Ngobrol dari rumah adat ke rumah adat lainnya yang dihuni warga sungguh mengesankan. Banyak cerita kita dapat. Atau ikut warga ke ladang di tepi hutan, memeriksa jerat babi atau burung yang dipasang sore kemarin atau ikut menumbak dan memanah ikan di sungai.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
BUKAN neko-neko atau sekadar unjuk gigi bila warga Matotonan di Siberut Selatan – Pulau Siberut, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat mengundang para profesor doktor dan master ilmu budaya (asal Jakarta, Kendari dan Padang) untuk datang dan tinggal di desa mereka menggelar seminar nadional tradisi lisan, sembari dipertontonkan ragam budaya orang Mentawai
Hari Ulang Tshun ke-42 Desa Matotonan di tangggal 10 Agustus 2022 serta HUT RI ke-77, menjadi momen berharga bagi warga untuk segera Melestarikan Bumi Matotonan Menuju Desa Wisata Adat dan Religi yang Bermartabat dan Berdikari – ungkap Kwpala Desa Matotonan, Ali Umran Saburei S.H.
Keinginan warga desa yang mencakup lima Dusun (Kinikdok, Mabekbek, Maruibaga, Matektek , dan Dusun Ongah) ini didukung oleh Lembaga Kerapatan Adat Mentawsi, tapi juga oleh ATL (Asosiasi Tradisi Lisan) dan BPNB (Badan Pelestari Nilai Budaya) serta Dinas Pariwisata Sumatera Barat. Maka itu digelar Seminar Nasional dan Festival Liat Eeruk (Pesta Rakyat) atau Liat Pulaggajat.
Hadir menyampaikan makalah, yakni Ketua Umum ATL Dr Pudentia MPPS, Ketua ATL Sulawesi Tenggara dan mantan Rektor Universitas Halu Oleo Prof Dr Usman Rianse, Ketua Prodi Tradisi Lisan Universitas Halu Oleo Dr Rahmat Sewa Suraya, Peneliti BRIN Dr Mijizah, Pamong Budaya Ahli Madya BPNB Sumbar Rois Leonard Arios S.Sos, MSi, serta mantan Bupati Kepulauan Mentawsi Dr (Cand) Yudas Sabagalebt M.M.
Seminar Nasional dan Festival Liat Pulaggajat 2022 juga dihadiri wakil pemerintahan kabupaten, yakni Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesehahteraan Masyarakat Nurdin S.Sos, serta Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Mentawai Jonny Anwar hingga materi seminar bisa jadi masukan untuk dibicarakan ke tingkat lebih tinggi dan mewujud dalam kebhinakaan serta program pelestarian budaya Mentawai.
Tak kalah menarik seorang dari 7 orang pemakalah adalah Ali Umran Saburei SH, Kepala Desa Matotonan sekaligus pemangku kepentingan utama yang paling faham kondisi dan peta potensi wisata Desa Matotonan sebagai kandidat Desa Wisata Adat. Didukung segenap warga dan Camat Siberut Sekatan, Seminar dan “pesta kampung” berlangsung semarak, dinamis dan layak diberitakan ke dunia luas.
Ada berjenis turuk lagai (tarian orang desa) dipertunjukkan para sikerei (tabib tradisional Mentawai) laki-laki ataupun perempuan, nyaris di tiap nomor acara budaya yang dipertunjukan.
Tarian-tarian berdurasi pendek dan tampak sederhana hanya bagai orang jingkrak-jingkrakan (meniru gerak laku satwa hutan: monyet, binturong, burung ataupun ayam hutan) tapi mampu bikin dengkul kita tek-klok saat disilakan ikut menari bareng sikerel, hihihi…!
Banyak lagi potensi budaya lokal yang dipertontonkan. Sebut misalnya acara barbeku khas Mentawai yang disebut Masilabok Gou’Gou’ – Saina’ alias memanggang ayam dan celeng, atau kirab budaya oleh masyarakat dalam acara ‘bersih desa’ yang tak cuma diikuti segenam warga, tapi juga jamaah masjid dan gereja dengan busana khas masing-masing, yang diimbuhi hiasan janur dan daun-daun hutan serta tampilan para sikerei pria yang hanya berbusana cawat, memperlihatkan gurat-gurat tatto di sekujur badan.
Matotonan sungguh merupakan destinasi wisata yang menarik, ada ataupun (sedang) tak ada jadwal ritual budaya tahunan. Terdiri dari 5 dusun, desa di kabupaten 3T (terluar, terpencil, tertinggal) Indonesia ini cantik dan unik.
Dusun demi dusun seperti muncul dari balik rumpun sagu terbuka di lingkung hutan ulayat huma dan ladang warga. Aktivitas harian warga merupakan pesona tersendiri bagi siapa pun yang datang bertamu.
Aliran listrik dari depo mini PLN, tiap hari memang cuma menyala 6 jam antara pk 18:00 – 00:00 wib. Jaringan internet juga susah ditangkap, dan hanya sinyal dari provider tertentu yang bisa keluar-masuk ponsek. Tapi nonton TV bareng di rumah tetangga hingga tengah malam, sungguh merupakan hiburan berharga bagi warga, sekaligus mengingatkan saya pada situasoi sama di Jakarta di dekade tahun 70-an.
Tidur tanpa selimut di bilik berlantai papan, membiatkan angin malam menerobos celah bilik, juga gerecik suara air di sungai, nyanyian serangga dan suara ‘saina’ (babi) hutan yang mampir ke kolong rumah panggung.
Dur Subuh aktivitas warga sudah meruap. Anak-anak dan laki-laki muslim berkerudung sarung dan senter datang ke musolah dusun, sementara para ibu menjerang air dan siapkan sarapan pagi bagi keluarga dan tamu. Mi instan goreng pake telor banyak diolah jadi makanan pokok sarapan pagi, selain nasi yang berasnya kudu dibeli di warung atau di pasar kecamatan.
Mamunatotonan kaya bahan sumber karbohidrat lokal yang memikat tamu. Saya suka rebus talas jagung, singkong serta sagu panggang yang dinikmati dengan gula merah plus kopi kawa daun.
Ngobrol dari rumah adat ke rumah adat lainnya yang dihuni warga sungguh mengesankan. Banyak cerita kita dapat. Atau ikut warga ke ladang di tepi hutan, memeriksa jerat babi atau burung yang dipasang sore kemarin atau ikut menumbak dan memanah ikan di sungai.
Sementara di suatu Minggu pagi, seorang teman khusuk du antara jemaat, mendengar wejangan pendeta di sebuah gereja kayu samping masjid.
Matotonan sungguh sejuk dan menyenangkan.
Siapa mau ikut?***
SEIDE 22/08/2022 Pk 22:45 wib.