Dia yang Memilih Mati Sebelum Perang Dimulai

Oleh IVY SUDJANA

Dini hari yang dingin. Semalam suhu turun di bawah sepuluh derajat. Joseph merapatkan mantel wol menutupi seragamnya. Di depannya, beberapa baris orang berbaju motif garis-garis berjalan melawan angin yang menderu. Meski tak sekencang biasanya, embusan angin telah membuat gemeretuk gigi silih berganti dengan gesekan langkah kaki dan guguran daun maple di musim gugur tahun itu.

Tentu bukan bunyi-bunyian yang indah di telinga Joseph. Bukan pertama kalinya, ia menggiring remaja-remaja ini masuk ke Sachsenhausen -kamp konsentrasi untuk tahanan politik dan kaum Yahudi- berjarak tigapuluh empat kilometer dari Berlin. Ini bagian tugasnya sebagai Jugend (tentara remaja Jerman) yang direkrut sejak kanak-kanak.

Joseph tak bisa menolak ketika direkrut Jugend di usia sepuluh tahun. Menolak berarti nasibnya seperti Max Ebel, salah seorang temannya yang dilecehkan dan diserang anggota Jugend sampai bersimbah darah. Sempat ia mencari dan bertanya-tanya, mengapa sejak hari itu Ebel tak pernah menampakkan dirinya.

Sebagai Jugend, Joseph dan tentara anak Jerman lain selalu dicekoki bahwa menangkap orang Yahudi adalah tugas mereka. Awalnya, Joseph kecil masih mengikuti kegiatan alam liar yang ditawarkan dengan senang. Seperti yang dilakukannya dulu bersama teman-teman Yahudinya, Schneider dan Ernst. Mereka sering bermain bola bersama karena tinggal bertetangga.
Mereka juga kerap kali berkemah dan membuat api unggun di pinggir sungai saat bulan purnama.

Pernah Joseph terpeleset dan nyaris tenggelam di sungai saat berusaha menangkap ikan. Schneider yang bertubuh gempal ternyata mampu menolongnya. Beberapa saat sebelum Joseph kehabisan napas, tangan Schneider menariknya membawa ke pinggir. Kejadian itu takkan pernah dilupakan Joseph.

Semakin lama Joseph di Jugend -seiring ia bertumbuh menjadi remaja- kegiatan alam liar tak ada lagi. Kini Joseph dan teman remaja lain dilatih menggunakan berbagai senjata serta bagaimana berkelahi dan menyerang orang. Segala aktivitas itu membuat Joseph sering pusing sampai memuntahkan isi perutnya, karena merasa tertekan.

Matahari semakin tinggi saat Joseph dan rombongan besar itu mendekati Sachsenhausen. Sungguh pemandangan yang kontras. Josep dan skuad Jugend terlihat gagah berbaris, namun para remaja calon penghuni kamp sudah terseok-seok menyeret kaki mereka. Beberapa yang lain malah sudah berjalan limbung nyaris jatuh.

Saat tembok putih di tengah lapangan yang sangat luas dan dikelilingi pagar kawat berduri itu terlihat jelas di depan mata, satu persatu dari mereka mulai berjatuhan. Joseph mengusap matanya yang tiba-tiba basah. Merasa sedih karena Schneider, sahabat sekaligus penolongnya dulu, entah masih bertahan atau tidak.

“Seret saja mereka. Kaum lemah, percuma otakmu pintar kalau fisikmu payah. Seret … seret, ayo Rudolf, Hugo, Anton, Joseph seret mereka!” suara Franz pimpinan skuad Jugend mengejutkan Joseph. Meski terpaksa, Joseph menyeret juga salah seorang remaja yang mirip sekali perawakannya dengan Schneider.

Wajah Joseph mulai memerah menahan amarah. Sejak Franz menjemput paksa Schneider, menyeretnya ke luar rumah (ibu Schneider sampai memohon-mohon ampun), menendangnya berkali-kali sebelum dimasukkan dalam truk, rasa marah itu tak bisa Joseph sembunyikan. Bahkan saat ini, ketika tentara SS (pasukan khusus intelijen Jerman) menertawai aksi seret menyeret itu, Joseph sudah ingin melayangkan tinju ke arah mereka.

Joseph sering marah pada dirinya yang tak bisa menolong Schneider dan remaja-remaja Yahudi lainnya yang masuk kamp ini. Sering ia sengaja melukai daging lengannya dengan pisau atau coba-coba menjerat lehernya saat sendiri di barak. Joseph merasa dirinya sudah ‘mati’ seperti mereka yang tak bisa keluar dari Sachsenhausen karena ditembak atau jadi sasaran tembak tentara SS, mati kelaparan atau sakit keras akibat kondisi kamp yang sempit dan buruk.

Ketika semua tawanan sudah masuk bangunan khusus orang Yahudi dan pintu dikunci, Joseph dan teman-teman skuadnya yang berjumlah empat puluh berkumpul di tengah lapangan.

“Die Armee, ini adalah misi terakhir kita mengantar tawanan. Setelah ini kita akan menuju perbatasan untuk latihan intensif taktik Blitzkrieg, persiapan menuju Danzig. Kita akan buktikan pada Jenderal Heinz Guderian, Polandia bisa kita kuasai. Jerman akan menjadi kekuatan yang hebat di dunia. Jerman hari ini, dunia esok hari!” teriak Franz sontak disambut seruan seluruh anggota skuad.

Hanya Joseph yang mengangkat senjatanya saja tanpa ikut berseru. Perasaan benci sekaligus sedih campur aduk menjadi satu. Joseph menengok lagi ke arah pintu bangunan. Terbayang Schneider menoleh dan berkata lewat gerak mulutnya. “Das kannst du besser” -kamu dapat melakukannya lebih baik lagi- sebelum ia didorong Hugo masuk ke balik pintu itu.

Andai Joseph berani berlari ke arah pintu dan menarik Schneider, mereka masih bersama-sama meski mungkin langsung tertembak mati, saat itu juga. Namun ia hanya mampu mengepalkan tangan dan menghentak-hentakkan kaki saja hingga guguran daun berhamburan ke udara.

Saat ransum makan siang dibagikan, Joseph merasa nafsu makannya lenyap. Padahal perjalanan berpuluh kilometer itu sudah merampas tenaganya apalagi dengan rasa amarah yang makin membesar. Joseph berusaha menelan beberapa potong sosis bersaus rempah.

Biasanya beberapa anggota skuad mencoba mengajaknya berbicara saat makan seperti itu. Namun beberapa yang lain seperti Hugo, Rudolf dan Anton selalu mengolok-oloknya, sambil melempari tulang ayam, biji buah hingga kentang rebus yang masih panas.

Si bisu tukang marah menjadi julukan Joseph sejak ia mengunci mulut rapat-rapat usai Schneider diperlakukan semena-mena. Joseph menjawab seperlunya terutama bila ditanya Franz, hanya karena ia pimpinan skuad semata.

Sore berganti malam, malam berganti pagi dan seterusnya. Skuad Joseph sudah bergerak mendekati Danzig. Masih sempat Joseph mendengar Franz berbicara dengan pimpinan skuad lain saat bertemu di jalan.

“Tentara kita nanti muncul dari seluruh penjuru Polandia. Di timur lewat Prusia, di wilayah utara yang berbatasan langsung dengan Jerman, di selatan lewat Silesia dan dibantu pasukan Slovakia. Pesawat Luftwaffe akan membombardir Wielun, dan kita tentu saja Jugend muda dan berbahaya akan menyerang Danzig, bersamaan dengan kapal Schleswig-Holstein melepaskan tembakan ke posko transit.”

Tampak Franz juga menerima operan sekarung ransum cukup berat dan bersuara dentingan botol yang diserahkan kepada skuad pembawa perbekalan. Joseph segera tahu, akan ada acara minum-minum untuk mengobati kelelahan serta stres akibat perjalanan melintasi perbatasan Jerman dan Polandia, paling tidak tiga atau dua hari sebelum penyerangan.

Semua informasi itu digambar Joseph di buku kecil yang sudah menemaninya selama ini. Dituliskannya tanggal-tanggal menuju Danzig, dan apa saja kira-kira kegiatan mereka tiap hari, termasuk rencana yang telah lama dipikirkannya.

Tiga malam sebelum penyerangan, makan malam berlangsung biasa. Joseph pun tidak bertindak apa-apa.

30 Agustus 1939, dua malam sebelum penyerangan ke Danzig.

Latihan penyerangan terakhir ternyata begitu melelahkan seluruh anggota skuad, termasuk Joseph. Seluruh badannya terasa sakit dan nyeri.
Sebelum waktu makan, Joseph menyempatkan diri membuka lagi catatannya dan menulis nama Schneider. Pisau Jugend miliknya sudah diselipkan di celah antara bot dan celana panjangnya.

Ketika makan malam berakhir, Joseph melihat Franz mulai membuka beberapa botol Moët & Chandon lalu menawarkan minuman memabukkan itu kepada seluruh anggota skuad. Semua bersorak kesenangan, kecuali Joseph.

“Ah, dia … si bisu tak akan mau. Nanti mabuk, dia marah-marah kepada kita!” seru Hugo yang disambut tawa anggota skuad yang lain.

Joseph hanya mendengkus dan sengaja keluar tenda karena tak mau berlama-lama di antara mereka yang mabuk. Menit demi menit berlalu, Joseph masih menunggu untuk beraksi. Pisau bertuliskan “Blut und Ehre!” sudah di tangannya. Jantungnya mulai berdegup kencang. Peluh juga mulai bercucuran meski yang disasar hanya Franz seorang saja.

Setelah menggoroknya nanti, Joseph berniat merampas pistol Luger P08 milik Franz untuk menghabisi nyawanya sendiri.

Tak perlu menunggu lama aroma minuman keras mulai menguar sampai ke luar tenda. Satu persatu anggota skuad mulai melorot rebah ke lantai. Suara tubuh berjatuhan terdengar silih berganti. Sementara Franz, Hugo, Rudolf dan Anton tertawa-tawa dengan badan yang mulai limbung.

Joseph merasa sudah saatnya. Setengah berteriak ia memanggil Franz ke luar tenda. Sambil tertawa-tawa Franz menghampiri Joseph.

“Ada apa? Was ist passiert? Kenapa tidak ikut minum. A-a-ay-yo mi-mi ….”
Suaranya terhenti bersamaan dengan ambruk tubuhnya lewat gorokan Joseph.

Kepiawaian Joseph menggunakan pisau yang dipuji-puji Franz saat latihan dulu, malah kini menghilangkan nyawanya.

Tak satu pun anggota skuad yang menyadari. Semua sudah benar-benar mabuk saat itu. Ketika pelatuk Luger P08 di tangan Joseph menerjang pelipisnya sendiri, terlihat cahaya putih dengan bayangan Schneider dan bola di tangannya.

“Das kannst du besser”
Kini Joseph dan Schneider sudah bersama-sama lagi.

——

  1. Das kannst du besser : kamu dapat melakukannya lebih baik lagi
  2. Die Armee : tentaraku
  3. Blut und Ehre! : darah dan kehormatan
  4. Was ist passiert : apa yang terjadi?
Avatar photo

About Ivy Sudjana

Blogger, Penulis, Pedagog, mantan Guru BK dan fasilitator Kesehatan dan Reproduksi, Lulusan IKIP Jakarta Program Bimbingan Konseling, Penerima Penghargaan acara Depdikbud Cerdas Berkarakter, tinggal di Yogyakarta