Oleh Setio Boedi*
Lema Dungu memang ada di kamus, artinya sah dalam perbendaharaan bahasa Indonesia. Tapi rasanya sudah puluhan tahun kata ini nyaris tak dipakai dalam percakapan di warung kopi apalagi di pertemuan resmi ataupun dalam ruang pembelajaran (kuliah dan sekolah). Dungu bermakna sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh (lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Dengan latar belakang makna yang bila diucapkan atau tuliskan mengandung pesan penghinaan, pelecehan itulah sepertinya kata ini tak lagi banyak beredar di dalam komunikasi bahasa Indonesia. Dia ada tetapi tidak dipakai. Baru sekitar tiga tahun terakhir, kata ini terangkat dan kian meluas dalam masyarakat. Media yang dipakai dalam penyampaian ucapan, “Dungu” itu adalah media komunikasi yang efektif di zaman ini, televisi dan media sosial. Sehingga seluruh lapisan usia bisa menyerapnya.
Sadar atau tidak kata “Dungu” adalah kata makian. Hanya orang-orang yang kelepasan kontrol saja yang keceplosan dengan berucap demikian. Tapi jikalau ucapan, “Dungu!” terus berulang disampaikan seseorang kepada pihak yang tidak sejalan dengan pola pikirnya, seirama dengan pandangan politiknya, jelas ini adalah ekspresi arogansi. Merasa paling hebat, paling pinter dan paling benar.
Hanya orang sombong yang getol menyebut orang lain sebagai orang dungu.
Adalah Dursasana, orang kedua dari seratus putra Destarata setelah Duryudana (Kurawa) dalam epos Mahabharata. Di dunia pewayangan dia dideskripsikan sebagai tokoh yang berbadan gagah dan bermulut lebar. Sikapnya sombong, suka merendahkan orang lain, senang menggoda wanita dan sewenang-wenang.
Peran jahat Dursasana yang terkenal adalah saat Pandawa kalah dalam pertaruhan dadu melawan Kurawa. Perjudian ini semata-mata jebakan dari Kurawa atas Pandawa, karena kecemburuan mereka kepada keturunan Pandu ini. Hingga pada puncaknya, Drupadi yang adalah isteri Pandawa (secara bersama-sama) jatuh ke tangan Kurawa ketika menjadi objek pertaruhan dalam perjudian tersebut.
Dursasana langsung bergegas ke kamar tempat peritirahatan Drupadi.
Dia menjambak rambut perempuan itu dan menyeretnya ke arena permainan, tempat para tokoh berkumpul di sana. Drupadi marah, tetapi dia hanya sesenggukan menghadapi semuanya. Dia berkata, “Penghinaan ini jauh lebih kejam daripada pembunuhan!”
Kemudian Dursasana atas perintah Duryudana mencoba menelanjangi Drupadi di hadapan banyak orang itu. Drupadi histeris dan berteriak meminta bantuan para dewa. Dan Kresna pun menolong Drupadi dengan keajaiban, pakaian Drupadi yang membungkus tubuhnya seakan tiada habisnya. Setiap kali ditarik Dursasana, selalu masih ada yang melekat di sana. Demikian terus menerus terjadi. Sampai Dursasana kelelahan sendiri.
Karena peristiwa yang sungguh merendahkan harkatnya itulah Drupadi bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas dengan darah Dursasana. Demikian pula Bima, putra kedua Pandawa, dia bersumpah akan memotong lengan Dursasana dan meminum darahnya karena mempermalukan wangsa Bharata.
Usai sumpah Bima terucap ada lolongan serigala. Ada keledai meringkik.
Burung-burung menyanyikan lagu duka.
Dan sumpah kedua orang yang terhinakan itu, terpenuhi dalam perang Baratayuda.
Kisah Dursasana mencelikkan mata kehidupan, bahwa orang yang sombong, suka menghina orang lain sangat dibenci oleh semesta. Alam raya membela orang-orang yang tertindas dan yang menjadi korban kesombongan.
Siapapun kita yang sombong, termasuk yang kerap mendungu-dungukan orang lain di tempat umum, mempermalukan seperti Dursasana menghinakan Pandawa dan Drupadi di depan banyak orang, lihatlah! Tunggulah! Kesombongan adalah intro dari kehancuran.***
*Penulis, pemerhati seni pop. Tinggal di Kota Semarang.