“Mbah, hujan bertambah deras dan banjir semakin tinggi. Ayo, Mbah, kita mengungsi. Itu motorboat-nya menunggu…,” kata anak muda itu kepada Mbah, yang duduk di kursi sambil berdoa.
“Tenang, Le. Percaya sama Mbah. Kita di lantai 2. Selama puluhan tahun ini tidak pernah banjir besar. Kalau mau mengungsi, Le, tinggalkan Mbah sendiri. Mbah mau berdoa agar selamat,” tuturnya sambil menyuruh cucunya pergi.
Doa, bertekun dalam doa, membuat jiwa kita menjadi tenang dan tentram. Kita amat optimistis dengan berdoa, Allah bakal menolong, mengabulkan permintaan, dan menyelamatkan hidup kita.
Sepenggal ilustrasi di atas mudah ditemukan di lingkungan keseharian hidup ini, bahkan bisa jadi sosok Mbah itu cerminan diri kita.
Dipahami atau tidak, percaya yang berlebihan dengan doa itu sering kali membuat kita lengah dan jatuh ke dalam dosa: kesombongan. Bahkan, banyak orang sombong yang berani mendikte dan menuntut Allah agar menuruti permintaan mereka.
Padahal, doa yang benar adalah ungkapan pujian dan syukur kepada Allah. Kita ini ciptaan-Nya. Bukan kita yang mengatur-Nya, melainkan berdoa dengan rendah diri dan jiwa yang papa agar doa kita dikabulkan-Nya.
Kenyataannya, banyak di antara kita yang berani mengancam Allah, jika doanya tidak terkabul lalu ngambeg, mutung, bahkan tidak mau menyembah-Nya lagi.
Kita ingin melihat tanda-tanda atau mukjizat yang spektakuler dari Allah. Kita lupa, bahkan buta hati, bahwa sesungguhnya hidup itu anugerah dan mukjizat-Nya.
Begitu pula dengan Mbah yang rumahnya kebanjiran itu. Sebagai orang beriman, rajin beribadah, berdoa, dan beramal kasih, Mbah itu percaya, bahkan sangat optimistis bakal dilindungi dan diselamatkan Allah.
Beriman itu muncul dari kesadaran hati yang terdalam, karena kita sungguh dikasihi Allah agar kita sungguh percaya kepada-Nya. Beriman itu tidak sakarepe dewe, unjuk jati diri, dan dipamerkan di tempat ramai seperti kaum Farisi yang pengin sensasi.
Sesungguhnya, beriman itu membangun relasi agar kita menjadi pribadi yang sabar, rendah hati, dan semakin akrab dengan Allah. Ketika iman kita direndahkan, dilecehkan, atau bahkan dihina, itu tidak membuat jiwa ini terhina sehingga kita perlu menyanggah dan membela diri.
Beriman itu sejatinya jalan menuju kerendahan hati agar kita semakin mengasihi Allah dan sesama. Karena Allah mengenal hati.