Oleh AMRON TRISNARDI
” Andai aku punya uang Rp 2T, mungkin akan kusumbangkan kayak Akidi Tio, Mas.” Ini WA dari kawan kristen.
” Alhamdulillah Puji Tuhan kamu nggak punya. Tuhan menyelamatkanmu sebagai pembual.”
Aslinya saya tahu ia cuma bercanda. Tapi begitulah kebanyakan kita, cuma berandai-andai untuk berbuat baik. Menunggu rejeki nemplok duluan, baru berbagi. Padahal pelajaran tentang tabur tuai berfokus pada penabur, bukan penuai.
Pekan ini kita mendapat pelajaran berharga dari Akidi Tio. Bukan semata tentang sumbangannya yang fantastik untuk ukuran kongkomerat Indonesia, Akidi yang murah hati bahkan telah menjadi dermawan sejak dulu, memberi sambil sembunyi tangan, atas nama Hamba Tuhan. Bukan hamba agama, juga bukan atas nama sukunya.
” Andai kamu menjadi Anak Akidi Tio, apakah kamu akan mewujudkan wasiatnya, atau melipat wasiat dan uang 2 T kamu sikat ?,” tanya saya pada kawan kristen. Ia tak muncul lagi, apalagi menjawab.
Kita juga belajar tentang kejujuran, integritas dan komitmen untuk melaksanakannya, dari anak-anak Akidi Tio. Rasanya tak mudah, bagi ukuran manusia kebanyakan, melepaskan uang Rp 2 T hanya dengan wasiat, yang bahkan bisa dilipat.
Mengemban amanah menjalankan kebaikan itu berat. Kita telah banyak belajar tentang kejujuran, tapi komitmen untuk melaksanakannya itu susah.
Bahkan para penguasa, para anggota DPR yg mulia pun, nggak ada yg bisa.