Dokter Juga Perlu Belajar Kehidupan

Seide.id – Kehidupan profesi dokter saya punya dua dunia. Dunia pasien, dan dunia sastra. Teman-teman yang berkonsultasi medis, dan teman-teman komunitas sastra. Dari dua dunia ini fungsi kedua belahan otak saya menjadi lengkap. Otak kiri untuk profesi, otak kanan untuk imajinasi.

Sekolah dokter tidak ringan. Banyak sejawat dokter berkutat hanya pada mata ilmu dan dunia kedokterannya saja. Bahkan ada yang sewaktu sekolah hanya belajar, tidak sempat baca koran, apalagi yang lainnya, dan tidak mengenal dunia lain. Suntuk sibuk pada ilmunya saja. Sekarang saya mahfum, itu saja kurang sebagai pelaku profesi yang humanis, yang banyak berhadapan dengan ranah kemanusiaan.

Dokter perlu sisi lain selain ilmu kedokteran yang dikuasai. Dokter berhadapan dengan sosok yang bukan saja berjiwa, melainkan juga yang punya latar belakang, dan punya masalahnya sendiri. Hanya bila praktik dokter menyelami masalah pasien yang komprehensif begitu, dokter sukses sebagai penyembuh.

Sukses seorang dokter terlebih pada keterampilan berkomunikasi dokter-pasien. Pasien didengarkan, dan dipahami. Dokter dianggap pasien orang yang serba tahu, sehingga apa saja ditanyakan. Juga bukan masalah medis semata. Bahkan waktu saya masih berdinas di puskesmas, setiap kali ada acara apa saja di desa, dokter diundang angkat bicara.

Dokter yang serba tahu, luas wawasannya bukan saja keilmuannya, melainkan juga ilmu-ilmu sosial, disukai pasien. Bisa ikut menyelami masalah rumah tangga pasien, menghayati persoalan kehidupan pasien, dan bahwa sebagian pasien yang sakit bukan cuma badannya saja, bisa juga sebab jiwanya.

Bahwa dokter yang bertangan dingin itu, yang bagus komunikasinya dengan pasiennya. Pasiennya dimanusiakan (diwongke) sebagai wong liya, dan bukan sebagai obyek seolah robot.

Beruntung saya lumayan lama mengikuti Prof Priguna Sidharta, dosen ahli penyakit saraf (Neurology) yang banyak menulis buku, dan terbilang sosok yang cerdas. Terlihat dari pasiennya yang banyak, praktik sampai subuh, pasien dari kalangan pejabat ketika zaman Pak Harto.

Saya melihat Prof Sidharta sosok yang luas wawasannya selain cerdas sebagai profesional dokter. Itu saya tangkap dari cara dia menulis buku panduan Neurology yang menjadi rujukan mahasiswa kedokteran. Contoh-contoh kasus penyakitnya dipetik dari kehidupan keseharian masyakarat luas, yang nyata ada.

Setelah lulus dokter, saya diajak Prof Sidharta untuk beberapa kegiatan, salah satunya kegiatan bagi komunitas epilepsi lewat yayasan PERDHAKI, Persatuan Karya Dharma Kesehatan. Saya diminta ikut karena Prof Sidharta tahu saya gemar dan bisa menulis. Saya diminta membuat buletin Epilepsi, selain kegiatan kunjungan ke daerah-daerah menyuluh ihwal epilepsi.

Lebih dari karena saya bisa menulis, Prof Sidharta juga menaruh apresiasi terhadap sisi sastra, ketika dia beberapa kali mendengar saya baca puisi di kampus. Sedikit dari mahasiswa kedokteran yang menyukai sastra, saya terasa menonjol. Prof Sdiharta menghargai mahasiswa kedokteran yang bukan hanya berkutat pada bidang studinya.

Kemampuan saya menulis menjadi jalan saya bisa lebih dekat dengan Prof Sidharta, sosok yang tidak sembarang orang bisa mudah bertemu. Selama diajak ke beberapa kota untuk penyuluhan epilepsi, dalam perjalanan panjang itulah di dalam mobil saya memperoleh banyak memetik tentang ilmu kehidupan, khususnya kehidupan sebagai profesi dokter.

Bagaimana etis selayaknya seorang dokter, bagaimana etis melayani pasien, bagaimana bijak bersikap menghadapi pasien, dan segala pernik kehidupan sebagai profesional dokter. Saya banyak belajar, dan itu berguna sekali buat sepanjang saya berpraktik, yang mungkin belum tentu sejawat lain saya sekampus mendapatkannya.

Bahwa ternyata untuk menjadi dokter yang arif berprofesi, tidaklah sederhana. Perlu banyak ilmu lain di luar penguasaan ilmu kedokteran, sehingga betul mampu menjadi dokter yang manusiawi, yang tidak memberatkan pasien. Misal, kalau ada obat lebih murah kenapa memilih merespkan yang lebih mahal. Kalau tidak perlu diperiksa laboratorium atau pemeriksaan macam-macam lainnnya, kenapa pasien harus membayar lebih besar untuk pemeriksaan yang tidak ada kaitannya dengan keluhan penyakitnya. Kalau bisa tak perlu obat kenapa diresepkan obat. Kalau cukup satu macam obat kenapa harus meresepkan berderet panjang. Kalau pasien tidak perlu kembali, kenapa meminta pasien datang lagi, dan banyak lagi sikap etis dan bijaksana dokter yang tidak memberatkan pasien, yang sanggup memperlakukan pasien sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Kemampuan untuk tiba pada sikap begini, berkat kerja otak kanan. Otak yang membuat kita lebih arif bersikap.

Terima kasih Prof Sie, begitu biasa beliau dipanggil. Sudah lebih duapuluh tahun beliau pergi ke alam baka, meninggalkan banyak kesan pada saya, selain saya peroleh dari kuliah dan banyak belajar dari buku-bukunya, serta belajar pula tentang kehidupan, yang tidak diajarkan di ruang kuliah.

(Foto sampul salah satu buku pegangan untuk praktik dokter karya Prof Priguna Sidharta)

Salam terima kasih profesi,
Dr Handrawan Nadesul

Keluhan Fisik Sana Belum Tentu Obatnya Sama