Endi Aras atau Endi Agus Riyono A.S. (63 tahun) yang belakangan ini populer sebagai Bapak Dolanan Anak Indonesia, wafat pagi kemarin (25/06/2021) kitaran pukul 09 pagi di RS Fatmawati Jakarta Selatan, usai menjalani operasi ke-2 beberapa penyakit yang dideritanya.
“Mulai Maret lalu, Endi sudah mulai sakit-sakitan. Dari diabetes lalu bertambah batu ginjal, prostat dan darah tinggi. Seminggu sekali berobat jalan. Selain ke dokter juga ke pengbatan alternatif,” ungkap Sugeng Setyo atau Mas Soegeng (69 tahun), kakak sulung Endi Aras.
“Dia lahir tahun 1958, adik saya nomor tiga. Di atas Endi dan di bawah saya, masih ada 2 saudara kami, keduanya laki-laki,” lanjut Mas Soegeng di makam Endi Aras di TPU Pondok Petir, Bojongsari, Depok, Jawa Barat yang berbatasan dengan Kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, Banten.
Di samping pusara Endi yang masih basah, di antara para jurnalis Ibukota sahabat Endi (antara lain Herman Wijaya, Rosihan Kailinto Nurdin, Dimas Supriyanto Martosuwito, Teguh…adiknya almarhum Fajar Budiman, dan Jodhi Judono), kenangan melompat jauh ke tahun 1985 ketika saya bekerja di Majalah Berita Bergambar (MBB) X-Tra yang merupakan ‘adik’ dari majalah femina selain majalah gadis dan ayahbunda.
Pemred X-Tra, Hiang Marahimin, menugaskan saya ke Salatiga untuk ketemu Bang Arief Budiman (sekalian say hello ke Mbak Leyla Budiman, istri Bang Arief, pengasuh rubrik psikologi di femina), dan menyelisik fakta dibalik demo yang dimotori sekelompok mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana berkait ‘pembelaan’ mereka atas diri seorang wanita yang terancam hukuman berat karena terbukti membunuh suaminya.
Endi Aras, aktivis dan lulusan UKSW, disebut teman-temannya para pedemo sebagai yang paling ‘dekat’ dengan Arief Budiman. Dengan senang hati saya nyemplak di boncengan sepedamotor Endi, dan mempertemukan saya dengan Bang Arief Budiman (dan Mbak Leyla) di rumahnya yang berbentuk panggung di pelosok entah di kota kecil Salatiga, Jawa Tengah. Ngobrol Panjang lebar, bahkan kami nginep semalam di situ.
Saat sama nginep di rumah Bang Arief dan Mbak Layla, kami bakutukar cerita. Terbetik antara lain keinginan Endi untuk hijrah dan cari penghidupan di Jakarta. “Saya punya abang, kebetulan juga wartawan, mungkin Mas Heryus kenal…namanya Sugeng Setyo,” ungkap Endi. Tentu saja saya kenal Sugeng Setyo atau Mas Soegeng, Redaktur Pelaksana Majalah Film, teman senasib saat-saat kami amprok meliput film.
Satu hal yang juga jadi obsesi Endi Aras adalah, “Bagaimana ya, caranya saya bisa ketemu Iwan Fals? Mas Heryus ada ‘jalur’ ke Iwan?” tanyanya, penuh harap. Saya tak dekat dengan Iwan Fals yang saat itu mulai kondang sebagai penyanyi balada yang lagu-lagunya penuh muatan protes ataupun problematika sosial, semisal Umar Bakri dan Galang Rambu Anarkhi, Anakku, meninggalkan episode cinta semisal Buku Harian yang berkisah ihwal pacar pertamanya di SMA, ha…ha…ha…!
Tapi Iwan sering datang ke Gelanggang Remaja Jakarta Selatan – Bulungan, tempat dimana saya mangkal dan belajar sejak remaja. Iwan datang khususnya untuk ketemu aktivis bulungan dari Kelompok Pemusik Jalanan (KPJ) yang antara lain dimotori Anto Baret, Athok K’Lobot dan Yoyik Lembayung. “Dik Endi datang saja ke Bulungan. Insya Allah akan bisa ketemu Iwan Fals. Kebetulan kami akan ada pentas musik…”
Siapa mengira, selang sehari saya meninggalkan Salatiga dan balik ke Jakarta, ucluk-ucluk Enda Eras nongol di teras auditorium Gelanggang Bulungan. Sore yang amat ramai oleh aktivitas kelompok remaja hendak berlatih volley dan bola basket, berlatih Tae Kwondo, berlatih drama, melukis di ruang terbuka, berlatih menari, para siswa kursus vocal pimpinan Pranajaya, dan lain sebagainya.
Tapi Iwan Fals tak sedang punya ‘jadwal mampir’ ke Bulungan, ha…ha…ha…! Padahal itu sasaran utama Endi Aras. Karena itu, saya perkenalkan Endi kepada Yoyik Lembayung, yang bersama Anto Baret menggagas dan membangun KPJ, sekaligus yunior saya. Kami sempat ngobrol bertiga sambil menikmati mie pangsit Si Man di trotoar Jalan Bulungan, sebelum kemudian saya pamit karena harus menjemput Resti.
Resti istri saya berkantur di Gedeng Secretariat ASEAN, sepelemparan batu dari Bulungan. Nyaris tiap sore selepas jam kantor, bila tak sedang ada liputan malam, saya biasa sempatkan mampir ke Bulungan sebelum menjemput Resti. Juga saat majalah X-Tra (sengaja) ditutup dan saya dialihtugaskan ke femina, majalah dimana saya biasa menjadi stringer (penulis lepas) artikel sebelum jdi wartawan ke X-Tra.
Kepada Yoyik, saya titip agar bisa mempertemukan Endi kepada Iwan. “Insya Allah, Mas…,” angguk Yoyik bikin hati saya ‘plong’. Saya tak tahu bagaimana cara Yoyik mewujudkan obsesi Endi buat ketemu Iwan. Tapi sejak itu rasanya, dari jauh… saya dengar bahwa Endi tak sekadar jumpa idolanya, bahkan kemudian Endi menjadi bagian dari lingkaran dalam dari sedikit teman dekat dengan Iwan Fals.
Terlebih saat kemudian Endi ikutan jadi wartawan musik. Ikut jadi seksi sibuk saat Iwan (Sawung Jabo, Nanil Yaqien, Nanoe, Inisisri, dan Jocky Surjoprajogo membentuk grup Swami. Endi juga menjadi bagian dari kru inti saat grup Swami metamorpose menjadi Kantata Takwa, dengan tambahan Totok Thewel, WS Rendra dan pengusaha Setiawan Djodi di dalamnya. ***