Berbuat kebaikan di media sosial, tidak harus membuat viral sesuatu yang tidak perlu diviralkan.
“Nanti kalau aku bantu Mama, aku bakal dikasi apa?”
Atau,
“Yuk, yuk kita bereskan mainannya dulu. Pas keluar ditraktir Mi*ue, deh!”
Di sisi lain.
Netizen diramaikan dua orang WNA yang membuat konten adegan bersih-bersih pantai, yang diasumsikan untuk menuai like, reach dan engagement. Mungkin mereka saja yang sial, karena ketahuan. Padahal, jangan-jangan banyak juga yang berlaku sama. (hanya tak terungkap)
°
Tanpa kita sadari, dalam beberapa tahun belakangan telah terjadi tsunami konten yang memperlihatkan banyak hal. Mulai dari barang branded yang dimiliki, acara traveling ke tempat instagramik, maupun gaya hidup atau perilaku tertentu. Walau kita bisa memilih apa yang akan lewat di lini masa, pasti terselip juga satu dua terkait jelajah kita di mesin pencarian.
Tak usah menampik, ‘ah saya tak terpengaruh isi media sosial kayak apa?’ Karena, kenyataannya banyak hal saat ini yang bukan dicari di perpustakaan, atau dalam buku dan media cetak; melainkan lewat akun media sosial. Bahkan sumber berita beberapa media online saat ini malah dari media sosial.
Lalu, apa hubungannya dengan sikap pamrih yang saya contohkan di awal.
Berharap banyak akan sambutan pada konten adalah tujuan akhir digital marketing. Dimulai dari mengemas ide, membuat setting, plus akhirnya menjual atau memasarkanya.
Nah, konten kebaikan yang (mungkin) kita posting, terimbas hal digital marketing juga. Meski kita bisa lantang bilang, ‘kita membuatnya untuk raising awareness, agar orang peduli dan mau melakukan sesuatu’. Sayangnya viralnya konten yang sesungguhnya murni untuk hal-hal baik, diikuti banyak pembuat konten settingan yang melihatnya sebagai potensi jualan.
Bila demikian, tak keliru saya utarakan konten-konten ‘tiruan’ dan ‘tak tulus’ itu jelas mengharapkan pamrih, dengan tujuan banyaknya like, follower atau subscriber. Apalagi bila konten tersebut memang settingan. Mengapa?
Apabila kita terbiasa berbuat kebaikan, tak terpikir hal tersebut untuk diketahui banyak orang, karena hal itu adalah kewajaran sebagai seorang manusia dengan hati nurani dan kemanusiaannya. Istilah kekinian sekarang, memilih jadi pejalan sunyi (untuk melakukan hal-hal baik).
Saya yakin, semua agama pun mengajarkan demikian. Sampai ada quote terkini yang bilang, kalau tak bisa berbuat banyak, minimal kita berbuat baik.
Mengapa jadi minimal ya? Apakah kebaikan hati manusia saat ini sudah mencapai titik minimal?
Pamrih dalam Proses Pengasuhan
Bersikap pamrih dalam proses pengasuhan, menurut Dr. Laura Markham, Ph.D, penulis buku Peaceful Parent, Happy Kids, digambarkan sebagai upaya dan siasat menyogok anak dan strategi semacam itu umum dilakukan orang tua yang sudah merasa putus asa untuk membujuk anaknya.
Hal ini umum terjadi karena orang tua ingin anak sesegera mungkin melakukan apa yang diminta, selekas menawarkan sesuatu sebagai upah. Memang anak segera beraksi. Tapi cara ini membuatnya tidak belajar untuk bertingkah laku yang berkesadaran. Anak menjadi merasa menang atas sesuatu yang tidak seharusnya.
Saya jadi ingat bagaimana momen mengiming-imingi anak saya. Awalnya mungkin penawaran saya masih kecil, tetapi lama kelamaan mau tak mau yang ditawarkan kian besar.
Tawaran ‘hadiah’ di tengah-tengah anak berkelakuan buruk atau tidak sesuai keinginan kita, akan mengajarkannya bahwa sebagai orang tua, kita akan memberikan sesuatu yang menyenangkan, bahkan saat ia berkelakuan buruk atau tak diinginkan.
Bila hal ini berlarut menjadi kebiasaan atau dianggap anak senjata untuk dituruti, anak malah menempatkan diri pada posisi kuat untuk ‘menagih’ sogokannya.
Dalam jangka panjang tindakan orang tua ini bisa membuat anak tak mampu membangun motivasi dari dalam dirinya sendiri, serta tidak belajar berempati dan menolong orang lain tanpa pamrih.
“Rasa pamrih muncul ketika nilai untuk menang dan nilai prestasi menjadi lebih penting dan utama dibanding nilai persaudaraan, rasa kasih sayang, dan sikap sebagai manusia,” jelas Psikolog, Kantiana Taslim dalam tulisannya di laman Republika lima tahun yang lalu.
Namun, apakah hanya anak-anak saja yang terbiasa bersikap pamrih, suka dengan iming-iming? Padahal bagaimanapun anak-anak belajar dari orang tua atau orang dewasa, dengan kata lain orang tualah yang dilihat sebagai role model.
Faktanya memang ada saja orang tua yang bersikap pamrih. Pernyataan berharap anak sebagai investasi adalah salah satunya, mengharapkan balasan atas segala tindakan yang telah dilakukan sepanjang mengasuh didik anaknya.
Perkataan, “Saya sudah menjual segala yang saya miliki untuk kamu bersekolah dan hidup baik, tapi kamu bersikap apa?” bukankah ada saja di sekitar kita. Tentu saja, pamrih yang diharapkan nantinya berbeda-beda, tergantung status sosial, ekonomi, dan tidak lupa seberapa relijius orang tuanya. Ada yang berharap akan dilayani semasa tua, dibelikan harta benda, menjadi ladang ibadah, dll.
Harapan Orang Tua vs Media Sosial
Sebuah studi dari mahasiswa dengan kondisi memenuhi harapan orang tua, memang membuktikan para mahasiswa tersebut bisa memenuhi harapan orang tua. Namun, hubungan orang tua dan anak sebagai konsekuensinya berakhir dalam kondisi yang baik.
Seiring proses mendewasa, mahasiswa ini ada yang begitu kehilangan kepercayaan diri karena seperti individu yang terlalu patuh pada orang tua, dan membuka peluang mereka menjadi korban perundungan.
Lebih lanjut lagi, ada beberapa penelitian dengan sampel ibu yang anaknya merasa hanya dicintai ketika bisa menuruti harapan orang tua. Yang merasa keinginannya dipenuhi bila patuh akan ekspektasi orang tua. Beberapa responden menunjukkan hasil, ketika mereka telah menjadi orang dewasa, memiliki perasaan tak berharga sebagai anak dan manusia.
Lalu, bagaimana dengan situasi sekarang. Seperti gempuran konten settingan di media sosial seperti yang saya katakan. Tentu hal ini menjadi tantangan besar lagi.
Pada laman Inc.com, Dave Kerpen, salah satu penggagasnya mengemukakan tak selalu harus membuat konten settingan tentang kebaikan untuk menunjukkan kebaikan. Dia memberikan tips, yang mungkin berguna bagi kita sebagai orang tua untuk mendiskusikannya dengan anak-anak. Bahwa tak melulu perbuatan baik kita perlu dan harus dinilai.
Berikut beberapa hal yang Dave sarankan.
1. Menunjukkan rasa syukur atau pujian kepada orang, postingan atau akun yang membuat kita terinspirasi, tercerahkan, teringat akan hal-hal mulia
Tunjukkan dengan memberi reaksi atau komentar kepada orang atau akun, tanpa berharap kita dipuji atau di follow back.
2. Tanpa diminta atau tendensi kepentingan, berbagi atau meneruskan berita atau postingan yang menginspirasi, disertai komentar baik bagaimana hal itu menggerakkan hati kita. Tentu kita pun sudah menyaring mana yang settingan, mana yang genuine.
3. Tinggalkan review dan berikan pujian pada akun jualan pengusaha kecil, yang menurut kita layak dipromosikan. Toh, hal itu tak membuat kita mengeluarkan uang juga. Upaya kita walaupun kecil, sudah membuat hari mereka menjadi menyenangkan dan merupakan hal baik untuk sarana promosi.
Sebagai akhir, saya ingin menambahkan. Berbuat kebaikan di media sosial bisa dengan tidak sedikit-sedikit memviralkan apa yang tidak perlu diviralkan. Dengan tidak serta-merta mengungkap keburukan sebuah akun, produk atau kelakuan seseorang. Bila kita ingin mengkritik, kritiklah secara santun dan melalui jalur personal.
Kebencian pribadi, ketidaksukaan personal, atau malah tak ada keterkaitan sama sekali; tidaklah tepat bila diselesaikan dengan penghakiman secara massal. Bukankah, sebagai manusia kita pun mungkin pernah membuat kekeliruan, punya kekurangan dan tentu tidak ingin dihakimi orang yang tak terkait dengan kita sama sekali?
Atau, memang kini kebaikan hanya ilusi, hingga ada caption, masih ada orang baik?
Kasusnya Viral, Psikolog: Venna Cari Simpati Nyaleg?
Aplikasi Kecantikan di Medsos Bikin Penggunanya Mengalami Gangguan Psikologis