Dunia Imaji Ateng

Ateng, begitu nama singkatnya. Nama panjangnya Martin Luther, namun aku dan Bapakku hampir tak pernah memanggilnya dengan nama itu, mungkin karena dulu posturnya yang pendek gemuk mirip pelawak Indonesia yang bernama sama, ia dipanggil seperti nama itu pula. “Teeeng… Ateeennng!” jika dipanggil maka adikku yang nomor tiga ini akan segera menoleh, lalu tersenyum belari ke arahku, mengambil pisang goreng yang kutunjukkan padanya dengan segenap antusiasme.

Itu dulu kala kenormalan masih bersemayam di benaknya, kala jiwanya belum tercemar oleh ucapan-ucapan yang menurutnya selalu berbisik di telinganya. Ateng, seiring berjalannya waktu mengejawantah menjadi sosok unik bersama waham-waham yang ia bilang kerap berbisik di telinganya. Di saat ia berceloteh tentang beragam kisah yang meluncur dari ratusan imaji yang bercokol di benaknya, ia bagai sosok yang tidak peduli dengan hebohnya serbuan virus mematikan covid-19. Dia bahkan pernah berkata kalau covid tak mempan pada skizofrenia yang bersarang di
jiwanya.

“Kau tahu Ni, orang normal banyak yang mati terkena covid, tapi aku tidak. Kau punya jawabannya mengapa demikian?” tanyanya suatu hari. Wajahnya serius.

Aku terkejut. “Mungkin karena kau sakit jiwa,” jawabku datar.

Ateng terkekeh. “Kau salah,” katanya sembari menggoyang telunjuknya kekiri dan ke kanan. Entah darimana dia mencontoh gaya yang mirip pembawa acara di televisi itu. “karena aku sudah memutuskan bahwa yang akan menguasai covid adalah covid itu sendiri dan orang tak waras macam akulah yang selalu sehat terbebas dari virus itu,” tegasnya, bola mata Ateng seolah naik ke atas dan ke bawah, ini pertanda buruk, ia bisa mengamuk tanpa sebab. Prediksinya membuatku berniat untuk mencari pembenaran ucapannya melalui media online. Apa benar, pikirku. Apakah
aku harus mempercayai ucapan orang yang tak waras? Tapi bukankah sekarang banyak orang yang normal lebih tak warasnya dari orang yang berpenyakit jiwa? Jawaban tentang apa yang akan terjadi dengan dunia setelah covid berakhir, tentunya bukan asal jawab saja. Orang macam adikku Ateng kurasa asal bicara sebab waham-waham yang semakin menguat di benaknya, telah menjadi semacam formula yang mencengkeram otaknya untuk berkata-kata sesuai dengan kehendaknya.

Ketika jawaban yang ditunggunya tak kunjung tiba, mata Ateng kian membesar, memelototiku dengan aura sinar amarah, aku mundur beberapa langkah, takut ia meninju wajahku seperti yang pernah ia lakukan beberapa tahun yang lalu.

“Kau tahu Ni, jika Hanoman berkelahi dengan Sri Rama, apa yang bakal terjadi?” tanyanya pada suatu waktu.

“Entahlah Teng, kau sudah minum obat penenangmu?” Aku balik bertanya.

“Kau harus bisa menjawabnya. Siapa yang menang, Hanoman atau Sri
Rama?” bentaknya. Sejurus kemudian, kepalan tangannya yang kuat tiba-tiba meninju wajahku dengan cepat. Aku jatuh tersungkur. Hidungku berdarah. Beruntung saat itu ada Bapak, ia sergap menahan tangan Ateng ketika lelaki yang berusia hampir empatpuluh tahun itu hendak meninjuku lagi.

“Selalu tak pernah ada jawaban yang membuat hatiku senang.” Gerutunya.

Bapak berencana menaruhnya di Rumah Sakit Jiwa, sebab setiap kali kontrol ke sana, dokter ahli jiwa akan berkata, “putra Bapak sudah memasuki stadium empat, seperti penyakit kanker ganas yang sulit untuk disembuhkan, kita hanya bisa memberinya obat penenang, biarkan dia seumur hidup bermain dengan dunianya,
hanya dijaga saja agar dia tidak melakukan hal-hal di luar kontrol dan pergi jauh dari rumah.” Kata dokter ahli jiwa tempat Bapak selalu membawanya berobat.

Kemudian kembali ke kisah tentang pertarungan Hanoman dan Sri Rama, para tokoh dalam kisah Ramayana. Ateng berkata, “tolol sih kau, Hanoman berantem dengan Rama saja tidak tahu siapa yang menang. Yang menang itu aku, karena aku kan yang menjadi wasitnya. Horee kau tertipu, hahaha…” Ateng tertawa terkekeh-
kekeh.

Pada kesempatan yang berbeda, Ateng bertanya lagi, “Kau tahu tidak Ni, setelah covid-19 berlalu, apa yang akan terjadi di bumi ini?”

Sekali lagi, ini pertanyaan yang cukup sulit, namun aku harus memberikan jawaban yang tepat, sebab jika tidak tangannya bisa menonjokku lagi. Lelaki yang kuingat tampan di masa kecilnya, kini berubah. Wajahnya tak lagi menunjukkan kesegaran, waktu dan penyakit telah memangkas ketampanan yang pernah ada. Jika Bapak tidak memandikan dan mencukur rambut juga jenggotnya, ia terlihat agak menyeramkan. Kemudian sahutku dengan ucapan yang tak pasti, “hmmm…begini Teng, menurut seorang investor legendaris dari negeri Amerika sana, usai pandemi akan terjadi peristiwa yang lebih buruk dari virus covid-19. Bakal ada pendemi lain seperti ancaman senjata nuklir, kimia, biologi dan siber atau varian baru omicron. Pelajaran terbesar dari pandemi yang belum pernah terjadi berkaitan erat dengan betapa tidak siapnya manusia di dalam menghadapi situasi darurat yang akan muncul.” Kataku. Aku berdiri agak menjauh darinya. Menunggu jangan sampai dia marah lalu meninju wajahku lagi.

Bapakku yang kian menua, kerap merasa sedih dengan apa yang telah menimpa anak lelaki keduanya itu. Pria tua yang mendapat julukan sastrawan asal Namodale Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur dan telah berusia delapan puluh tahun itu pernah berkata, “Andai saja usai pandemi ada perubahan yang signifikan berkaitan dengan penyakit sikzofrenia adikmu itu, aku merasa senang. Bapak berharap akan datang virus yang mampu mengubah orang gila sembuh total dari penyakitnya. Andai saja adikmu jiwanya tidak sakit, barangkali dia akan menjadi ilmuwan jenius yang bisa mengarahkan jalan pikirannya ke arah yang lebih positif dan berguna bagi banyak orang. Bila saja pandemi berlalu manusia memiliki cara berpikir yang lebih bijak tentang kehidupan ini, mungkin kesetaraan dalam hal perekonomian akan membuat hidup jadi penuh makna. Bahkan pendapat orang tak waras pun bisa
menjadi solusi yang berguna.“ Bapakku mengucapkan kalimat-kalimatnya dengan nada rendah, pita suara tuanya terdengar seperti irama musik yang bernada fals.


Ateng meronta saat hendak ditinggal, Rumah Sakit Jiwa dengan luas sekitar satu hektar itu, terlihat kokoh dan kuno. Taman yang ada di tengah-tengahnya terlihat lapang, di tengah taman berdiri pohon beringin yang kuat, beberapa orang yang sakit jiwa berjalan mondar-mandir dengan celotehannya sendiri.

“Sudah berulangkali kukatakan aku tidak mau tinggal di sini. Aku tidak gila seperti mereka itu!” unjuknya pada beberapa orang lelaki dan perempuan yang berjalan mondar-mandir sambil berceloteh berdasarkan imaji mereka masing-masing.

“Baik, kau boleh pulang, tapi janji jangan memukul orang lagi termasuk Nina!” kata Bapak.

Akhirnya Ateng tidak jadi dititipkan di Rumah Sakit Jiwa yang terletak di ujung kota Bogor itu. Wajahnya kembali riang tatkala ia menemukan kamarnya yang kusam dan bercahaya remang-emang. Aku pernah mengganti bola lampu dengan sinar yang lebih terang. Tapi sesudahnya Ateng marah. “Jangan ganti bola lampunya,
nanti aku tidak bisa bercakap-cakap lagi dengan si pencipta covid yang tinggal di Wuhan sana. Aku juga tidak bisa menghubungi ahli rekayasa genetika dari virus covid yang tinggal di Amerika. Mereka tidak suka terang, sebab terang akan memperlihatkan hasil analisa mereka dari virus yang mematikan itu.” Ateng menekan-nekan jari tengahnya yang kulitnya terlihat mulai menebal. Analisa dari daya khayal yang menurutku mulai liar merambah kemana-mana.

“Ni, apa tanggapanmu tentang ucapanku tadi?” tanyanya tiba-tiba, Aku sigap menjaga jarak, takut kena gampar.

“Sudah kau jangan ngaco lagi. Nina ayo ke luar dari kamarnya. Awas, jangan pukul Nina lagi, nanti Bapak kirim kau ke Rumah Sakit Jiwa!” Ancam Bapak.

Ateng mengerutkan tubuhnya di sudut kamarnya. Ucapan Bapak membuatnya takut juga. Aku menjadi iba padanya. Kemudian kubelikan dia nasi bungkus Padang kesukaannya, dengan tingkat kelahapan yang sempurna, Ateng memakan nasi bungkus yang kubeli tanpa mempedulikan norma yang berlaku. Ia memang telah lama lupa akan tata-krama di tingkat pergaulan dunia mahluk hidup yang bernama manusia.

Usai bersendawa ia berkata dengan suaranya yang lantang padaku, “kau tahu Ni, setiap manusia memiliki tingkat imunitas yang berbeda-beda. Ada yang kuat menahan serangan covid, ada yang tidak. Tapi aku si penyintas skizofrenia lebih kuat darimu, yang kupikirkan hanya hubunganku dengan Sang Pencipta Bumi, bagaimana aku harus hidup sesuai dengan kehendakNya, melupakan rakusnya diri pada dunia, tidak melakukan hal-hal yang tercela, tidak mengadudomba manusia dengan manusia, juga
manusia dengan alam dan seisinya. Hidup harus berdasarkan cinta kasih, tidak atas superioritas yang dimiliki karena dia kaya raya dan berkuasa atau merasa lebih pintar dari yang lain dan kemudian menghina orang lain dengan perkataan yang menjatuhkan dan nyinyir. Jika pandemi berakhir, apa yang kuucapkan inilah yang harus dijalankan, sebab jika tidak, dunia akan menderita akibat kerakusan manusia itu sendiri. Apabila bumi marah, maka tangisan
dan mohon pengampunan sudah tidak ada gunanya. Barangkali akibat dari kerakusan manusia, bumi akan berhenti berputar, lalu kiamat datang dan manusia musnah dari bumi.” katanya. “Ni, kau harus berbaikan selalu padaku, karena aku sudah memberitahumu tentang apa yang akan terjadi di dunia kelak.” lanjutnya.

Aku terdiam sejenak. Tetap jaga jarak.

“Baiklah, tak usah kau menjawab pertanyaanku. Aku mengantuk, sudah kau pulang sana. Nanti kalau kuWA, kau datang lagi ya?” katanya sambil bersiap-siap naik ke tempat tidurnya.

Aku dan Bapak saling berpandangan, kami tahu Ateng tak punya Handphone,apalagi nomor WhatsApp. Sejak ia duduk di kelas lima Sekolah Dasar, ia telah diberi status sebagai ODGJ alias Orang Dengan Gangguan Jiwa, skizofrenia telah membawanya ke ruang tanpa nalar yang dituangkan ke dalam imaji-imaji yang terlontar melalui bibirnya. Kulihat ia bahagia dengan dunianya. Selama masih ada yang memberinya makanan, itu adalah surga kecil yang menjadi miliknya.

“Ateng lebih sehat dari kita semua, dia tak pernah tahu kalau dia sakit,” kata Bapakku. Ia wafat setahun kemudian. Ateng selalu menanyakan, “Ni, Bapak kemana?”

Tamat

*Untuk adikku Ateng, aku menangis untukmu juga Bapak. Kelas tiga SD Ateng sudah menjadi bagian dari tari kolosal garapan koreografer terkenal Sardono W.Kusumo, beliau pernah menjadi rektor IKJ. Judul tariannya Dongeng dari Dirah. Ateng dan grup tarinya Mas Don demikian aku memanggilnya, melanglangbuana ke Paris Prancis dan negara-negara Eropa lainnya untuk menari Bali, tarian yang dipelajarinya secara otodidak. Sayangku padamu adikku.

Oleh Fanny J. Poyk

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis