Dr. Handrawan Nadesul
Tidak mudah mendiagnosis penyakit. Hapal semua penyakit saja belum cukup oleh karena kasus yang datang berobat belum tentu persis sebagaimana di buku teks.
Ketika pasien datang dengan demam, tanpa tanda penyakit lain, dan setelah diperiksa tidak ditemukan kelainan, ada puluhan penyakit dengan gejala demam. Sehebat apapun dokter, tidak mungkin bisa mendiagnosis kalau datanya cuma demam.
Artinya tidak setiap kasus yang datang berobat bisa langsung didiagnosis. Dokter baru bisa meraba-raba, berasosiasi kalau sedang musim DB, dokter memikirkan kemungkinan demamnya, atau suspect DB, terlebih kalau di lingkungan pasien ada yang DB. Atau memikirkan suspect tipus kalau ada riwayat pasien sering makan di warung nasi, tinggal di asrama. Atau ketika pandemi Covid, berpikir suspect Covid juga. Mengapa?
Lantaran pasien itu bukti hidup bahwa penyakit itu berproses. Dari jam ke jam, dari hari ke hari, dari minggu ke minggu, tergantung penyakitnya. Penyakit infeksi dalam hitungan jam berkembang. Ketika diperiksa awal parunya masih bersih, satu jam kemudian, setelah pasien pulang, bisa saja parunya mulai muncul keluhan sesak, misal bila ini kasus bronchopneumonia. Lalu jika ini terjadi, pihak pasien akan menyangka dokternya bodoh gagal mendiagnosis, tidak tahu kalau pasien penyakit paru. Kalau saja pasien tahu bahwa penyakit infeksi itu berproses.
Paling susah mendiagnosis pasien yang sadar sehat, karena baru gejala ringan saja sudah datang berobat. Baru demam, baru batuk, baru tidak enak badan sudah datang berobat. Ibarat harus menebak pohon apa, yang tampak baru daunnya, belum tampak sekujur pohonnya.
Sekolah dokter menghapal semua sosok pohon apanya, tapi pasien datang belum tentu sudah menampakkan seluruh sosok pohon sebagaimana yang dokter sudah hapal. Jadi hapal pohon apa saja belum cukup, apalagi kalau dokternya lupa pohon apanya.
Kecerdikan dokter diperlukan untuk mengorek keluhan pasien dengan teknik jitu mewawancara pasien, atau anamnesis. Sekolah dokter mengajarkan bagaimana terampil dokter secara sistematik berpikir mewawancara pasien.
Kerja dokter itu tak ubahnya kerja detektif, mengobservasi pasien mulai dari kepala sampai kaki, bahkan sejak pasien baru masuk kamar praktik. Pasien usus buntu terlihat dari cara jalannya, lengannya menggendong di perut. Pasien tipus yang sudah parah tampak dari wajah, selain demamnya. Pasien TB, pasien, flu bisa tampak dari luar, tapi tidak dengan pasien diabetik, hipertensi, lemak tinggi yang harus dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium, selain mengukur tensi.
Dokter diajarkan untuk berpikir sistematik. Memilah-milah apa pasiennya sakit badan ataukah bukan sakit badan. Bila pasien datang dengan penampilan tak ubahnya orang pergi pesta, make up tebal, wangi, dan setelah salaman tangannya basah dan dingin, hampir pasti yang sakit bukan badannya. Terlebih setelah diajak bicara, ungkapannya seperti pemain sinetron, yang sakit pasti jiwanya. Orang sakit badan tak sempat dandan merias diri, dan wangi pula ketika ke dokter. Kebanyakan bau dapur, dan mungkin pakai daster. Kejelian begini yang perlu dimiliki dokter, sehingga dari hanya mengobservasi sosok pasien, lalu mewawancari pasien saja, separo dari kemungkinan penyakitnya sudah bisa diduga. Dari dugaan itu dokter fokus memeriksa fisik pasien bagian mananya. Pasien panu tentu tidak harus buka baju, kecuali panunya di dada.
Diagnosis itu kesimpulan dari kumpulan apa yang dokter observasi dari sosok pasien, dari seluruh wawancara, yang dokter temukan dari hasil pemeriksaan fisik pasien. Jadi perlu ketajaman dokter mengobservasi, keterampilan mewawancara, yang berarti cerdas mendengar keluhan pasien, cerdas berkomunikasi, cerdas menangkap ungkapan keluhan dan bahasa pasien, serta pandai memeriksa fisik untuk menemukan apa yang dokter duga setelah mengobservasi, mewawancara.
Misal dari observasi dan wawancara, dokter menduga pasien tipus, karena demam lebih seminggu, demam sore hari, ada gangguan buang air, nyeri perut, dan setelah diperiksa menemukan lidah bersalut putih dan tepinya merah yang kesemua itu khas tipus, lalu di kepala dokter sudah hapal kalau penyakit tipus itu hati dan limpa membengkak. Aatas dasar ini dokter memeriksa hati dan limpa pasien, dan kalau menemukan betul hati dan limpa membengkak, maka sudah utuh gambaran penyakit yang pasien idap itu tipus.
Buat dokter yang sudah punya jam terbang panjang, membaca semua itu, hampir pasti ini tipus. Di sekolah dokter., status pasien dengan kondisi begini dinyatakan sebagai diagnosis kerja atau working diagnoses. Untuk menjadi diagnosis pasti, perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium darah dan kultur tipus. Itu idealnya. Tapi sekali lagi, itu tidak diperlukan buat dokter dengan jam terbang tinggi. Secara profesionalisme perlu pemeriksaan, yang barang tentu perlu waktu menunggu hasil selain menambah nongkos buat pasien untuk pemeriksaan tambahan.
Jadi pemeriksaan tambahan apapun, sifatnya untuk penunjang diagnosis, bukan untuk semata diagnosis penyakit pasien. Artinya, kalau di kamar praktik dokter sudah berhasil menyimpulkan suatu entitas penyakit sebagaimana tipus di atas, tak perlulah pemeriksaan penunjang. Pasien hanya flu, diperiksa semua, sungguh tidak profesional.
Yang acap terjadi, dokter luput atau tidak mampu mengumpulkan data pasien untuk bisa tiba pada kesimpulan mendiagnosis penyakit pasien, lalu hanya mendasarkan diagnosisnya dari hasil pemeriksaan penunjang lain, yakni pemeriksaan laboratorium, pemindaian, rekam jantung, rekam otak, rekam otot, dan yang lainnya.
Keliru mendiagnosis pasien TB hanya dari foto paru, tanpa mendapatkan hasil pemeriksaan paru dengan stetoskop di kamar praktik apakah mendengar bunyi abnormal TB. Foto paru bisa salah, mungkin cara memfotonya, atau film fotonya. Demikian pula pemeriksaan rekam otak EEG untuk memastikan penyakit ayan. Bagaimana bisa pasien divonis ayan hanya dari hasil rekam otak yang menunjukkan ayan, karena rekam otak ayan bisa salah, bila saat diperiksa pasien goyang. Pasien yang tidak menunjukkan pernah ada riwayat kejang-kejang, salah besar kalau dokter mendiagnosis ayan hanya karena hasil rekamn otaknya menunjukkan gambaran ayan.
Demikian pula dalam hal memvonis TB paru, hanya karena foto ronsen paru menunjukkan gambaran TB, padahal paru-parunya tidak ditemukan bunyi abormal TB, tanpaa da keluhan batuk-batuk, tidak anemia, tidak bertambah kurus. Ini kesalahan fatal dokter, karena vonis TB berarti wajib minum obat sekurangnya 6 bulan, dan kalau pasien seorang guru, konsekuensinya dilarang mengajar.
Jadi lebih penting data kondisi pasien yang dokter nilai sejak observasi, wawancara, memeriksa fisik pasien. Baru kalau dari semua data itu dokter belum bisa menyimpulkan apa entitas penyakitnya, dokter memutuskan untuk minta pemeriksaan penunjang yang bisa diterima nalar medik, sesuai dengan apa yang dokter pikirkan dari kesimpulan di kamar praktik.
Dokter bertangan dingin itu dokter yang di kamar praktik sudah bisa menyimpulkan penyakit pasien hanya dari kesimpulan yang ditemukan di kamar praktik, dan baru minta pemeriksaan kalau secara keilmuan memang diperlukan. Hanya beberapa penyakit sebut saja diabetik, asam urat, lemak darah yang diagnosisnya memerlukan pemeriksaan laboratorium. Demikian pula epilepsi, melihat fungsi ginjal dan fungsi hati, pemeriksaan rekam otak dan laboratorium darah diperlukan.
Yang sering terjadi, dokter atau rumah sakit meminta semua pemeriksaan penunjang laboratorium, rekam jantung, rekam otak, segala pemindaian, sehingga ini menjadi beban ongkos yang tidak pasien perlukan, tanpa pasien menyadari karena memang tidak memahami. Ada kesenjangan kompetensi pasien-dokter, maka apapun yang pihak dokter atau RS minta, pasien ikut saja, manut saja. Dan ini kesalahan medik, apalagi kalau motifnya bukan keperluan medik. Termasuk dokter yang meresepkan obat banyak dan beragam. Profesi dokter disumpah, berarti janji kepada Yang Maha, dan itu saja yang mengekang profesi dokter tidak bebas semena-mena memanfaatkan otoritas profesinya.
Dokter yang bertangan dingin itu yang profesional dalam berpraktik menulis resepnya pendek, barangkali cukup satu obat, bahkan mungkin tidak perlu obat, karena yang diajarkan sewaktu sekolah menulis resep rasional itu meresepkan obat seminimal mungkin, dosis sekecil mungkin, harga semurah mungkin, yang memberikan hasil seoptimal mungkin. Kecenderungan menulis resep banyak dan beragam jenis obat atau polypharmasi, selain tidak profesional, juga tidak etis. Apalagi kalau motifnya bukan untuk tujuan medik.
Bahwa dari semua yang dilakukan dokter, seprofesional apapun, dibantu dengan pemeriksaan penunjang lengkap pun, bisa saja penyakit pasiennya belum tentu terlacak. Ini yang perlu masyarakat pahami. Masih ada gangguan fisik yang belum terlacak medik, selain ada juga penyakit yang dikenal medik tapi belum ada obat mujarabnya.
Kembali soal bahwa penyakit itu berproses, semakin dini pasien datang berobat, semakin tidak mudah mendiagnosis penyakitnya, karena masih minimal keluhan dan gejala dan tanda penyakitnya. Semakin sudah nyata sosok penyakitnya ketika pasien datang berobat, ibarat menebak pohon mangga, dokter sudah langsung mendiagnosis itu pohon mangga. Bagi pasien yang kutu loncat yang tidak puas terhadap seorang dokter, lalu berpindah-pindah dokter, dokter terakhir yang beruntung, karena datang pada ketika gambaran penyakitnya sudah lengkap utuh (full blown). Dokter yang ketika pasien datang penyakitnya sudah tampil utuh inilah yang dinilai dokter hebat. Sedang dokter pertama yang ketika penyakitnya baru memperlihatkan daun mangga, dan bukan pohon mangga, apes dan harus terima kalau dibilang dungu.
Itu maka tidak semua penyakit bisa didiagnosis di kamar praktik. Untuk kasus ini dokter masuk akal medik kalau minta pemeriksaan penunjang, dan ketika pasien kembali beberapa hari, selain penyakitnya sudah lebih berkembang, hasil pemeriksaan penunjangnya pun sudah memperlihatkan gambaran entitas suatu penyakit.
Terus terang memang tidak gampang menjalani praktik dokter. Diperlukan banyak kejelian, tak cukup cerdas mengahapal penyakit saja, perlu akal sehat, perlu berlogika, dan keterampilan lain, termasuk keterampilan melakukan hubungan antar manusia, melakukan pendeketan terhadap pasien, memahami bahasa tubuh, cerdas mendengar, dan terampil teknik mewawancara tak ubahnya pekerjaan detektif. Itu maka pintar saja belkum tentu cukup untuk menjadi dokter yang sukses, yang dinilai masyarakat sebagai dokter yang bertangan dingin.
Salam sehat,
Dr HANDRAWAN NADESUL