Eksotika Mentawai (6) “Si Kereai Bukan  Sekadar Tabib Dan Dukun Beranak”

Tak cuma mengobati/membantu masyarakat ke pola hidup lebih sehat, dalam keseharian para Sikerei juga tampil sebagai guru-guru tradisi, tempat masyarakat bertanya banyak hal ihwal kehidupan adat istiadat Mentawai.

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

Seide.id 08/09/2022 – Apa dan siapa orang Mentawai yang sejak berabad silam dicatat para penjelajah sebagai penduduk aseli Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat  Indonesia? Masihkah mereka hidup sebagai peramu di hutan sekitar? Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Pusat, 5-10 Agustus 2023, mencangking saya ke tanah leluhur mereka di ampar utara Samudera Hindia, buat ngobrol dengan para Sikerei.

Sikerei atau Sikere adalah sebuah posisi dalam struktur adat orang Mentawai. Posisi atau jabatan ini diberikan oleh (dan secara) adat kepada seseorang atau beberapa orang  dalam kekerabatan suku Mentawai, khususnya bagi mereka yang berkemampuan sebagai tabib  penyembuh tradisional berbagai penyakit yang diderita masyarakat, dengan jampi-jampi maupun ramuan tumbuhan berkhasiat obat yang ada di alam sekitar.

Sikerei, pria ataupun wanita,  diangkat setelah berusia 40 tahun ke atas. Wanita Sikerei umumnya istri dari Pria Sikerei. Tapi tak semua istri Sikerei didaulat adat jadi Sikerei. Ada juga istri Sikerei yang tak berstatus Wanita Sikerei. Ada tahap ujian dilakukan para pemuka adat untuk memilih seseorang  jadi Sikerei. Satu tugas Wanita Sikerei adalah membantu masyarakat seputar kesehatan persalinan ibu dan anak.

Dunia kian terbuka. Kini banyak warga aseli suku Mentawai menjadi pemeluk agama resmi negara. Di Desa Matotonan Siberut Selatan misalnya, kini umumnya warga adalah pemeluk Islam dan Katholik. Tapi banyak juga warga (dalam rumah keluarga Islam maupun Katholik) yang tetap tampil sebagai sosok adat lama, bahkan penyandang Sikerei dengan berbagai atribut adat dalam penampilan kesehariannya.

Berapa banyak orang Mentawai berpredikat Sikerei? “Belum ada penelitiannya,” ungkap pengusaha dan mantan Bupati Kepulauan Mentawai Dr (Cand.) Yudas Salagalebt, M.M.. Namun, “Di desa ini Sikerei tinggal 43 orang saja, setelah 2 orang Sijerei meninggal tahun lalu,” ungkap Kepala Desa Matotonan Ali Umran Saburei S.H. dalam Seminar Nasional Tradisi Lisan di desa itu tanggal 7 Agustus 2022.

Dua pria Sikerei pulang dari Hutan. (Heryus Saputro Samhudi)

Ada semacam penurunan minat orang muda Mentawai untuk melakoni hidup sebagaimana leluhur mereka. Modernisasi, keberadaan sekolah dan sistem pendidikan membuka peluang lebih luas bagi mereka buat tampil sebagaimana manusia Indonesia masakini lainnya. Namun begitu, adat lama tetap bertahan dan terjaga, antara lain lewat sosok-sosok Sikerei berti’ti (ber-tattoo) ataupun yang tidak berti’ti.

Komunikasi antarSikerei terus terjalin. Ada Sikerei Simarak (senior) dan ada Sikerei Simatak (yunior) yang baru belakangan menyandang predikat adat tersebut. Dalam sistem kekerabatan adat yang kuat dan luwes  mereka saling mengisi peran di masyarakat. Para Simatak belajar dari para Simarak, dan Simarak biasa berbagi atau mendelegasikan tugas adat yang perlu dikuasai para Simatak.

Tak cuma mengobati/membantu masayakat ke pola hidup lebih sehat, dalam keseharian para Sikerei juga tampil sebagai guru-guru tradisi, tempat masyarakat bertanya banyak hal ihwal kehidupan adat istiadat Mentawai. Diminta ataupun tidak, para Sikerei juga tampil sebagai panutan masyarakat, pengayom, di luar ataupun dalam sistem administrasi desa.

Yang menarik, tiap ada hajatan adat ataupun kerjabakti yang digelar perangkat administrasi desa, para Sikerei langsung tampil di barisan depan dan bersamamasyarakat bahu-membahu merampungkan kerja yang ada.

Peran para Sikerei sangat terasa saat Desa Matotonan berulang tahun ke-42 pada 10 Agustus 2022 dan sekaligus merayakan HUT RI ke-77, yang antara lain, menggelar acara budaya Liat Eeruk atau Piat Pulaggajat untuk menjadikan Matotonan sebagai Desa Ekowisata Mandiri.

Sikerei bersama Ketua Umum Asosiasi Tradisi Lisan (ATL), Dr. Pudentia MPPS – foto : Heryus Saputro Samhudi.

Hajat desa tak cuma diisi seminar nasional yang.menghadirkan para pakar tradisi lisan dan pemerhati budaya dari Jakarta, Kendari Sulawesi Tenggara serta Padang Sumatera Barat, tapi juga diisi berbagai ritusl serta pertunjukan budaya khas Mentawai, yang melibatkan segenap warga Matotonan dan para Sikerei di garis depan.

Para Sikerei memang tak sekadar tabib, atau dukun beranak (yang pada prakteknya kini juga meningkatkan diri sebagai bidan, didukung dokter kebidanan di Kecamatan Siberut Delatan. Para Sikerei juga sosok-sosok representatif dari kepercayaan Sambulungan atau Sabulungan dqkqm budaya aseli orang Mentawai yang tetap eksis di tengah perobahan zaman.

Pagi tanggal 8 Agustus 2022, para Sikerei juga ikut berbaris bersama para anak-anak serta jemaat Gereja Katholik Santo Lukas  di Dermaga Pongpong (abak/sampan bermotor) di tepi Sungai Rereiket di Kilometer NOL Desa Matotonan, menyambut kehadiran seorang Pastor dari Keuskupan Sumatera Barat di Kota Padang yang datanf bertamu dan menginap semalam di gereja yang dibangun segenap warga desa.

Pagi harinya, para wanita Sikerei juga ikut tegak berjajar bersama para wanita berkerudung, para muslimah Matotonan, berbaris berjajar dari tepi sungai dan secara saling sambut tangan mengangkat keranjang anyaman daun sagu berisi pasir sungai, mengangkutnya ke halaman musolah dusun. “Pasir untuk memperkeras halaman samping ” ucap Martinus Badir, Ketua Musholah Darul Ulum Matotonan.***

(Bersambung)

9/9/2022 PK 08:54 WIB.

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.