DOKTER GILA KAMBING: “APA SALAHNYA KAMBING?”

HANDRAWAN NADESUL

Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet

Sejak muda, ke mana pun pergi, yang dicari sate kambing, atau menu kambing lainnya. Juga sepulang acara Unilever di Pandaan 11 tahun lalu, mampir di warung sate kambing di Surabaya (Ada di foto). Setiap acara sastra di Tegal, terlebih lagi, tujuannya warung sate hampir di setiap lorong ada warung sate kambing.

Lebih 3 stasiun TV pernah mengundang saya bicara soal kambing (dan durian), apakah tidak berbahaya untuk kesehatan. Jawab saya “Apa salahnya kambing? Apa salahnya durian?

Ada orang stroke sehabis makan kambing sama analoginya dengan orang sehabis divaksin meninggal ketubruk bajaj, bukan sebab vaksinasinya.

Saya kebetulan tidak mengidap darah tinggi. Teman-teman sejawat dokter lain yang gila kambing, ada juga yang mengidap darah tinggi, tapi tetap ngambing juga.

Saya dan sejawat Dr Samuel Simon, SpKK, yang sama-sama tinggal di Jakarta, rutin makan sop kambing, sejak sebelum pandemi Covid, sekurangnya beberapa minggu sekali. Pilihannya Sop Kambing Agung Taman Anggrek Mall, yang menurut lidah kami, ini sop kambing Jakarta terenak. Sekarang langganan sate kambing Bu Soejani sateTegal terenak sedunia di Jalan Radio Dalam Jakarta Selatan.

Pertanyaan awam yang lazim saya dengar, “Masih berani makan kambing, Dok?”. Saya tidak heran kalau masih banyak yang bertanya begitu, karena mitos itu sudah menjadi milik publik kita.

“Apa salahnya kambing?” Tidak ada yang salah dengan kambing. Alasan orang awam takut makan kambing karena suka mendengar cerita habis makan kambing bikin stroke. Betulkah begitu?

Tengok saja, misal, di Maroko. Orang di sana bakar daging kambing setiap malam, namun angka stroke di sana tidak lebih tinggi dibanding negara yang tidak banyak makan kambing. Di Tegal warung sate kambing berjejer hampir di setiap jalan kota. Orang Tegal makan sate kambing nyaris setiap hari. Tapi angka stroke di Tegal juga tidak lebih tinggi dibanding kota lain yang jarang makan kambing.

Saya dan sejawat Dr Simon sama-sama gila doyan kambing. Bukan saja sop kambing, saya mengejar ke mana ada sate kambing empuk di Jakarta. Kalau ke Tegal, kesempatan makan sate tidak boleh dilewatkan. Sate kambing Tegal terenak di dunia. Saya suka sate kambing Tegal, selain jenis kambingnya beda, juga penyajiannya sate dibakar tanpa diberi bumbu kecap terlebih dulu, melainkan polos saja. Karena polos, tanpa dibumbui terlebih dulu sebelum membakarnya, rasa daging kambingnya lebih nyata terasa. Maaf, kalau sekali tubruk saya bisa menghabiskan satu kodi alias 20 tusuk. Bukan menyombongkan, tapi memang doyan, dan lantaran kegilaan itu.

Belum ada bukti ilmiah sate kambing bikin stroke. Kalau ada yang habis makan sate, terserang stroke, itu kasuistis saja. Kebetulan saja memang sudah akan bakal terserang stroke, dan kejadiannya kebetulan pas saja baru makan sate kambing. Kalau memang sate kambing penyebabnya, semua orang yang sehabis makan sate kambing mesti terserang stroke. Buktinya kan tidak.

Bahwa ada orang yang pusing sehabis makan sate kambing, mungkin sensitif individual saja. Ada yang bilang daging kambing bikin tensi darah meninggi, juga belum bisa dibuktikan secara ilmiah kenapa. Tidak semua yang makan kambing tensinya naik. Daging kambing secara Ilmu Gizi SDA (spesific dynamic action) tinggi, yang berarti untuk metabolsime daging kambing dan sejenisnya memerlukan kalori lebih tinggi.Mungkin itu yang bikin badan sensasinya “panas” seturut istilah awam.

Kalau dibilang daging kambing tinggi kolesterol, juga tidak. Semua daging baik kambing, sapi, kerbau, dan babi kandungan kolesterolnya sama, dan bukan sumber makanan berkolesterol tinggi. Kolesterol itu ada di jeroan, termasuk di otak. Sekarang menu berkolesterol tidak perlu ditakuti lagi, karena bukan lantaran mengonsumsi menu berkolesterol maka kolesterol darah meningkat. Ini edaran dunia sejak 5 tahun lalu, bahwa menu kolesterol bukan dipandang sebagai “naughty” menu lagi. Kolesterol diproduksi oleh organ hati, peran makanan kecil saja.

Soal kejadian stroke sehabis makan sate kambing, hal yang tidak mungkin di penglihatan medis. Mengapa?  Kolesterol yang kita konsumsi tidak secara langsung menambah tebal tumpukan lemak pada dinding pembuluh darah otak, atau jantung. Proses pembentukan “karat lemak” bernama plaque itu perlu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun untuk sampai bisa menyumbat dan stroke atau serangan jantung terjadi. Juga belum terbukti sebab tensi darah langsung meninggi sehabis mengkonsumsi kambing. Padahal sekarang sudah dinyatakan dunia bahwa kolesterol dari makanan tidak meninggikan kolesterol darah.

Jadi mana mungkin baru mengkonsumsi kolesterol bikin hipertensi, atau stroke, atau serangan jantung. Lagi pula daging kambing sama halnya dengan daging lain, bukan menu sumber kolesterol. 

Ada faktor lain yang meninggikan kolesterol darah, yakni faktor genetik, dan bila tubuh mengalami gangguan metabolisme lemak (lipid). Jadi tidak masuk akal medis mengkonsumsi kolesterol, bahkan berlebihan sekalipun, ada hubungan dengan kejadian stroke, atau serangan jantung, atau hipertensi. Kalau betul terjadi, itu kebetulan belaka, coincidence, seperti halnya habis makan sate kambing mati di kamar hotel bersama istri orang lain.

Ada rasa kangen kalau sudah lama tidak makan kambing. Sejawat Simon selalu saja bertanya begitu, “Kapan ngambing lagi?”, seakan tanpa makan kambing hidup jadi hampa.

Salam ngambing,

Dr HANDRAWAN NADESUL

Avatar photo

About Handawan Nadesul

Medical Doctor, Health Motivator, Health Book Writer and a Poet