jurnalis di media perkotaan, sejak 1984, reporter hingga 1992, Redpel majalah/tabloid Film hingga 2002, Pemred majalah wanita Prodo, Pemred portal IndonesiaSelebriti.com. Sejak 2004, kembali ke Pos Kota grup, hingga 2020. Kini mengelola Seide.id.