Edgar Davids

Seide.id -Ketua PSSI sekarang adalah Erick Thohir. Apakah bisa efektif, mengingat dia juga sibuk sebagai mentri BUMN? Semoga saja, karena dia pernah punya saham dan (mungkin) punya pengalaman mengurus klub sepakbola.

Terus terang aku agak terkejut mengetahui bahwa kita akan menjadi tuan rumah Piala Dinia Usia 20. Bukan karena prestasi (tak tahu detailnya, apakah ada syarat prestasi minimal tertentu untuk menjadi tuan rumah?). Tapi lebih karena beberapa waktu lalu kita mengalami tragedi Kanjuruhan yang menyesakkan (bahkan urusannya belum tuntas dan sedang berjalan?). Apakah itu berkat lobby Erick ke-FiFA? Entahlah. Semoga semua baik-baik saja.

Mumpung lagi ngomongin sepakbola, ini kali aku mau blanyongan tentang Edgar Davids.

William Shakespeare pernah menciptakan ungkapan dahsyat yang masih diucapkan orang sampai hari ini. Ungkapan bernada tanya: “Apalah artinya sebuah nama?!”. Substansi dari ungkapan itu adalah: Nama itu tak mengubah apa pun. Jika kau bernama si A yang kebetulan pekok,…kau tentu tak bisa tiba-tiba, ujug-ujug jadi jenius hanya dengan mengubah namamu menjadi si B, misalanya. Bunga melati itu, meski kau beri nama lain, misalnya ‘genteng’, ‘kaos kaki bekas’, bahkan ‘tokai’, pun… kuntum-kuntumnya akan tetap wangi.

Tapi, untuk bangsa di belahan bumi sebelah timur, tak bisa disetujui begitu saja. Bagi orang timur, nama adalah do’a. Bahkan orang Jawa punya semacam tradisi, jika anaknya sakit-sakitan atau bersikap seperti kurang baik, maka anak itu namanya diganti. Apakah hal itu ampuh atau tidak,.. tak seorang pun tahu. Di lingkungan kantorku dulu, bahkan ada seseorang yang anaknya beberapa kali ganti nama karena sakit-sakitan (sakit-sakitan ini artinya bukan sakit bo’ongan). Sampai-sampai kami usil dan kerap bergurau: “Tahun ini, siapa nama anakmu?”.

Aku suka nama laki-laki Edgar. Karena di telingaku terdengar gagah. Nah,… ngomong-ngomong soal nama Edgar, ada 3 nama besar Edgar yang langsung nyantel di benakku. Edgar Winter, Edgar Degas dan Edgar Davids. Ke-tiganya adalah orang-orang hebat, idolaku.

Edgar Winter adalah penyanyi, pencipta lagu dan pemain multi instrumentalis yang sangat berbakat. Edgar Degas adalah pelukis realis Jerman yang berpengaruh pada era pelukis modern Eropa. Banyak lukisan Edgar Degas tentang kiprah, keperkasaan dan telenta perempuan. Garis-garis dalam lukisan realis Degas,…khas, akurat, ritmis dan tegas.

Nha,…ke-tiga adalah yang mau aku blanyongkan ini: Edgar Davids.

Edgar Davids lahir sekitar satu dekade setelah era kejayaan ‘trio Belanda yang paling mematikan’ di piala Eropa, yaitu: Ruud Gullit, Frank Rijkaard dan Marco Van Basten.

Di antara para pemain yang sedang berlaga di lapangan, Edgar Davids sangat mudah dikenali. Bukan karena dia berkulit hitam dan berambut ‘dreadlock’ (gondrong dipilin kecil-kecil khas bagi rambut keriting, kita menyebut: gimbal), tapi karena dia memakai kacamata berbingkai besar seperti kacamata penyelam atau tukang las.

Edgar Davids bertubuh sedang-sedang saja. Bahkan dengan tinggi 165 cm, sebetulnya termasuk pendek untuk ukuran rata-rata postur tubuh orang Eropa. Tapi, pemain bola kelahiran Paramaribo, Suriname ini tubuhnya lentur, liat dan staminanya tangguh. Adik iparku yang juga penonton fanatik tayangan olahraga (dia pemain basket yg ‘agak serius’) menjulukinya “Si Kebo”. Orang Betawi bilang: “kagak punya udel”. Tentu saja bukan karena bodoh dan lamban. Tapi karena Edgar Davids seperti tak pernah kehabisan nafas. Kelincahan dan ketangguhannya seperti tak berkurang sedikit pun untuk bermain 2×45 menit, kadang ditambah 2×15 menit!

Tubuh ‘tak tinggi’ dibanding rata-rata pemain Eropa dan dunia ini, seperti semacam anti tesa untuk kita yang selalu ber-excuse, selalu beralasan bahwa pemain-pemain Asia dan kita tak mungkin ‘melawan’ pemain dunia yang postur tubuhnya lebih tinggi. Bahkan banyak pemain hebat dunia bertubuh ‘tak tinggi’. Edgar Davids, Ardilles, Depay, Iswadi Idris, Maradonna,…dan tentu saja Lionel Messi.

Kita kerap melihat, pemain lawan selalu sulit melawati pemain glandang (tanpa ‘an’) ini. Paling tidak pemain lawan harus memiliki kemampuan mendribel bola dan mengecoh lawan. Jika, Edgar sedang membawa bola dan bola itu dicuri lawan, maka dia akan mengejar sang lawan ke-mana pun bola itu dibawa, sebelum dioperkan kepada temannya.

Akan halnya kacamata yang menjadi ciri khasnya itu, tentu saja sama sekali bukan untuk gaya-gaya’an. Awalnya aku kira, karena pandangan matanya minus atau apa. Eh ternyata di mengidap apa yang dinamakan: gloukoma. Gula darah cenderung tinggi(?). Jika mengintip sekelebat di jurnal ilmiah populer, gloukoma adalah: Betul, semacam kadar gula darah yg cenderung tinggi yang diperoleh secara genetis. Pengidapnya akan terganggu pandangannya. perlahan-lahan pengidap gloukoma pada kadar tertentu akan mengalami…kebutaan! Aah,…semoga tidak, Edgar.

Tak semua pemain hebat, karirnya terus berlanjut menjadi pelatih hebat. terutama pemain penyerang atau striker. Pemain hebat yang juga menjadi pelatih hebat, biasanya bukan striker, tapi pemain tengah atau gelandang. Contoh yqng paling pas adalah: Franz Beckenbauer yang dijuluki “sang kaisar”. Mungkin karena striker cuma ‘berfikir dan focus’ kepada bagaimana cara memasukkan bola ke-gawang lawan. Bukan ‘bagaimana seharusnya berstrategi supaya salah seorang dari tim, meciptakan gol’. Supaya tim ini menang.

Sebagai pemain, dari ‘rumahnya’ di klub Ajax, Edgar Davids, merambah menjadi pemain di banyak klub bergengsi di Eropa. Sebagai pelatih, dia pun menjadi penasehat pelatih fisik dan stamina di berbagai klub di Eropa.

Beberapa waktu lalu, ketika Piala Dunia berlangsung, ketika negara Belanda bertanding, dia duduk bersebelahan dengan pelatih timnas Belanda. Dia nampak berbisik-bisik berbincang. Pasti Edgar Davids sekarang, bukan sedang menempati posisi ecek-ecek.


Ilustrasi: Kartun Edgar Davids aku gambar beberapa menit lalu, dengan media akrilik di artpaper bekas kalender, berukuran sekitar 40x30cm…

(Aries Tanjung)

Kencing