Di mal itu aku melewati sebuah gerai gelato. Terpikir: asyik juga ya mampir di situ. Sayang aku sendiri. Tidak berdua, apalagi bertiga. Aku masih bujangan.
Tiba-tiba seorang bocah menghampiriku. Aku kaget melihat wajahnya. Wajah itu melemparku ke masa lalu. Matanya, bibirnya….
“Om, boleh potoin aku dan Papa?” katanya mengulurkan sebuah hape.“Oh, boleh.” Kulihat di salah satu bangku gerai sepi itu duduk seorang lelaki usia 40-an. Melihatku, ia bangkit.“Maaf mengganggu, Mas,” ujarnya. Aku tersenyum mengisyaratkan “it’s okay”.
Ceklek-ceklek-ceklek. Ada ayah-anak mesem-mesem di balik dua cup gelato aneka warna, ada yang saling tatap, ada ayah menyuapi anak dari isi cangkirnya.
“Thanks, ya Mas.”
“Makasih, Om.”
“Mestinya tunggu Mama yang potretin,” kata si ayah.
“Ntar es gim keburu lumer, Pa.”
“Iya, Nico benar.”Oh, namanya Nico.
“Permisi ya,” kataku sambil berlalu.
“Thanks again, Bro.” Wih, sekarang aku Bro.
Aku melanjutkan perjalanan. Namun letak gerai itu, di sebuah “pulau” yang terdiri dari beberapa gerai lainnya, membuat kakiku seperti punya keinginan sendiri. Aku memutar, dan menghampiri tempat itu lagi.
Sekarang mereka bertiga. Ada tokoh ibu di sisi Nico. Dan wanita cantik itu, OMG, adalah…Olivia. Bukti kepengecutanku di masa lalu. Berarti Nico kecil…. Berarti seharusnya akulah yang berada di situ.
Mendadak aku diserang rasa iri kepada pria yang wajahnya begitu sumringah di antara dua orang terkasih dan cangkir-cangkir gelato.
20 Juni 2021
Repost untuk Hari Ayah