Elegi untuk Intan Olivia

Gemuruh di dada ini serasa ingin meledak, amarah berkecamuk sedemikian dahsyatnya. Namun, kata tercekat di ujung ucap. Tak ada yang bisa terlontar, hati pedih mencabik-cabik jiwa, melihat absurditas yang tak terelakkan. Ya, nurani memang telah mati, hanya amarah dan kebencian membenam sedemikian dahsyatnya. Untuk satu pikiran yang diyakini bahwa itu benar, namun itu hanya kebenaran semu, yang membutakan mata, membangun sejuta harap dalam mimpi-mimpi abstrak dengan meyakini bahwa itu ada, tak ada logika yang rasional, semua pupus dalam laku irasional, bahkan sang skizofrenia pun enggan melakukannya.

Lalu, jika akal, pikiran, dan kebencian sedemikian dahsyatnya menyayat kalbu, adakah rasa manusiawi yang tampak di sana? Entahlah, elegi ini mungkin sudah terlambat untuk diucapkan, karena yang mati tak akan kembali lagi. Namun, hanya ini yang bisa terucap, dalam sepi dan larungnya air mata luka, Intan Oliva, gadis kecil nan cantik dengan mata bening, dia seolah berkata, apakah salahku…?

Ketika jerit bergema dan tangis bergaung di cakrawala, di situ padunya geraham menjadi pertanda bahwa manusia lebih ganas daripada hewan, bahkan hewan pun memiliki naluri yang lebih baik daripada manusia. Napsu dan benci menghilangkan rasa cinta yang telah diberikan dia sejak terbentuk dari rahim ibunya. Dalam hal ini, apa yang diucapkan Albert Camus benar, bahwa dengan nilai apa kita bisa bertahan di dalam era kekeringan spiritual? Apakah dengan menyingkap ilusi-ilusi dan mempertanyakan semua kemutlakan atas nama kemanusiaan? Cinta akan tumbuh dalam situasi yang hidup. Dan yang terjadi sekarang ini, apakah cinta itu tumbuh bersama radikalisme? Lalu menjadikannya sebuah paham yang menghalalkan segala cara? Dalam The Myth of Sysyphus, Camus menggali implikasi dari bunuh diri, yaitu bunuh diri untuk hidup atau untuk tidak hidup. Pertanyaan ini jika dikaitkan dengan bom molotov yang dilemparkan ke gereja Oikumene HKBP di Samarinda beberapa waktu yang lalu, memuculkan satu pertanyaan, apakah dia sang eksekutor melakukannya untuk tidak hidup? Pertanyaan itu barangkali hanya dia yang bisa menjawabnya.

Cara-cara pemberontakan telah berubah secara radikal di masa kini. Pemberontakan tidak lagi antara tuan dengan budaknya, bukan pula antara si kaya dengan si miskin, namun pemberontakan telah terjadi antara manusia dengan situasi hidupnya sendiri, manusia melawan penciptaannya sendiri. Lalu siapakah pemberontak itu? Semua kembali ke diri sendiri, bisa saja dia adalah seseorang yang berkata “tidak”, tapi penolakan itu mulai berkecamuk di hatinya, bisa juga berkata “iya” di mana sejak pertama kali ia bergerak untuk memberontak. Baik itu pemberontakan terhadap segala sesuatu yang sifatnya mainstream atau pun ketidakadilan yang diyakininya telah menyalahi aturan umum yang terjadi di masyarakat. Seorang pemberontak (dalam hal ini teroris), dalam hal apa pun (baik itu agama), adalah budak yang telah melakukan perintah tuannya seumur hidupnya. Dan, dia menjadi begitu liar setelah menerima pencucian otak berdasarkan kacamata kuda, yang menyatakan bahwa apa yang dia lakukan adalah benar, tak peduli korbannya kanak-kanak atau manusia dewasa.

Menjadi seorang teroris adalah pilihan, bisa saja pilihan itu dipilih setelah melalui beragam kekecewaan demi kekecewaan yang bersumber dari beragam hal, khususnya ketimpangan ekonomi dan lahan kerja yang minim, juga SDM yang tidak memadai, sehingga semakin majunya zaman, manusia-manusia yang tidak memiliki SDM akan tersingkir dari peradaban, mereka inilah yang rentan terhadap kecemburuan sosial parah, sehingga dengan jalan agama, mereka menjadi eksekutor-eksekutor ganas untuk mengusai segalanya, termasuk menguasai manusia atas manusia, mereka juga tanpa sadar atau sadar, menjadi bagian dari perbudakan si kaya yang berkecimpung di berbagai bidang, dalam hal ini politik. Saat seseorang memberontak, ia mengidentifikasi dirinya dengan orang lain, dan karena itu ia melampaui dirinya sendiri. Cara bertindak dan cara berpikir yang memperlihatkan bagaimana sesungguhnya manusia, akan terlihat dalam level yang lebih membumi, tersamarkan. Karena setiap perilaku dari kisah bom molotov Samarinda yang menewaskan seorang gadis kecil bernama Intan Olivia itu, merupakan sikap absurd dari sebuah kemutlakan yang telah diindoktrinasi secara simultan dan mutlak. Dan, ketika sang anak tewas terbakar, bisa saja tak ada rasa sesal di hati sang pelaku. Sebab, kemutlakan atas sebuah perilaku telah menjadi semacam “pekerjaan” yang harus diselesaikan dengan tuntas setuntas-tuntasnya, dan agama menjadi kendaraan terjitu untuk melaksanakannya. Sedangkan dalam kehidupan nyata, agama bukanlah alat, dia menjadi sarana untuk meluruskan jalan hidup manusia ke arah yang lebih baik lagi. Dan, politik bukanlah agama, dia bisa menjadi inkuisisi bila itu dilakukan dengan jalan untuk mencapai suatu tujuan, dengan beragam konspirasi yang ada di dalamnya.

Intan Olivia adalah potret dari sejarah ketidakpuasan terhadap keadaan yang berlangsung dari masa ke masa. Siapa pun yang melakukannya, itu akan terjadi jika penanganan terhadap mereka tidak dimusnahkan ke akar-akarnya. Ada sebuah kejahatan yang terakumulasi karena keinginan manusia untuk bersatu, namun ada pula kejahatan lain yang berakar dari gerakan yang tidak dapat ditebak. Berhadapan dengan kejahatan, kematian manusia dan terorisme, manusia harus bekerja tanpa henti untuk mencari dan mencari metodologi yang tepat agar perdamaian tercipta di dunia ini. Cinta akan kehidupan dan sesama menjadi landasan untuk menciptakan pribadi yang kuat, tidak goyah oleh beragam rayuan termasuk ‘pencucian otak’ dengan dalih agama. Karena dalam keadaan apa pun, manusia diciptakan Tuhan untuk saling mengasihi dan saling tolong-menolong. Apa yang dikatakan Freud bahwa seseorang tidak ‘jatuh cinta’ dengan begitu saja terhadap sesuatu hal, namun tumbuh di dalam cinta itu sendiri, ini menyiratkan bahwa, jika cinta telah mengakar di dalam diri seseorang, maka ia memiliki beragam elemen kemanusiaan yang selalu menuntunnya untuk melakukan hal-hal baik selama hidupnya. Tapi jika cinta itu musnah, maka dia akan menjadi seorang ‘monster’ yang selalu dipenuhi dengan rasa benci dan benci…

Intan Olivia menjadi korban lagi dari rasa benci yang tak jelas sasaran, ia kembali menjadi martir dari satu ideologi panjang dalam tatanan kehidupan manusia. Elegi sunyi penuh rasa pedih dan perih ini kupersembahkan padanya :

Oooo Nak…
Ketika canda dan tawa terdengar
Kau tiba-tiba saja terjungkal dalam jerit yang menyayat
Tentu tak pernah terpikirkan kalau rasa sakit itu menerjangmu
Menderamu
Dan, kau pergi dengan lukat yang tak terperi
Oooo Nak…
Hanya tiga tahun kau ada di dunia ini
Dunia dengan beragam isi
Dengan beragam derita
Dengan beragam kejahatan
Ooo Nak…Intan Olivia nan cantik…
Tangisku menggiring perjalananmu
Kau tak pernah kembali
Ya, kau tak pernah kembali.

Jurnalisme Sastrawi

Avatar photo

About Fanny J. Poyk

Nama Lengkap Fanny Jonathan Poyk. Lahir di Bima, lulusan IISP Jakarta jurusan Jurnalis, Jurnalis di Fanasi, Penulis cerita anak-anak, remaja dan dewasa sejak 1977. Cerpennya dimuat di berbagai media massa di ASEAN serta memberi pelatihan menulis