Seide.id – Hampir semua sungai di Indonesia, terutama yang melewati kota-kota besar atau Kota Kabupaten yang padat, selalu dicemari oleh sampah. Masyarakat kerap menjadikan sungai sebagai bak sampah terbesar yang bisa menelan sampah yang dibuangnya.
Bagi masyarakat, membuang sampah adalah tindakan paling mudah dan murah. Sampah yang dibuang ke sungai akan mengalir ke hilir, tidak dilihat lagi.
Masyarakat pembuang sampah tidak pernah menyadari bahwa orang-orang di hulu juga melakukan hal yang sama: membuang sampah ke sungai. Sampah yang dibuang ke hulu terus bergerak, akhirnya sampai juga ke sungai yang dekat dengan masyarakat perkotaan pembuang sampah.
Di hilir, sampah tidak lagi bisa bergerak. Kalau muaranya ke laut, maka sampah itu akan masuk ke laut. Tetapi sampah-sampah akan mengendap di dasar laut yang tidak jauh dari pantai. Lalu menumpuk dan tumpukannya makin tinggi ke hulu.
Sungai yang terlalu sesak akhirnya tidak bisa menampung air, sehingga terjadi banjir di saat musim hujan. Sungai yang dipenuhi sampah juga akan kotor dan berbau. Banyak hewan-hewan penghuni sungai yang dulu dengan mudah ditemui, akhirnya menghilang atau mungkin juga punah, akibat sungai terlalu kotor dan beracun.
“Masalah terbesar dalam pencemaran sungai adalah sampah. Mandat UU sampah itu sendiri ada di tangan Pemda. tidak bisa diserahkan kepada pemerintah pusat. Yang saya harapkan Pak Jokowi membuat Perpres yang bisa menghukum Pemda apabila tidak bisa melaksanakan UU itu. Apakah dicabut DAKnya (Dana Alokasi Khusus) hukuman administratif ada. Boleh dicabut atau dikurangi DAUnya (Dana Alokasi Umum). Atau apalah. Ini kongkrit. Karena pemerintah daerah yang tidak mampu, dan tidak mau atau tidak peduli dengan sampah, maka lingkungan menjadi rusak!” tandas aktivis lingkungan Emmy Hafild, ketika kami temui di rumahnya.
Saya bersama rekan Yoseph “Cocomeo” Erwiyantoro dan Teguh Imam Suryadi menemui Emmy Hafild di rumahnya yang apik di Kawasan Bintaro, pertengahan Agustus tahun 2019 lalu. Kedatangan kami adalah ingin mewawancarai beliau untuk pembuatan buku “Jokowi Di Mata Perempuan”. Karena berbagai kendala, buku yang sudah rampung soft copynya itu, belum bisa dicetak sampai saat ini.
Emmy yang kami temui saat itu penampilannya sudah berubah jauh dibandingkan ketika dia masih menjabat Direktur Eksekutif di Wahli tahun 1996 – 1999. Rambutnya telah memutih dan badannya agak melar. Usia selalu merubah bentuk tubuh maupun raut seseorang.
Namun tak ada yang berubah dalam jiwa dan semangat Emmy Hafild, meski pun bicaranya tidak lagi menggebu-gebu, tetapi esensinya tetap sama. Ia masih tetap peduli dengan lingkungan, dan mengecam pihak-pihak yang merusak lingkungan, terutama terhadap pencemar sungai.
“Lingkungan hidup kita sudah sangat buruk. Kita krisis air dalam jumlah dan kualitas. Sungai-sungai di Jawa, umumnya kotor. Air sungai Jakarta aja ngambilnya dari Citarum dan Ciliwung yang kotor bangat. Itu harusnya tidak bisa untuk air PDAM. Sungai-sungai di Indonesia kebanyakan air di musim hujan, dan pada musim kering kekeringan!” katanya.
Emmy menilai di bawah pemerintah Presiden Jokowi penanganan masalah lingkungan, mulai dari sungai maupun kebakaran hutan, sudah lebih baik. Tetapi persoalannya semua tidak bisa cepat seperti membalikkan tangan.
“Saya kira dia berusaha tegas. Jokowi itu kan orangnya fokus. Dia mau tangable/ yang bisa dilihat. Yang paling tegas adalah soal kebakaran hutan. Dia minta agar dihentikan apapun caranya. Kemudian Citarum, dia berusaha untuk membersihkan. Tapi itu kan complicated. Tidak gampang diselesaikan karena berhubungan dengan manusia dan pengusaha yang tidak menghargai air sungai. Jadi hasilnya memang belum sesuai dengan yang diinginkan,” papar Emmy.
Meskipun pencemaran sungai dan kebakaran lahan masih ada, menurutnya, bukan berarti penanganan lingkungan hidup tidak berhasil. Buktinya kebakaran lahan dan kabut asap sudah berkurang. Titik yang ada udah cepat dimatikan. Penegakkan hukum juga sudah dilakukan.
“Tetapi, sekali lagi, menurutnya memang tidak bisa cepat-cepat. Semua harus sabar, begitu pula Pak jokowi juga harus sabar,” katanya.
Satu hal yang menurutnnya baik di masa Jokowi, adalah moratorium pembukaan lahan gambut.Tidak ada lagi pembukaan lahan gambut, sehingga tidak ada lagi kebakaran.
Dalam penanganan lingkungan, menurut Emmy, pemerintah daerah juga harus lebih perduli. Sekarang itu pemerintah daerah tidak mendapatkan sanksi jika kalau tidak melaksanakan. Misalnya Pemda Bogor tidak mengatur Ciliwung, tidak ada hukumannya. Padahal hulunya Ciliwung menjadi tanggungjawab Pemda bogor.
Emmy berharap pemerintah membentuk Kementerian Sumber Daya Alam (SDA), agar semua yang berhubungan dengan alam seperti kelautan, kehutanan dan lingkungan hidup berada di bawah SDA. Semua berhubungan dengan SDA.
“Dulu ada Bappedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan), itu polisinya. Di jaman Megawati, Ketuanya Nabiel Makarim, dibubarin. Sekarang di bawah Dirjen Penegakan Hukum. Itu kesalahan besar. Sebetulnya Bapedal itu harus ada, harus berdiri sendiri. Langsung di bawah presiden!” kata Emmy.
Presiden Jokowi sendiri menurutnya tidak mau ada badan-badan atau dewan-dewan baru. Tetapi ironisnya tapi dia bentuk lagi badan baru, dewan baru, seperti Bekraf Badan PIP dan sebagainya.
Emmy mengaku lebih dari sepuluh kali ketemu Pak Jokowi. Dia senang dengan Jokowi yang humoris, suka tertawa terpingkal-pingkal hingga badannya bergerak-gerak. Emmy menilai Jokowi orang yang apa adanya, jujur dan polos.
Dia melihat Jokowi adalah orang yang sangat serius. Cuma karena terlalu banyak yang diurus olehnya, kadang apa yang diiyakan pelaksanaannya kurang. Emmy paham bahwa tidak semua isyu yang ditangani dari orang yang bertemu dengannya.
“Kan yang ditemui banyak orang. Yang nyantel di kepalanya yang hebat-hebatlah!” kata Emmy.
Jokowi dinilainya sudah cukup bagus. Banyak program-programnya yang bisa dinikmati oleh rakyat. Antara lain Dana Desa. Dengan dana desa ada 73 ribu desa dan yang pada saat bersamaan bisa membangun.
“Kecerdasan dia untuk ngasih itu sehingga kalau setiap tahun satu kilometer jalan desa dibangun, berarti setiap setahun 36 ribu kilo jalan desa. Di Flores, kalau jalan desa bagus, mereka lalu bisa bikin penampungan air hujan. Dua rumah dapat satu tendon. Saya harap ke depannya Pak Jokowi membangun industri pedesaan, supaya petani dapat mengolah hasil panen mereka, dan mendapatkan nilai tambah yang cukup besar,” kata Emmy kelahiran Pertumbukan, Sumatera Utara, 3 April 1958 itu.
Sejak muda, Nurul Almy Hafild, nama lengkapnya, dikenal sebagai aktivis lingkungan yang vokal. Sikap itu tumbuh karena sejak kecil ia menyaksikan ketidakadilan. Ayahnya dipenjara ketika ia SMP. Saat SMA ia dan keluarganya pindah ke Jakarta, lalu kuliah di Jurusan Agronomi Institut Pertanian Bogor (IPB). Di kampus inilah dia menjadi aktivis penentang Orde Baru.
Lulus dari IPB tahun 1982, bergabung dengan Yayasan Indonesia Hijau. Ia meraih gelar Master Bidang Lingkungan dari Winconsin University, Amerika (1994) lalu tahun 1998 bergabung dengan WAHLI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia), dan aktif di Greenpeace Asia Tenggara hingga menjabat sebagai Direktur Eksekutif di Asia Tenggara (2015). Tahun 1999 oleh Majalah Time dia diganjar penghargaan The Hero of the Planet karena kritiknya terhadap penambangan Freeport di Irian Jaya.
Selama bertahun-tahun ia dikenal sebagai aktivis lingkungan yang vokal. Sampai menjelang akhir khayatnya, Ketua Bidang Maritim Partai Nasem ini kembali menekuni dunia petanian sesuai disiplin ilmu yang dikuasainya. Perhatiannya terhadap lingkungan masih tinggi, tetutama terhadap sungai-sungai yang sudah tercemar sedemikian parah. Khususnya Sungai Citarum di Jawa Barat.
Sabtu malam (3/7/2021), pukul 21.17 Emmy Hafild pergi meninggal dunia yang dicintainya, setelah dirawat di rumah sakit. hw