“Sampai kapan Papa menyakiti diri sendiri?”
Lelaki baya itu terhenyak. Kata-kata istrinya itu bagai ribuan jarum yang menghunjam hati, dan menorehkan luka. Tiba-tiba tubuhnya lunglai, tak berdaya.
Nada istrinya tanpa emosi. Tidak protes atau menghakimi. Sekadar bertanya, tapi mengingatkannya. Bahkan ada nada kekhawatiran dalam ketidakberdayaannya itu.
Untuk pertama kali lelaki itu seperti diingatkan. “Apakah benar, selama ini aku menyakiti diri sendiri?”
Ia meragu, tapi tidak mempercayai dengan apa yang dilakukannya. Selama ini ia merasa sehat dan fun. Bahkan jarang sakit. Lalu, apa yang ia cari?
Ia memejamkan mata. Ada rasa iba menyergap, membuat ia merasa makin tak berdaya.
Ya, jika boleh jujur, ia menikah itu karena ingin status. Ada rumah untuk disinggahi. Ia juga tidak tahu pasti, apakah ia sungguh mencintai istrinya, kendati telah dikaruniai anak.
Ia lebih senang hidup di jalanan, karena sesungguhnya ia seorang petualang. Dulu ia menerima ajakan menikah itupun dengan syarat, asal kebebasannya tidak dipasung.
Istrinya tidak memasalahkan hal itu. Juga tidak pernah menanyakan kegiatan yang dilakukan diluaran. Bahkan, hingga mempunyai anak, istrinya juga sekadar menghimbau agar ia membatasi waktunya di luaran agar lebih dekat dengan anak dan keluarga.
Kenyataannya, dan anehnya, hal itu
tidak membuat ia berubah. Sejak awal ia tidak mau kebebasannya jadi terpasung dengan kehadiran anak.
Ia sendiri tidak tahu, kenapa sejak dulu ia tidak mau direpoti dengan anak. Bahkan untuk menikah juga tidak dipikirkan. Ia lebih senang seperti burung yang terbang bebas ke manapun yang disukai.
Kebiasaan bebas itu pula yang membuat ia senang berpetualang. Bekerja untuk kesenangan, dan menikah pun tanpa ikatan.
Kini, istrinya yang sabar dan selalu mengingatkan, membuat hatinya sungguh tersiksa. Ia ingin terbang tinggi, dan menjauhi kenyataan.
Selama menikah hingga dilaruniai anak, istrinya hampir tidak pernah menuntut ini itu. Karena istrinya sanggup memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehingga praktis, gajinya utuh dan habis untuk memuaskan kesenangan sendiri.
Sesungguhnya ia tidak mau menikah, karena ia tidak mau mengalami kegagalan seperti yang dialami oleh orangtuanya. Ia lalu terpaksa ngenger ikut tantenya yang juga gagal dalam pernikahan.
Kegagalan demi kegagalan itu membuat ia jadi trauma untuk menikah. Ia juga tidak berharap anaknya mengalami hal yang sama seperti ayahnya.
Ia jadi teringat nasehat sahabatnya untuk menemukan hikmah dari kegagalan orangtuanya. Kesempatan itu terbuka lebar dari istrinya yang sabar, perhatian, dan setia mendampinginya. Meskipun ia sering tidak pulang, tak peduli, dan bersikap masa bodoh. Jika pulang larut malam, istrinya tetap menyambutnya dengan hangat dan mesra.
“Dedek temenin Papa makan ya,” ajak anaknya manja. Istrinya menatapnya lembut dan mesra. Tersenyum mengiyakan.
Seketika itu serasa ada yang runtuh di balik dadanya. Ia sungguh menyesal, karena selama ini ia tidak melihat kenyataan itu. Trauma telah membutakan mata hatinya.
Air matanya mengembang dalam penyesalan untuk memohon ampun pada Allah. Lalu direngkuhnya bahu istrinya. Ia berjanji untuk tidak membuang kesempatan istimewa itu guna merajut kebahagiaan bersama keluarga…
(Mas Redjo)