Sebuah meme beredar di WhatsApp Grup dengan pesan, minta diteruskan kepada yang lain. Kurang lebih isinya seperti ini. Meminta kepada Menkominfo untuk memblokir game online agar anak-anak bisa fokus belajar kembali supaya menjadi generasi yang berpendidikan.
Sesungguhnya terlalu instan mengusulkan pemblokiran game online untuk membuat anak-anak fokus belajar. Karena sejak anak usia pra sekolah sampai usia sekolah, tugas utama anak sebenarnya adalah bermain bukan belajar. Penjelasan pakar psikologi mulai Freud, Erickson, lalu Piaget, Kohlberg dan Fowler; menyepakati bahwa dengan bermain dalam arti melakukan aktivitas playing dapat meningkatkan perkembangan kepribadian, mental, moral dan spiritual anak.
Putra bungsu saya juga terkena imbas main gadget, termasuk game online. Bila tidak sedang pandemi ia sebenarnya senang playdate di rumah temannya, sepanjang hari bisa bermain apa saja, termasuk main game bareng. Namun, setidaknya ada interaksi dengan teman sebaya dalam hal ini, sebuah kebutuhan tumbuh kembang anak yang sebaiknya juga tidak diabaikan.
Dalam kondisi seperti keluarga saya, tanggung jawab keseharian mengurus hal domestik di rumah ditambah kesukaan saya menulis di laptop, saya menyadari kadangkala tak sengaja menolak jika diajaknya bermain, UNO misalnya. Namun, telinga saya jelas waspada akan omongan yang tidak sopan dan bentuk permainan atau video YouTube ulasan game yang disukainya. Tak segan saya langsung menegur untuk tak mengakses hal tersebut dan bungsu saya langsung menghapusnya.
Hal yang saya alami, mungkin tak sebanding dengan ibu-ibu yang tetiba berjibaku lebih keras ketika pandemi dimulai. Mereka ikut bekerja dari rumah, sibuk membuat kuliner, sibuk jualan online, membantu penghasilan suaminya yang ikut terimbas. Tak jarang saya mendengar keluhan, kesibukan mereka menjadi bertambah. Kadangkala beberapa teman saya memohon pengaturan jadwal belajar daring dengan lebih fleksibel, karena ponsel yang digunakan untuk jualan online sama dengan yang digunakan anaknya untuk belajar daring.
Pemerintah memang memberi tunjangan kuota, namun tidak tunjangan ponsel tambahan. Bahkan seorang sahabat saya mau tak mau harus menghilangkan lalu memasukkan kembali foto-foto barang dagangannya, agar karya anaknya selama pembelajaran daring terdokumentasi dengan baik.
Pembelajaran daring yang dikeluhkan banyak pihak, termasuk saya dan si bungsu, mau tak mau memaksa kita menghadapinya sebagai solusi termudah selama pandemi dan PPKM ini. Meski beberapa sekolah sudah ‘memaksa’ untuk masuk dengan segala risikonya, sekolah yang memiliki kesadaran dan kebijakan lebih baik, memilih untuk pembelajaran daring saja.
Kebanyakan sekolah terutama guru menangkap konsep pembelajaran daring ini sebagai tindakan memindahkan formula belajar tatap muka-tanpa kreasi tambahan-ke dalam belajar daring. Saya mengetahui hal ini ketika suami saya sebagai supervisor salah satu sekolah, melakukan pengamatan pada apa yang terjadi di dalam kelas daring.
Ketika pembelajaran tatap muka saja tak selalu menarik, di mana prosedur umum adalah penyampaian materi: guru membaca atau menunjukkan slide, lalu tanya jawab yang diikuti pemberian tugas; sedemikian saja siswa bisa tidur di kelas atau asyik mengobrol sendiri. Apalagi bila antara guru dan siswa bertemu dalam ruang di dunia maya. Tanpa bisa kita menepuk bahu siswa yang tertidur, mengapresiasi siswa yang sangat baik menjawab pertanyaan dengan mengajak bertepuk tangan, rentang jarak ini membuat interaksi guru dan siswa tak sempurna terjadi.
Beberapa orang tua teman saya menceritakan pengalamannya. Video atau foto yang diambil sebagai dokumentasi pelaporan siswa belajar, kadang diedit sedemikian rupa agar tampak layak dinilai guru. Orang tua yang lain malah mengungkap fakta, mereka sering membantu anaknya menjawab pertanyaan pada lembar tugas, agar nilai yang diperoleh baik dan anaknya yang bermalas-malasan selama proses itu tidak perlu remedial lagi. Melakukan kebohongan akhirnya menjadi hal yang biasa demi sebuah hal yang katanya ‘nilai’ dan predikat prestasi anak bersekolah.
Sekolah-sekolah umum yang selama ini ada memang mengalami syok ketika konsep pembelajaran diubah menjadi daring. Tak hanya guru, peran orang tua yang bertambah untuk menjadi ‘guru’ di rumah juga menjadi polemik yang tak bisa dihindari. Terutama untuk sekolah PAUD. Beberapa PAUD terpaksa tutup, karena orang tua yang tak mau mengeluarkan uang untuk proses belajar yang dilakukan di rumah satu per satu mulai memberhentikan anaknya menjadi siswa. Karenanya beberapa PAUD tak heran cepat-cepat memulai lagi proses belajar, meski kondisi penularan virus dan akses penduduk atas vaksinasi belum bisa meyakinkan untuk dikatakan aman.
Lalu, bagaimana keterkaitan game online, tugas bermain pada anak serta pembelajaran daring?
Beberapa kali saya menemui berita bahwa tak hanya ancaman virus yang mengubah tatanan kehidupan kita sejak Maret 2020. Namun, tekanan psikologis yang akhirnya mencuatkan kasus KDRT, perceraian, bahkan tindakan bunuh diri maupun kriminalitas terus meningkat selama seluruh anggota masyarakat mau tak mau melakukan aktivitas di rumah saja.
Kondisi kejiwaan kita tak sama lagi seperti sebelum pandemi. Anxiety attack maupun Obsessive Compulsive Disorder menjadi meningkat bersamaan dengan meningkatkan sinyal kewaspadaan dalam diri kita ketika keluar rumah. Meski melakukan 5M sekalipun, kita menjadi luar biasa waspada dengan ancaman virus. Beberapa teman mengakui mereka mengalami gangguan tidur termasuk gangguan pencernaan semacam GERD.
Untuk individu yang berusaha mengalihkan kecemasan, banyak yang menjadikan game online maupun binge watching (nonton dua sampai enam episode secara marathon) menjadi tempat pelariannya. Menurut saya, hal tersebut masih lebih baik dibanding remaja yang menjadikan hubungan seks luar nikah atau perselingkuhan, sebagai pelariannya.
Hal yang menjadi masalah kemudian bagaimana bila bermain game online atau binge watching menjadi candu, membuat mereka adiksi?
Bila diterjemahkan secara kebahasaan, adiksi merujuk kepada kecanduan atau ketergantungan secara fisik dan mental kepada suatu zat. Hedi R. Dewoto, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dalam sebuah seminar tahun 2010 di Jakarta mengungkapkan, seseorang baru dikatakan adiksi bila memenuhi tiga dari tujuh kriteria adiksi, di mana seseorang akan selalu harus bergantung pada obat dan tidak bisa dikendalikan.
Di sini kriteria yang dimaksud tak hanya berkaitan dengan zat NAPZA, rokok maupun minuman keras; melainkan juga aktivitas tertentu yang menimbulkan kecanduan.
Dari ketujuh kriteria tersebut, empat hal bisa dijadikan satu poin sebenarnya; dirangkum seperti berikut ini
- Toleransi.
Ketika seseorang mengatakan tidak berlama-lama melakukan hal tersebut, hanya sebentar atau sedikit saja, akan tetapi durasinya makin meningkat.
- Withdrawal syndrome.
Ketika seseorang dihentikan tiba-tiba dari kegiatan yang disukainya, lalu ia menjadi emosional dan kurang bisa berkonsentrasi, untuk kemudian melakukannya kembali
- Hal yang sering dilakukan berdurasi lebih lama dari seharusnya, dan menyebabkan aktivitas sosial atau pekerjaan berkurang akibat fokus kepada apa yang dicandui itu
- Keinginan melakukan hal yang adiktif tersebut secara terus menerus, meski mengetahui masalah yang ditimbulkan.
Jadi, apabila kondisi seorang anak bermain game online atau seseorang binge watching memenuhi kriteria di atas, sudah bisa dikatakan bahwa mereka mengalami kecanduan.
Kecanduan seorang anak akan game online, seperti kecanduan orang dewasa binge watching maupun menikmati segala bentuk pornografi di berbagai aplikasi, dikategorikan psikolog yakni adiksi sebagai perilaku maladaptive.
Masalah penyebabnya lebih kepada faktor lingkungan, keluarga, sosial dan cara berpikirnya. Dengan kata lain orang-orang yang mencanduinya merupakan korban dari destructive learning conditions. Mereka melakukan hal yang destruktif tersebut sebagai aktivitas melepaskan ketegangan dan kekecewaaan serta upaya menekan kecemasan yang dimiliki.
Ketika sebagai orang tua kita menyodorkan solusi pemblokiran situs games online, lalu bagaimana juga dengan situs-situs lain yang juga menimbulkan adiksi.
Seperti konten pornografi yang mungkin saja mudah diakses karena tak hanya dalam situs, tetapi terselip dalam blogspot, wordpress, twitter, instagram, facebook bahkan dalam aplikasi bacaan yang bisa dilihat siapa saja.
Seperti keinginan memberontak pada remaja, hal-hal yang terlarang itu mencari jalan sendiri agar tetap bisa diakses oleh para penggemarnya.
Ketika tayangan tontonan berbayar banyak bermunculan dengan koleksi film yang makin bervariasi, apakah tayangan illegal serta-merta menjadi kurang peminatnya? Tidak juga, karena minat dan kesukaan orang sangat relatif sifatnya.
Tak ada jalan lebih baik kecuali becermin.
Apakah kita punya cukup waktu ketika anak kita usia pra sekolah dan sekolah mengajak bermain? Apakah kita menyediakan waktu mengobrolkan bagaimana perasaan kita selama pandemi dengan keluarga, serta mendiskusikan alternatif solusinya?
Apakah dunia pendidikan di negara kita sudah berevolusi sedemikan jauhnya sehingga pembelajaran daring yang dilakukan sekolah anak telah mampu menarik minat dan keinginan belajar anak?
Termasuk tanyakanlah kepada diri sendiri ada hal lain apakah yang bisa kita kerjakan dalam merespons situasi yang kurang baik? Dengan mengerjakan hobi yang produktif misalnya. Atau menjadikan momen ini sebagai waktu belajar setelah dipenuhi oleh kesibukan rutin sehari-hari.
Bila belum, jangan kaget bila anak kita yang sedang dilarang bermain game online, membalikkan perkataan. “Aku mo berhenti main game online, kalo Bapak berhenti marathon nonton Netflix ; atau Ibu enggak tiap hari nonton sinetron Ikatan Cinta atau liatin TikTok melulu!”