Seide.id – Dokter bertangan dingin bukan harus lulus cumlaude, lebih perlu luwes berkomunikasi, khusyuk mendengar pasien. Tak ubahnya detektif, cerdas memilah mana keluhan penting, kapan harus memotong pasien bicara.
Lebih separuh informasi penyakit pasien, diperoleh dokter dari wawancara atau anamnesis yang cerdas. Kemampuan dokter memetik dahan membuang ranting omongan pasien. Tidak semua keluhan pasien berguna untuk mendiagnosis penyakitnya.
Berbeda dengan tukang cukur, dokter sejak pasien masuk ruang praktik, mesin di kepala dokter sudah berputar. Tukang cukur bisa leha-leha menggunting rambut sambil berisul, dokter sibuk memutar otak sejak melihat pasien.
Dari mengamati sosok pasien mulai rambut sampai kaki, cara berjalan, dan mimiek pasien, sampai merasakan jabatan tangan pasien, sebagian data pasien sudah bisa ditangkap, ini penyakit badan atau jiwanya yang bermasalah.
Begitu saya diajarkan waktu sekolah dokter. Dokter itu harus berperan bagai detektif, menangkap yang terlihat dari kondisi sosok pasien. Pasien berambut kering, kerempeng, pucat, lunglai, berbeda dengan pasien yang ketemu dokter dengan riasan seperti pergi pesta, wangi, dan saat bersalaman tangannya dingin berkeringat. Yang pertama betul sakit fisik, yang kedua, hampir pasti yang sakit bukan badannya.
Siapapun pasien, suka kalau didengarkan. Dokter perlu sabar mendengarkan. Perlu teknik mendengar seperti jurnalis, kapan perlu menyela, kapan masih perlu lanjut mendengar.
Terlebih kalau dokter mengira ini kasus kejiwaan, perlu lebih banyak mendengar, karena buat pasien yang jiwanya gaduh, perlu melampiaskan semua yang mengganjal, didengar dokter menjadi sebagian obat.
Untuk itu dokter perlu punya talenta, punya bawaan, punya empati, punya tepa selira, karena kepuasan pasien terhadap dokter banyak tumbuh dari kesan yang satu ini. Dokter pintar saja belum cukup, kalau kaku, kurang sabar, apalagi ketus. Pasien senang kalau dokternya juga mengajak mengobrol, ngobrol yang ada isinya.
Dokter perlu menampilkan sikap trust kepada pasiennya, karena “bisnis” profesi dokter itu trust. Kalau dokter gagap menjawab, nada suaranya tidak meyakinkan pasien, ragu-ragu menulis resep, pasien mungkin tidak datang kedua kali. Termasuk bila pasien berpenampilan sekenanya tidak melahirkan citra dokter. Praktik pakai jean, kukunya kotor, rambutnya berantakan, kumisnya semraut. Citra dokter di mata awam itu bersih, resik, berwibawa, elegan. Tidak semua dokter sempurna menampilkan ini.
Itu sebab tidak semua dokter terbilang bertangan dingin. Kebanyakan pasien yang datang ke praktik dokter penyakitnya ringan. Bekal sekolah dokter mampu mendiagnosis rata-rata pasien, dan menyembuhkannya. Bila untuk yang standard saja dokter luput melakukannya, pasien kapok berobat lagi. Bisa jadi karena bekal ilmu medis di kepalanya kurang lengkap.
Bekal dokter yang standard itu cekatan memeriksa, menemukan tanda penyakit, menangkap keluhan dan gejala pasien, cerdas menegakkan diagnosis di kamar praktik tanpa perlu bantuan pemeriksaan laboratoriun, dan lainnya, dan pasien disembuhkan.
Betul, tidak semua penyakit mungkin didiagnosis langsung di kamar praktik, karena perlu bantuan pemeriksaan lain. Pasien diabetes tidak kelihatan dari sosok, hanya tertangkap dari keluhan, gejala dan tanda. Kepastian diabetes dari laboratorium darah. Demikian pula dengan TBC paru, di kamar praktik dokter baru menduga dari sosok fisik, keluhan, dan dari mendengar suara paru, Kepastiannya dari ronsen paru.
Waktu sekolah dulu saya diwanti-wanti jangan memberatkan pasien untuk sembuh, dengan meminta pemeriksaan macam-macam yang tidak ada kaitannya dengan penyakit yang kita sudah duga di kamar praktik. Untuk itu dokter pelru cerdas memakai kompetensinya, penguasaan ilmunya, dan teknik pemeriksaan fisiknya di kamar praktik. Perlu berpikir sistematis, lugas berlogika, dan berasosiasi.
Semakin banyak ditemukan data penyakit dari sekumpulan data melihat sosok, mendengar keluhan, dan gejala, serta menemukan tanda suatu penyakit yang sudah dokter pikirkan, dan menemukan hasil pemeriksaan fisik yang mengarah pada suatu penyakit, otak dokter terus berputar berasosiasi pada dugaan atau suspect penyakit tertentu. Dan itu sudah harus diputuskan dalam hitungan waktu yang tidak lama. Rata-rata tak lebih 30 menitan.
Pasien demam lebih seminggu, misalnya. Di otak dokter sudah terasosiasi ini kelompok penyakit infeksi. Infeksi apa, otak dokter menyeleksi dari sifat demamnya sore hari, dan menurut buku teks kedokteran, demam sore hari itu berarti tipus. Untuk fokus menduga itu kemungkinan tipus, dokter langsung asosiasi melanjutkan seturut buku teks bahwa pasien tipus, lidah pasien tipus bersalut putih tepinya merah, dan bila menemukan betul putih lidahnya, menambah data dugaan penyakit tipus, lalu fokus memeriksa hati dan limpa pasien, oleh karena di buku teks pasien tipus, hati dan limpa membesar. Dan kalau menemukan hati pasien dan atau limpa pasien membesar, semakin dekat memastikan ini pasien tipus. Sampai di sini dokter sudah tahu semua entitas tipus saja belum cukup, kalau keterampilan memeriksa tidak berhasil menemukan adanya hati dan atau limpa yang membesar.
Nah untuk bisa sampai pada dugaan oleh kerja berasosiasi itu, otak dokter harus sudah lengkap menyimpan entitas penyakit tipus itu di luar kepala apa saja keluhan, gejala, dan tanda penyakitnya. Tanpa menguasai ingatan itu, asosiasi untuk menduga bahwa ini kasus tipus, tidak muncul.
Lalu setelah semua data yang diperoleh di kamar praktik itu dirangkum, yakni menduga ini tipus, lalu dokter minta pasien memeriksa darah untuk memastikan betul itu tipus, sebagaimana ditulis dalam buku teks. Diagnosis tipus menjadi pasti kalau hasil laboratorium darah positif tipus. Demikian perjalanan proses mendiganosis, dalam hitungan puluhan menit dokter harus menetapkan diagnosis.
Tapi tidak semua kasus penyakit selalu terdiagnosis. Belum tentu juga terdiagnosis di kamar praktik. Bisa sebab gejala dan tanda penyakitnya belum nyata ada pada pasien, karena baru demam saja pasien sudah datang berobat, sehingga gambaran penyakit belum lengkap penuh sebagaimana di buku teks. Atau bisa juga sebab dokter tidak cerdas menangkap apa yang pasien ungkapkan, sehingga belum mendapatkan asosiasi kemungkinan ini penyakit apa.
Soal kesulitan komunikasi bagaimana persis pasien memerikan jenis nyeri saja sudah bisa menjadi persoalan tersendiri. Modalitas rasa nyeri saja bisa beragam, ada nyeri tajam, nyeri tumpul, nyeri berdenyut, nyeri cekot-cekot, yang hanya bisa dipersepsi tepat kalau komunikasi dokter-pasien lancar. Salah persepsi menerjemahkan sifat nyeri pasien, dokter bisa sesat menuju proses mendiagnosisnya.
Untuk dokter yang jam terbangnya sudah tinggi, penyakit yang rutin keseharian, diagnosis berani ditegakkan tanpa perlu memeriksa laboratorium, atau lainnya. Cukup dari kesan medis di kamar praktik. Untuk tipus, misalnya, saya melakukan itu karena sudah hapal saking seringnya bertemu dengan kasus tipus, dari melihat pasien, tampak pucat, lemah, lesu, mungkin ada gigil, lidah bersalut putih, demam sore hari saja, tidak buang air besar, atau sedikit diare, menemukan hati dan atau limpa membesar, dan tahu Indonesia endemik tipus, data pasien itu semua yang membawa saya berani langsung mendiagnosis tipus, lalu memberikan antibiotika yang cocok untuk tipus, dan bila pasien sembuh, pembuktian terbalik bahwa diagnosisnya betul tipus.
Jadi dokter perlu jeli, perlu cerdik menghadapi pasien supaya keluhan pasien tidak diungkapkan bertele-tele, melainkan perlu diarahkan, itu maka perlunya wawancara yang “diputihkan“. Memetik yang perlu saja, meniadakan yang tidak perlu sehubungan dengan yang sudah dokter pikirkan tentang kasus yang sedang dihadapi. Data yang diperlukan untuk apa yang dokter sudah pikirkan saat awal mendapatkan kesan dari sosok pasien.
Untuk bisa begitu, dokter perlu menguasai semua sifat tabiat ratusan penyakit di kepalanya. Perlu cerdas dan cerdik mewawancara, perlu terampil memeriksa terfokus terhadap apa yang sedang diduga dan dipikirkan kemungkinan pasien sakit apa sejak awal memeriksa. Sampai di sini belum tentu dokter berhasil menyembuhkan, kalau tak tepat menulis resep obatnya.
Betul diagnosis, tapi tidak tepat menulis resep obat, juga belum tentu pasien sembuh. Pemilihan antibiotika untuk tipus misalnya, harus sesuai dengan jenis infeksinya oleh apa. Perhitungkan pula antibiotikanya kendati sudah tepat tapi tanpa mengamati laporan jurnal, kalau antibiotik jenis ini banyak yang sudah kebal terhadap infeksi pasien. Diberi antibiotik tapi kumannya sudah kebal, pasien gagal sembuh juga. Atau sudah tepat antibiotiknya, tapi harganya tak terjangkau, pasien hanya beli separo resep, juga belum tentu menyembuhkan.
Sebaliknya pasien berpunya, tidak boleh diberi resep harga murah, karena tidak percaya, dan belum tentu menyembuhkan, walau resep yang sama betul manjur untuk penyakit yang sama menyembuhkan pasien lain.
Dari pengalaman praktik, dokter harus memperhitungkan faktor nonmedis itu juga dengan mempertimbangkan siapa pasiennya. Pasien tak mampu bahkan mungkin perlu tidak dipungut bayaran, dan bila perlu diberi sangon untuk membeli obatnya. Layanan medis itu layanan kemanusiaaan sebagaimana pernah diucapkan dalam teks Sumpah Dokter.
Jadi perjalanan dokter untuk menyembuhkan pasien begitu panjang, dan setiap tahapan memerlukan kecerdasan dan kecerdikan, selain butuh ilmu lain di luar medis, ilmu sosial, pengamatan non-medis, tahu kondisi, memahami latar belakang pasien, maka layanan dokter bisa memuaskan pasiennya, untuk menjadi sembuh. Kesembuhan pasien butuh faktor nonmedis lain.
Sekali lagi kemampuan nonmedis dokter, itu bawaan, tidak selalu bisa dipelajarkan di sekolah kedokteran. Sekolah dokter hanya membekali sikap hormat kepada pasien, sebagai sesama, dan beretika.
Kerja profesi dokter itu kemanusiaan, sisi ini yang didahulukan. Tidak laik dokter diganggu oleh pertimbangan lain dalam menulis resep, misal, dalam memilih obat supaya mendapatkan komisi.
Lebih dari itu, profesi dokter mewajibkan terus memperbaharui ilmunya dengan rutin mengikuti simposium, membaca jurnal. Bagi dokter yang praktiknya sampai subuh, menjadi kendala, bahkan untuk baca koran saja pun tidak sempat.
Melihat kondisi begini, saya sarankan kepada pasien, lebih baik memilih dokter muda baru lulus yang ilmunya masih termutakhir, kalau penyakitnya tidak memerlukan dokter yang jam terbangnya sudah tinggi. Dokter muda lebih telaten, lebih baru ilimunya, yang dokter senior mungkin tidak mengikutinya. Beberapa obat, misalnya, sudah tidak layak dipakai lagi, yang dokter senior tidak ketahui karena tidak membaca. Beberapa cara terapi sudah tidak dianjurkan lagi. Anjuran medis sudah kedaluwarsa, karena ada temuan baru.
Itu maka di antara kalangan dokter sendiri pun masih sering muncul silang pendapat akibat perbedaan kepemilikan ilmu termutakhir ini. Saya menghadapi pasien yang bingung percaya dokter yang mana. Kesulitan karena di antara kami tidak etis untuk baku menyalahkan.
Demikian, sedikit penggalan semoga mencerahkan.
Salam menjadi pasien yang pintar,
Dr HANDRAWAN NADESUL
(Meminjam ilustrasi dari postingan sejawat Dr Erfen Gustiawan Suwangto)