Extravaganza Olahraga di Eropa

Oleh JIMMY S HARIANTO

Musim semi musim bercinta, musim panas itu extravaganza nya olahraga di Eropa. Ketika kemaren di Roland Garros Paris orang lagi sibuk nonton semifinal turnamen Grand Slam Perancis Terbuka Djokovic lawan jagoan tanah liat tenis, Rafael Nadal, pada saat yang sama di  Stadion Olimpico Roma Italia tengah berlangsung pembukaan dan partai perdana sepak bola Eropa, UEFA Euro 2020 antara timnas Italia vs Turki. Jam-jam yang sama di Flanders Belgia juga lagi seru dilangsungkan etape pertama balap sepeda. Nah, para penggemar Road Bike yang kini lagi ngetrend di Jakarta tentu ngebet nonton.

Televisi tentunya menjadi sibuk, hiruk pikuk. Jika ESPN dan ITV sibuk menyiarkan laporan pandangan mata pesta pembukaan salah satu pertandingan terakbar dunia, Piala Eropa UEFA Euro 2020 maka Fox Sports menayangkan semifinal tenis seru Roland Garros antara dua jagoan tenis dunia, yang keduanya memiliki jejak prestasi stabil – sesama juara-juara tenis Grand Slam. Euro Sports? Malah asyik sendiri menayangkan pertarungan para pembalap-pembalap Road Bike kelas dunia dari Eropa, di Flanders, Belgia. Di belahan dunia lain, jangan ditanya lagi. Musim panas memang musim pestanya olahraga di Eropa, meski pandemi melanda sekalipun.

Inilah asyiknya meliput olahraga Eropa di musim panas. Lapangan, stadion, kebun depan tempat event tenis maupun sepak bola menjadi tempat rekreasi sesaat, berjemur di matahari musim panas sembari lepas baju, telanjang dada menggolekkan diri di rerumputan. Dan ini tidak terjadi di Roland Garros yang tak jauh dari hutan Boulogne di pinggiran Paris, akan tetapi juga (nanti bulan depan) di Wimbledon – gelaran tenis dunia terakbar di lapangan rumput.

Tahun 1992 dan 1993, saat saya meliput di Roland Garros Paris, setidaknya partai pertarungan puncak ditayangkan langsung oleh 77 stasiun televisi dunia. Tahun-tahun serba real time kali ini, tentu jauh lebih banyak. Di ruang kerja para wartawan, Press Centre Roland Garros (kebetulan tahun 1993 saya beruntung mendapat meja kerja kecil setelah mendaftar meliput sekitar setahun sebelumnya) bahkan saya sempat disinggahi Suzanna Anggarkusuma, yang di Perancis Terbuka itu ia tampil main ganda bersama pemain top kita waktu itu, Yayuk Basuki. Numpang telpon ortu di Jakarta, kata Anna.

Suasana pertandingan sekelas tenis dunia, Grand Slam Perancis Terbuka, tidak hanya hingar-bingar karena serunya pertandingan. Akan tetapi, di tribun-tribun kelas “festival” di Roland Garros, banyak orang bertelanjang dada. Berjemur, memanfaatkan matahari musim panas sembari menonton bintang tenis dunia yang tengah berlaga. Berbeda dengan Wimbledon yang lebih formal. Setiap pemain pun kudu menghormat lebih dulu ke para tamu VIP di deretan Royal Box di tribun…

Foto Jimmy S Harianti

Tim Belanda ketika melakukan pertandingan uji coba di Den Haag, Belanda sebelum mereka berangkat ke Piala Dunia AS 1994. Saya singgah di Belanda, untuk menelusuri latihan tim Oranye yang waktu itu difavoritkan juara dunia, meski ternyata nggak juara. Beruntung saya bisa ambil foto dari jarak dekat di tribun Den Haag, pemain top mereka Ruud Gullit sedang melakukan pemanasan, suasa tribun sebelum “Oranje Goes to America” serta pelatih tim Belanda, Dick Advocaat

Di Wimbledon, Inggris beberapa minggu berikut setelah Roland Garros tidak heran jika di ruang pers, Press Centre untuk liputan tenis, monitor di ruangan itu tidak hanya menyiarkan pertandingan yang tengah berlangsung di stadion. Akan tetapi juga tayangan langsung sepak bola Piala Eropa yang memasuki babak-babak akhir. Sungguh seru. Ada yang menonton balap mobil yang tengah berlangsung di AS, ada yang nonton tenis di stadion sebelah, dan fanatikus sepak bola tak kurang juga mengerubungi layar monitor yang menayangkan pertandingan sepak bola Eropa. Tidak lupa, berteriak hingar bingar jika gol tercipta menggelegar di ruang pers, membuat sewot wartawan fanatikus tenis yang tengah konsen nonton tenis. Ambyaar, pokoknya….

Accredited Journalists, wartawan-wartawan yang terakreditasi oleh panitia Grand Slam memang tidak mudah mendapatkan akses. Ia harus lebih dulu mendaftar setahun sebelumnya, kudu mengisi formulir akreditasi yang diminta dari panitia melalui surat menyurat, jauh-jauh hari sebelumnya, dengan diketahui pimpinan perusahaan serta pimpinan redaksi masing-masing. Kalau tak mendaftar jauh-jauh hari, ya nggak dapat fasilitas meliput, dan juga meja, sambungan komunikasi (telephone booth) di masing-masing meja. Setengah mati bikin laporan berita ke kantor, jika tak kebagian meja. Membuang duit lebih banyak.  Jangankan meja. Tanpa kartu identitas (id cards) sebagai wartawan terakreditasi, nggak bakal boleh gentayangan di area pers. Terlarang untuk non pers. 

Atlet pun dilarang masuk ruang kerja pers. Atlet Suzanna bisa berhasil nyelonong ke meja saya, karena ia bukan atlet kelas dunia yang dikenal wajahnya. Dibiarkan lolos oleh penjaga ruang pers. Akreditasi pers pun lihat-lihat golongannya. Wartawan Asia, terbanyak dapat akses adalah wartawan Jepang, yang memang memiliki petenis-petenis internasional lebih banyak ketimbang Indonesia. Kartu identitas yang saya pakai, sangat terbatas (limited access) dan bukan all access seperti umumnya wartawan Eropa, Amerika, Jepang, Australia. Mau nonton pertandingan top di stadion utama (main stadium)? Ya kudu antri dulu, minta akses harian ke panitia turnamen untuk bisa duduk di tribun.

Di pertandingan sepak bola? Wah, peliputnya jauh lebih collosal. Ketika suatu ketika ditugaskan meliput final Piala Champions di Wembley London maupun final di Athena Yunani pada kesempatan yang lain, saya malah kudu melengkapi kartu identitas pers internasional. Waktu itu, saya mengurus  terlebih dahulu keanggotaan (yang berlaku setahunan) sebagai wartawan olahraga internasional. Untuk melakukan wawancara khusus dengan Michel Platini pada tahun 1993, ketua panitia Piala Dunia Perancis 1998, saya kudu mengurus izin khusus dulu ke kantor UEFA di Paris. Baru boleh menemui secara langsung mantan bintang top dunia dari Perancis ini, di kamar kerjanya. Ketika wawancara dengan Platini pun, saya malah balik “diwawancara”:

“Amazing, bagaimana kamu di Indonesia bisa berbahasa Perancis? Apakah bahasa Perancis diajarkan di negerimu?” kata Platini. Dan baru mendengar saya mengucapkan “Bonjour monsieur… ,” ketika masuk ruang kerjanya di Champs d’Elysees Paris pun, Platini langsung tersenyum. Padahal, omong Perancis pun grothal-grathul. Patah-patah seperti orang Afrika. Pakai bahasa Inggris kalau terpaksa. Dan jurus terpaksa lainnya? Pakai bahasa tarzan, gerak tangan saja kalau mengalami mental block, kelupaan mengingat perbendaharaan kata Perancis yang lama nggak saya pakai. (Lumayan, wawancara tanya jawab dimuat di halaman terdepan Kompas waktu itu).

Apa untungnya meliput sebagai wartawan terakreditasi? Ya mendapat informasi prima dalam waktu yang cepat. Setiap hari, di rak-rak fotokopi untuk pers, tersedia press kit yang sudah disalin berpuluh-puluh lembar. Berisi catatan peristiwa-peristiwa yang terjadi sepanjang hari itu, hari kemaren, atau yang akan digelar esok. Bagi yang ketinggalan kesempatan wawancara dengan atlet top dunia di ruang wawancara, bisa mendapatkan cuma-cuma pula berlembar-lembar tanya jawab lengkap dalam bahasa Inggris. Ibaratnya, bahan untuk ditulis bisa berlimpah. Mau nulis wawancara lengkap, atau petikan pertandingan, semua ada. Tidak perlu membuang waktu menunggu yang ditulis oleh kantor-kantor berita. Bisa terpaut waktu dua tiga jam menunggu ulasan kantor-kantor berita, setelah peristiwa olahraga berlangsung. 

Kita ingin wawancara khusus? Tinggal mendaftar ke panitia, dan menunggu kesediaan atletnya untuk diwawancara khusus. Etika yang dipakai di setiap turnamen olahraga, atlet tidak boleh mengabaikan wartawan jika ditanya di ruang pers ataupun jika ia melayani wawancara khusus di kursi-kursi ruang pers. Tetapi jangan coba-coba wawancara di luar ruang pers, atau lagi ketemu di lorong saat pemain mau turun bermain. Bisa ditegur keras petugas pers, dan bisa kena sanksi. Sebaliknya juga para atlet dunia itu. Menolak tampil di jumpa pers setelah main di lapangan? Pasti kena sanksi denda ribuan dollar. Seperti yang dialami petenis Jepang, Naomi Osaka yang didenda ribuan dollar gara-gara mangkir dari jumpa pers wajib usai bertanding.

Menyaksikan petenis top dunia bergoyang ketika siap menerima  servis tenis? Tinggal menunggu jadwal mereka main di lapangan luar, di lapangan bukan stadion utama. Kita akan bisa melihat hanya beberapa meter dari belakang punggung dan pinggangnya. Bahkan aroma pemain pun seolah kita bisa cium dari belakang punggungnya…

Menu makanan bagi pers? Tidak pernah ada makanan nggak enak, di ruang pers sekelas turnamen tenis Grand Slam seperti Roland Garros, Wimbledon ataupun Australia Terbuka di Melbourne Australia. Saya justru paling suka, menu di Roland Garros ketimbang di Australia Terbuka di Melbourne, atau Wimbledon di London. Menu makanan pers di Roland Garros tidak hanya menu Eropa, tetapi juga menu yang cocok untuk lidah Asia, karena memang banyak sekali wartawan-wartawan Jepang yang datang meliput. Ada nasi, ada daging, dan lauk yang berselera.

Foto Jimmy S Harianto, 1994

Apa keuntungannya meliput bagi jurnalis masa kini, di era serba digital dan serba seketika melanda dunia? Wartawan itu saksi peristiwa, kata Pak Jakob Oetama. Tentu jauh lebih untung nonton langsung ketimbang menunggu berita dari tayangan televisi di kampung, atau bahkan nunggu artikel yang ditulis kantor berita. Pasti lebih cepat di ruang pers turnamen, dan isi pun bervariasi. Tinggal maumu menulis apa. Apalagi di bulan Juni, Juli, Agustus saat musim panas melanda Eropa. Saat extravaganza olahraga dunia…. *

*Jimmy S Harianto adalah mantan jurnalis senior Harian Kompas

Avatar photo

About Harry Tjahjono

Jurnalis, Novelis, Pencipta Lagu, Penghayat Humor, Penulis Skenario Serial Si Doel Anak Sekolahan, Penerima Piala Maya dan Piala Citra 2020 untuk Lagu Harta Berharga sebagai Theme Song Film Keluarga Cemara