Sikerei bisa disebut sebagai ujung tombak selaligus representasi dari budaya Mentawai. Sebagai tabib dan dukun-beranak (Wanita Sikerei), kehadiran Sikerei.amat strategis dalam mempertahankan keberadaab masyarakat adat Mentawai untuk tetap sehat dan eksis. Sementara berkait berbagai upacara adat, ataupun kerja bareng membangun desa, Sikerei adalah panutan tugas yang selalu berada di gatis depan. Foto : Yang pulang dan menuju huma serta hutan untuk berladang dan meramu.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide.id 27/09/2022 – Matotonan di Siberut Selatan – Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat bisa dibilang sebagai Kampung Sikerei. Terdiri dari Dusun Kinikdog, Mabegbeg, Maruibaga, dan Dusun Ongah, di Matotonan kini hidup 43 orang Sikerei, laki-laki dan perempuan, yang masing-masing punya pertalian darah dengan para warga desa itu, baik keluarga Islam maupun Katholik.
Jumlah warga Sikerei yang ber-KTP Matotonan ini konon merupakan yang terbanyak di Kepulauan Mentawai yang punya 4 pulau besar, yakni: pulau Pagai, Siberut Sikakap, dan Sipora. Maka bukan tanpa alasan bila Matotonan lantas memproklamirkan diri sebagai Desa Ekowisata Mandiri dan Berkelanjutan, karena alam dan keseharian hidup warganya yang relatif utuh sebagai potret umum budaya Mentawai.
Tinggal beberapa hari di Desa Matotonan yang sedang merayakan HUT ke-42 (pada 10 Agustus 2022) serta menyambut HUT ke-77, eksotika Mentawai (sebabaimana saya baca di buku atau simak di film budaya) memang hadir langsung di depan mata. Utuh. Sebuah panggung kehidupan masa lampau yang tetap eksis di masa kini.
Ini bukan cuma karena Matotonan sedang menggelar Seminar Internasional dan Festival Budaya Liat Eeruk/Liat Pulaggajat, hingga berbagai upacara adat sengaja digelar dan dipertontonkan untuk disimak, dibahas, diliput dan disebarluaskan ke berbagai belahan dunia. Sama sekali bukan karena itu. Melainkan karena kehidupan desa dan keseharian warga yang lekat dengan maaa lalu dan adat istiadat para Sikerei.
Kita tahu Sikerei bisa disebut sebagai ujung tombak selaligus representasi dari budaya Mentawai. Sebagai tabib dan dukun-beranak (Wanita Sikerei), kehadiran Sikerei.amat strategis dalam mempertahankan keberadaab masyarakat adat Mentawai untuk tetap sehat dan eksis. Sementara berkait berbagai upacara adat, ataupun kerja bareng membangun desa, Sikerei adalah panutan tugas yang selalu berada di gatis depan.
Tapi upacara adat dan hajat budaya tidak berlangsung tiap hari. Orang sakit ataupun wanita hamil dan hendak melahirlan, juga situasional yang tak terjadi tiap waktu. Lantas apa yang dilskukan Sikerei bila masyarakat tak sedang butuh ramuan obat, atau desa tak sedang punya hajat budaya? Nganggur, termangu dan hanya jafi ikon budaya?
Tidak. Dalam keseharian, Sikerei juga manusia, sama halnya para warga Matotonan lainnya, yang berkewajiban melakoni hidup. Untuk diri sendiri, untuk.keluarga, suami/istri, anak dan menantu serta para cucu, atau kewajiban.mengurus orang tua bagi yang masih punya orang tua, bekerja mengurus rumah , ladang, bersosialisasi dengan tetangga, menangkap.ikan, satwa, atau meramu di hutan.
Sore, 6 Agustus 2022, dari atas pongpong (abak/sampan motor) yang.melaju melawan arus Sungai Rereiket menuju Matotonan, saya untuk pertama kalinya jumpa dengan Sikerei sedang menombak ikan di sungai tersebut. Malamnya, Sikerei yang sama menjadi bagian bagian.penerima tamu undangan di Balai Desa Matotonan. Para Sikerei juga ikut menghidangkan Sagu Panggang dengan Msdu Lebah Hutan buat tamu yang hadir di desanya.
Nyaris sepanjang malam usai acara di Balai Desa saya tidak tidur, karena ingin mendengar sebanyak mungkin kisah para Sikerei ihwal adat hidup di Mentawai. Sikerei umumnya tidak berbahasa Indonesia, hingga Kades Ali Umran Saburei SH dan tokoh muda desa lainnya, tampil jadi penerjemah paparan kisah Sikerei yang disampaikan dalam bahasa Mentawai itu.
Selama di Desa Matotonan, saya bersama Rois Leonard ArIos dari Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Sumatera Barat diinapkan sekamar di lantai atas rumah warga di Dusun Ongah, dimana di situ juga tinggal Lekket Sainak, Sikerei simarak (senior) yang bisa jadi merupakan orang tua dari Ibu pemilik rumah yang sekaligus dijadikan homestay itu.
Sama dengan warga Matotonan lainnya, Sikerei juga punya hak dan kewajiban umum. Subuh, saat saya dan warga muslim sekitar pergi ke musholah di dusun sebelah, Lekket Sainak tampak sedang menggendong seorang cucunya yang masih bayi, menimang-nimangnya di udara bersih dan kabut pagi. Siang sepulang meramu di hutan, Lekket Sainak juga saya temukan sedang mengayun-ayun dan meninabobokan Si Cucu. Bahagia sekali dia.
Aliran listrik di Desa Matotonan, yang berasal dari depomini PLN di ujing desa, menyala tiap hari cuma dari pukul 18:00 s/d 24:00 wib. Ini waktunya bagi warga menikmati sinar lampu bolham (bukan lampu emergency) dan sinar neon, nge-charge ponsel, serta nonton televisi. Mendengar berita dalam dan luar negeri nonton tayangan hiburan khususnya film cerita. Tak cuma anak-anak yang ajeg di depan TV hingga tengah malam, tapi juga Lekket Sainak. *
SEIDE, 27/09/2022 PK 15:58 WIB.