Erwin Gutawa

Apakah manusia menyadari bahwa ada atau tidak ‘rasa’ kesenian yg mengalir dalam darahnya? Atau manusia hanya menjalani, menggelinding begitu saja?


Seide.id – Seniman, biasanya tertarik kepada paling sedikit kepada 2 bidang seni. Malah ada juga yang tertarik lebih daripada 2 bidang seni. Bahkan ada seniman yang menekuni beberapa bidang kesenian sekaligus, dan semuanya melahirkan karya hebat. Ada yang simultan, artinya dalam satu rentang usia tertentu, sudah bisa membuat dan menghasilkan beberapa karya yang menjadi hit dalam beberapa bidang kesenian berbeda. Ada juga seniman yang melahirkan karya yang baik di beberapa bidang, sesuai dengan bertambah umurnya, disadari atau tidak.

Bagaimana dengan seniman dunia (biasanya diwakili oleh seni peran dan musisi) yang menciptakan karya-karya masterpiece, hit kelas global, nasional atau lokal, melahirkan karya hebat, tapi justru ‘melenceng’ atau sama-sekali tak berhubungan dengan latar belakang pendidikannya?

Boleh jadi latar belakang pendidikan itu dijalani sekadar ‘menuruti’ keinginan fihak yang membiayai (dlm hal ini orangtua). Atau, mungkin memang menekuni suatu bidang atas keinginan sendiri, tapi, bidang ‘yang lain’ tetap ditekuni secara non-formal. Malah tak jarang, ‘bidang lain’ yang ditekuni secara non formal itu, kelak justru menjadi jalan hidup sang seniman. Bahkan tak jarang sang seniman sendiri ‘lupa’ dengan latar belakang pendidikannya.

Banyak, contoh seperti itu, terjadi di dunia. Tentu, itu bukan sesuatu yang negatif.

Tak terkecuali Indonesia. Contohnya banyak sekali. Dalam yang banyak itu, aku contohkan bbrp saja yang spontan terlintas dalam benak. Ada kang Syamsudin yang lebih dikenal sebagai Syam Bimbo. Kang Syam yang suaranya empuk, ngelangut (tak berat seperti adiknya: Acil), adalah ‘pentolan’ band Bimbo, band balada legenda indonesia yang berlatar belakang senirupa. Baru ketika di usia agak tua dia ‘kembali’ menekuni senirupa.

Ada Jay Soebiakto. Dia lebih dikenal sebagai penata panggung. Dia dikenal sangat berbakat dalam tata panggung. Banyak sekali artis atau musisi papan atas Indonesia yang memintanya untuk menata panggung konser. Salah-satu masterpiece-nya adalah ketika dia menata ‘konser’ di mana di atas panggung akan muncul (waktu itu) calon presiden Joko Widodo.

Jay Soebiakto yang biasa disapa Bajay oleh teman-teman dekatnya, mengaku tak dibayar untuk itu. “Karena saya dan saya kira juga sebagian besar orang Indonesia berharap orang baik seperti inilah yang kita butuhkan. Yang dibutuhkan oleh negara ini”. Waktu itu panggung yang dibuat di GBK dan dihadiri oleh lebih dari 100.000 orang (kapasitas tempat duduk GBK adalah 100.000), memang menjadi panggung yang megah dan menggetarkan. Konon pula dengan berdebar-debar Jay menyaksikan kemegahan itu dari suatu ketinggian di salah-satu tiang besi panggung yang ditatanya.

Nah, yang ke-3 ini adalah seniman multitalenta lain yang aku istilahkan “jembatan musisi jadul dan modern, pertunjukan Indonesia”.

Dalam dunia hiburan Indonesia, Erwin Gutawa menempati posisi yang unik. Dia sudah ‘terjun’ ke dunia hiburan sejak kecil. Yaitu dunia peran. Film-film yang diperaninya adalah: “Sebatang kara” (1973), “Jangan Kau Tangisi” (1974), “Permata Bunda (1974), “Fajar Menyingsing”.

Membaca judul-judul filmnya, sepertinya dia adalah pemeran utama. Dan konon, menurut para kritisi, film-film itu bukan film ecek-ecek dan akting Erwin kecil pun baik…(terus terang aku belum nonton).

Di dunia musik pun, dia juga menempati posisi unik. Pada usia remaja, ketika dunia peran mungkin tak lagi menarik minatnya, dia merambah ke dunia musik. Pada usian 18 tahun, dia sudah menjadi pemain bas, dari sebuah tayangan ‘tak main-main’ namanya Telerama. Tayangan itu salah-satu dari tayangan andalan TVRI. Personal band (orkestra?) lain yang dipimpin oleh Isbandi itu, beranggotakan musisi yang usianya jauh lebih tua. Mungkin ada yang seusia ayahnya.

Dia tak ‘merasa perlu’ menyanyi (atau dia pernah menyanyi, cuma aku saja tak mengetahuinya). Tapi, kejelian dan feel-nya (kata anak milenial) dalam ‘membaca’ karakter siapa yg pantas menyanyikan lagu apa, berjenis apa, itu sudah tak diragukan lagi.

Akan halnya Gita Gutawa, putri tunggalnya yang seperti disuportnya untuk juga terjun sebagai penyanyi. Tapi bukan karena dia kebetulan anak Erwin Gutawa yang dengan berbagai kemudahan menjadi sangat memungkinkan bagi anaknya untuk jadi penyanyi. Tapi karena Gita memang bisa menyanyi dan memiliki warna suara yang khas. Melengking, kadang lembut mengalun sesuai dengan nama depannya: Aluna. Dan… jernih. Sehingga banyak lagu Gita Gutawa menjadi hit. Bahkan ketika berduet dengan Vocalis Ada Band, hit berjudul “Ayah” bertahan cukup lama di tangga musik Indonesia.

Lalu, Erwin menjadi pemain keyboard dan menjadi komposer pada sebuah band fusion jazz (?) bernama Karimata. Band itu sukses, melahirkan hits dan juga sebagai band jazz-fusion yang disegani.

Selesaikah penjelajahannya? Belum.

Erwin Gutawa lalu ‘menemukan’ atau ‘melanjutkan karir lain’, melanjutkan perjalanannya sebagai musisi. Dia menjadi komposer. Dia mendirikan orkestra. Dia menjadi arenjer. Justru, di usia-usia dewasalah aku baru agak intens dan ‘ingin mengetahui’ karya-karya Erwin Gutawa lebih lanjut. Boleh dibilang setelah memasuki usia dewasa, barulah aku ingin ‘mengenalnya’.

Dia mulai memberanikan diri bereksperimen membuat konser tunggal. Karya-karya musiknya dinyanyikan oleh beberapa penyanyi.

Dalam suatu wawancara dengan seorang wartawan televisi di tengah-tengah persiapan konser yang diakuinya ‘sangat mendebarkan’ itu, dia mengatakan: “Ini adalah konser tunggal pertama saya yang bisa dikatakan eksperimen. Karya-karya musik saya yang dinyanyikan oleh bbrp penyanyi yang saya anggap bisa mewakili karakter dalam lagu. Ini boleh dibilang adalah konser pertama di Indonesia. Banyak orang mengatakan saya agak berspekulasi. Sukses atau gagal, secara performa atau finansial. Memang benar. Tapi saya sudah siap menjadi semacam kelinci percobaan, jika gagal”. Tapi ternyata konser itu sukses. Banyak kritikus ‘menobatkannya’ sebagai ‘jenius baru’ musik orkestra pertunjukkan Indonesia”.

Lalu, karya-karya masterpiece-nya tak terbendung. Konser Chrisye sungguh sebuah fenomena. Chrisye memang sudah terkenal dan banyak melahirkan hit dengan vocalnya yang khas. Saking khas-nya, kritikus mengistilahkan: lagu-lagu Chrisye tak enak jika dinyanyikan orang lain. Hanya Chisye-lah yang bisa menyanyikannya dengan enak. Tapi, tetap saja ada saat di mana beberapa lama Chrisye ‘hilang’ meski belum terlupakan. Di saat itulah muncul Erwin Gutawa memoles kembali kemilau Chrisye.

Ilustrasi: Erwin Gutawa, aku orat-oret dengan pensil dan akrilik di kertas bekas kalender berukuran sekitar 40x30cm…

Chrisye, penyanyi pemalu’ yang tak banyak gerak itu, bisa ditampilkan, disulap menjadi penyanyi atraktif dalam sebuah konser yang elok. Mulai dari penataan musik, penataan panggung, membuat Chrisye nampak lain.

Chrisye yang sebelumnya kaku dan cenderung dingin ketika menyanyi (meski tetap tak bisa dipungkiri warna vocalnya yang unik, orisinal dan melodius), bahkan Chrisye sampai mau bergoyang ketika menyanyi. Suatu konser yang fenomenal. Dengan bintang tamu tak terlupakan: Waljinah. Karena Erwin bisa menggabungkan aransemen musik yang dibuatnya, warna vocal Chrisye dan vocal Waljinah menjadi suatu warna musik yang apik, mengasyikkan, bahkan ajaib. Rekaman konser itu pun, sukses di pasaran!

Ketika ada kabar bahwa Erwin Gutawa akan membuat aransemen ulang lagu-lagu Koes-Plus, band legenda Indonesia th’70an itu, aku sempat bertanya-tanya dalam hati,… mungkinkah? Karena Koes Plus sudah memiliki ciri khas dan karakter yang sangat kuat. Lagu-lagu Koes Plus sudah sangat melekat di telinga dan hati para manusia jadul (dan juga jarang=jaman sekarang), bahkan ketika kita buru mendengar intro lagunya saja.

Tapi, di tangan (dan benak tentu) Erwin Gitawa, lagu-lagu Koes Plus, terdengar seperti lagu baru!. Dengan jeli (bahkan aku berani bilang jenius), lagu-lagu Koes Plus yg sangat beragam itu diaransemen menjadi lagu dengan karakter yg berbeda-beda (ndilalah) kok ya sesuai dengan karakter penyanyinya.

Dalam album “Salute to Koes Plus” yang elok itu, hampir semua penyanyi yang dipilih oleh Erwin Gutawa, sepertinya mengeluarkan seluruh kemampuan olah vocal dan karakter. Sejak Audy yang pas membawakan lagu “Bilakah kau pulang” dengan agak nge-rock dan pas. Ada Fadli vocalis band Padi, Glenn Fredly, Andy Riff/, Syaharani, dll. Armand Maulana membawakan lagu yang diaransemen ulang berjudul “Jemu” ciptaan Mury, sepertinya menyanyi dengan total. Yang mengejutkan, …Duta vocalis band Sheila on Seven, membawakan lagu “Bunga di tepi jalan” yang syairnya sangat simbolik itu dalam irama keroncong yang memelas dan pas!

(Aries Tanjung)

The Piano Man