Penetapan Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta berkaitan dengan sejarah Kerajaan Mataram Islam Ngayogyakarta Hadiningrat
OLEH YUDAH PRAKOSO R.
Seide.id – Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menyampaikan pidato terkait peringatan Hari Jadi DIY yang diharapkan membawa manfaat dan kesadaran baru bagi pemda dan masyarakat DIY.
Sultan mengatakan penetapan Hari Jadi DIY adalah manifestasi dari kesatuan pemikiran dan dukungan masyarakat, mengukuhkan fakta sejarah, dan memperkuat kesepakatan kolektif tentang pentingnya momen ini. Dukungan dari DPRD sebagai representasi lapisan masyarakat DIY, tidak hanya menguatkan fondasi keistimewaan Yogyakarta tetapi juga memperkaya keberagaman dalam bingkai NKRI.
“Dengan merujuk pada rangkaian histori dan nilai budaya, yang menjadi penegas Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta itu, dan dengan berpedoman pada hasil kajian yang disajikan dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Tentang Hari Jadi Daerah Istimewa Yogyakarta, maka hari lahir Daerah Istimewa Yogyakarta ditetapkan pada Tanggal 13 Maret 1755, atau dalam kalender Jawa, Kemis Pon tanggal 29 Jumadil’awal tahun Be 1680,” ungkap Sultan.
Secara lebih detail dan mendalam, beberapa fakta sejarah dan nilai budaya berikut, menjadi dasar-dasar, yang pada akhirnya menetapkan tanggal 13 Maret 1755, sebagai hari lahir DIY yakni pada hari tersebut, di Hutan Beringan, Sultan Hamengku Buwono secara resmi mendeklarasikan berdirinya Hadeging Nagari Dalem Kasultanan Mataram Ngayogyakarta Hadiningrat, yang juga menandakan pembentukan negara dan pemerintahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, lengkap dengan elemen pemerintahan, wilayah, dan rakyatnya, meskipun istana belum terbangun. Dalam momen tersebut, Sultan Hamengku Buwono resmi menyatakan wilayah kekuasaannya sebagai Ngayogyakarta Hadiningrat terletak di Hutan Beringan, yang juga dikenal sebagai Beringin atau Pabringan, di mana terdapat sumber air Pachetokan dan pesanggrahan Garjitawati.
Awalnya, pembangunan pesanggrahan ini digagas oleh Sunan Amangkurat IV yang meninggal sebelum selesainya. Proyek tersebut kemudian diteruskan oleh Sunan Pakubuwana II, yang menghasilkan pesanggrahan yang berganti nama menjadi Ayodhya. Lokasi ini juga berfungsi sebagai tempat istirahat sementara untuk jenazah bangsawan Mataram dari Surakarta sebelum dikebumikan di Imogiri.
“Tanggal 13 Maret 1755 sekaligus menjadi momentum, dimana untuk pertama kalinya digunakan nama Ayodhya yang kemudian dilafalkan menjadi Ngayodhya dan Ngayogya. Dari kata inilah kemudian dijadikan nama Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berarti tempat yang baik dan sejahtera yang menjadi suri tauladan keindahan alam semesta. Dalam tradisi Jawa, Ngayogyakarta merupakan nama negara baru yang terdiri atas separoh bumi Mataram, yang sekaligus juga nama ibukota negara.
Kesamaan ini mengandung makna, bahwa ibu kota bukan hanya pusat administratif pemerintahan atau perniagaan, tetapi juga merupakan cerminan dari keseluruhan nagari. Sementara ungkapan Hadiningrat, mengisyaratkan bahwa secara konseptual dicita-citakan agar nagari ini dapat menginspirasi dunia dengan keindahan, kesempurnaan, dan keunggulannya,” sambungnya.
Tanggal 13 Maret 1755, sekaligus menandai puncak jiwa kemerdekaan yang digelorakan oleh Pangeran Mangkubumi, untuk melepaskan diri dari hegemoni kolonialisme Belanda untuk membangun sebuah peradaban baru yang bernama Ngayogyakarta Hadiningrat. Waktu ini juga menyimbolkan persatuan kewilayahan Yogyakarta, karena pada masa ini (Sultan Hamengku Buwono I), wilayah Yogyakarta belum terpecah akibat intervensi kolonialisme.
“Peristiwa Hadeging Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat ini, secara de jure sudah memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan untuk menjadi sebuah negara yang berbentuk Kasultanan, yaitu pemimpin, rakyat, wilayah, dan pemerintahan,” tandas Sultan.
Sultan pun berharap, dengan penetapan Hari Jadi DIY 13 Maret, diharapkan ada manfaat yang bisa diambil baik oleh pemerintah daerah maupun masyarakat. “Tadi sudah saya sampaikan dalam sambutan, semoga bisa membawa manfaat dan kesadaran baru bagi seluruh warga dan pemerintah daerah dalam mengabdi masyarakat Jogja,” pungkasnya.
Sementara, Ketua DPRD DIY, Nuryadi mengatakan bahwa pihaknya menyempurnakan hari jadi dalam sebuah peraturan daerah yang menjadi payung hukum. Nuryadi berharap, segala kebijakan yang diambil pemerintah daerah bisa semakin memakmurkan masyarakat DIY.
“Kita menyempurnakan artinya yang kemarin sudah ada keinginan itu sudah ditetapkan jadi perda, pasti ini mengikat karena sudah menjadi undang-undang. Sehingga pengikatan itu pasti harus kita lalui dengan kebijakan kebijakan yang melibatkan masyarakat, pasti, sehingga makna 269 tahun usia kita itu harapan kita masyarakat semakin makmur. Betul-betul bahwa hari jadi ini termaknai menjadikan kita lebih maju semuanya,” tegasnya. (*yp)