Anak-anak dengan kondisi tidak sempurna, akan menjadi sempurna jika masyarakat telah teredukasi dalam menghadapi anak-anak yang sedang dalam taraf pengasuhan orangtua dan perhatian masyarakat. Baik melalui pemahaman penyebutan dan sambutan baik terhadap mereka dalam melalui masa-masa sulit orangatua membimbing anak-anak mereka.
Sebuah postingan lewat di timeline saya. Tentang seorang ibu yang sedikit emosional merespons omongan netizen tentang kondisi anaknya yang saya asumsikan berkebutuhan khusus. Lalu, dia mengungkapkan bagaimana ia telah melakukan banyak hal untuk putranya tersebut dengan harapan komentar buruk akan berhenti seketika.
Saya sangat paham perasaannya. Membersamai sulung saya yang autis dan kini berusia duapuluh, telah menganugerahi saya banyak pengalaman manis pahit sebagai orang tua.
Adalah hal yang wajar, sebagai orang tua patah hati sewaktu mendapat diagnosa awal kondisi anaknya dari konsultasi ke dokter tumbuh kembang. Diagnosa psikologis apapun, akan diakhiri dengan pertanyaan pamungkas kepada dokter. “Apakah anak saya bisa sembuh atau disembuhkan, Dok?”
Dulu, saya pernah dalam kondisi mencibir ketidaktahuan atau keyakinan semu orang tua akan makna kesembuhan. Saat itu, mungkin saya di posisi mentang-mentang, merasa sudah lebih mafhum padahal belum.
Keyakinan itu mungkin didapat dari pembelajaran bersama si sulung. Bahwa kemajuan individu autistik, meski sedikit saja merupakan berkah yang patut disyukuri.
Sikap pongah itu bisa muncul ketika saya belum dipojokkan kenyataan bahwa perjalanan bersama anak autis bagai naik roller coaster yang diikuti pertanggungjawaban seumur hidup. Hal yang sangat memerlukan support system. Bukan hanya keluarga, kerabat, tetapi juga psikolog, dokter tumbuh kembang, psikiater, terapis, termasuk guru dan ekosistem belajar di sekolah.
Kini untuk mendukung kondisi fisik mental sulung saya bertambah lagi peran akupunkturis dan homeopath. Masalahnya semua sistem pendukung itu kebanyakan berasal dari kocek sendiri.
Lantas, apakah anak-anak autis tak mendapat jaminan apa-apa dari negara? Sebuah berita tahun 2014 menjelaskan awal perkembangan perhatian Pemerintah akan pertanggungan ini.
Deteksi dini autisme termasuk dalam salah satu program nasional untuk kesehatan anak dengan harapan jika dapat dideteksi lebih awal maka dapat diintervensi lebih awal juga. Ketika itu layanan khusus autis cuma ada di rumah sakit yang menggunakan pendekatan multidimensi, dan hanya di beberapa kota besar sekitar Jakarta dan Jawa Barat.
Delapan tahun kemudian, pada tahun 2022 tersiar kabar terapi tumbuh kembang anak terutama tentang keterlambatan bicara dan gangguan perkembangan motorik untuk diberikan fisioterapi dll, telah termaktub dalam jaminan pertanggungan BPJS.
Sebuah kabar baik tentunya, walau tertera persyaratan usia anak hanya maksimal empat belas tahun saja, dan ‘tergantung’ ketersediaan kelengkapan fasilitas kesehatan tingkat dua yang memadai untuk melayani prosedur terapi di daerah anak ybs.
Kondisi inilah akhirnya menjadi dasar saya pribadi untuk lebih memahami mengapa perwujudan Indonesia yang inklusif kepada para individu berkebutuhan khusus masih memerlukan jalan yang sangat panjang.
Jangankan negara sebagai ruang lingkup yang besar, orang tua sendiri sebagai pihak terdekat anak saja perlu waktu untuk bisa menerima anaknya; kondisi baik, tidak mempunyai kecacatan dan berkekurangan.
Penerimaan akan kondisi kekurangan pada diri anak ini akan menjadi kunci sebelum kita masuk inti permasalahan tulisan ini. Yakni, bagaimana bila hasil diagnosa yang didapatkan dari ahli, yang sebenarnya sudah ‘memukul’ perasaan kita, kini mendapatkan stigma dari masyarakat, yang memang masih berproses menjadi inklusif.
Stigma, Perlakuan dan Inklusivitas
Pernahkah bertemu dengan orang yang lebih nyaman mengatakan anaknya difabel daripada kondisi tertentu. Bahkan daripada kata disabilitas yang segera menunjuk adanya kecacatan.
Saya sendiri malah pernah bilang si sulung saya cacat, untuk menyingkat waktu menjelaskan, daripada berpanjang lebar mengedukasi awam yang bertanya mengapa anak saya berbeda, dan tampak sulit berkomunikasi.
Jadi sesungguhnya istilah difabel itu merujuk pada kondisi apa? Difabel sendiri berasal dari bahasa Inggris, different ability yang berarti kemampuan berbeda, merujuk individu yang memiliki kemampuan menjalankan aktivitas secara berbeda dibandingkan dengan orang kebanyakan, tetapi TIDAK DIARTIKAN sebagai orang cacat atau disabled. Sedangkan disabilitas atau disability berarti kehilangan kemampuan atau cacat.
Itu baru difabel dan disabilitas. Lalu bagaimana dengan individu berkebutuhan khusus, atau ABK-anak berkebutuhan khusus.
Istilah Individu Berkebutuhan Khusus (IBK) merupakan terjemahan dari Individual with Special Needs. Dari pernyataan beberapa ahli, saya coba merumuskan dalam pernyataan berikut. Semua disabilitas adalah inabilitas (ketidakmampuan) dalam melakukan sesuatu, tetapi tidak semua inabilitas (ketidakmampuan) tersebut termasuk disabilitas.
Contoh sederhana, beberapa anak usia satu tahun belum lancar berjalan atau bicara, tetapi hal ini bukan disabilitas melainkan inabilitas (ketidakmampuan) usia yang belum sesuai dengan tahap perkembangan tersebut.
Dengan kata lain ketidakmampuan anak menunjukkannya berkebutuhan khusus dan tetap perlu diwaspadai. Seperti memerlukan konsultasi dan terapi.
Karenanya menyebutkan kondisi anak berkebutuhan khusus maupun difabel pada anak autis, anak hiperaktif, disleksia, hipersensitive, sensory processing disorder, slow learner, indigo, bahkan yang terkategori gifted sekalipun; umumnya lebih dipilih dan disukai para orang tua.
Seperti mengacu pada kehendak untuk dipahami bahwa anak-anak tersebut tidak kehilangan kemampuan seperti anak dengan disabilitas.
Perlunya Dukungan Pemahaman Masyarakat
Saya berusaha lebih jauh menelusuri, mengapa demikian. Yang menonjol alasannya, adalah tentang stigma. Bahwa bila sudah disebut ABK atau malah disabilitas, kesannya anak tidak dapat melakukan apapun. ABK hanya menjadi beban keluarga dan masyarakat, ABK adalah kutukan dan aib keluarga, ABK dan disabilitas tidak berguna, ABK anak yang harus dikasihani atau disantuni. Mungkin malah ada istilah lain yang bisa menyakitkan.
Beragam stigma itu timbul dari harapan masyarakat yang cenderung menggambarkan kondisi anak yang diharapkan pada umumnya. Fisik sempurna dan merujuk yang pintar secara akademik.
Ketidaktahuan atau minimnya edukasi masyarakat tentang ABK dan disabilitas yang sebenarnya bisa berkembang dan mandiri bila didukung support system ini memiliki ekses yang beragam di berbagai masyarakat.
Karena stigma, masih banyak ditemukan ABK dikunci di dalam rumah dan tidak mendapatkan hak sesuai dengan kapasitasnya. Anak-anak ‘dikurung’ di dalam rumah, dalam arti tidak diajak bersosialisasi karena orang tua merasa malu dengan lingkungan sekitarnya terkait kondisi putra atau putrinya. Bahkan, yang terparah, di sejumlah desa masih ditemukan kasus anak disabilitas yang dirantai atau dipasung
Persepsi mengenai ABK tidak bisa apa-apa dan tempatnya hanya di rumah atau sekolah luar biasa (SLB) masih melekat di benak kebanyakan orang dan menjadi pekerjaan rumah masyarakat dan pemerintah untuk membuat dunia yang lebih inklusif.
Kondisi itu membuat anak dengan sebutan difabel, ABK, maupun disabilitas sangat minimal mendapatkan haknya untuk memperoleh layanan fasilitas kesehatan, pusat rehabilitasi, atau pun sekolah. Padahal, anak-anak itu memiliki hak yang sama dengan anak lainnya. Mereka berhak memiliki identitas, mendapatkan pendidikan layak, dan diterima di lingkungan sekitar. Hak mereka pun sudah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UU No 8 Tahun 2016) tentang hak Disabilitas.
Meski mungkin ada ketidaknyamanan, disabilitas menjadi kata yang dipilih dalam perundangan dan untuk mendeskripsikan kondisi ‘kekurangan’ seseorang di InIndonesia. Baik disabilitas fisik (tuli, buta, dan daksa) disabilitas emosi dan perilaku (tunalaras (disablitas laras), gangguan komunikasi dan hiperaktif) serta disabilitas intelektual (tunagrahita, slow learner, kesulitan belajar khusus, anak berbakat (gifted), autisme dan indigo).
Apakah melihat anak saya yang autis dimasukkan dalam kategori disabilitas intelektual, lalu saya marah dan bersikeras tidak mau mendapat layanan apapun dari negara? Sungguh saya orang tua tak bijak ya, bila demikian.
Nah, untuk mengakhiri tulisan ini, saya jadi hendak bertanya untuk kita renungkan bersama. Akankah selalu berharap definisi atau nama yang baik untuk anak kita yang baik secara diagnosa maupun realita, memiliki kekurangan tertentu, sementara masyarakat masih berkutat dengan stigma atau dengan kata lain belum teredukasi dengan benar.
Bukankah istilah atau diagnosa apapun pada akhirnya hanya menjadi istilah saja, ketika masyarakatnya telah inklusif?
**TULISAN 1 dalam rangkaian tulisan kebutuhan khusus dan masyarakat yang inklusif
Parenting 101: Rasa Cinta, Kagum, Suka, dan Sayang, Tak (Seharusnya) Menyakitkan