Fauna Indonesia: Musang Luwak Penghasil Kopi Luwak

Di antara para musang, rasanya Musang Luwak memang paling populer, karena hidup menyebar, mulai dari India, Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Tiongkok selatan dan Asia Tenggara, khususnya Khmer, Semenanjung Malaya dan Filipina

Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI

MAS GESANG, sohib Resti di ASEAN Secretariat, menghadiahkan saya seekor Musang Luwak (Paradoxurus hermaphorditus). Hewan menyusui (mamalia) yang di Betawi disebut Musang, Luwak (Jawa), Lasun (Sunda) dan para sedulur pesepakbola Beckham menyebutnya Common Musang, Common Palm Civet atau Yoddy Cat

Jantan kah? Atau betina? Saya belum periksa, apakah kelaminnya dekat anus dan memiliki tiga pasang puting susu (menandakan dia betina), atau jantan yang posisi kelaminnya dekat pusar? Yang pasti hewan pemakan segala (omnivora) ini bertubuh sedang, dengan panjang total sekitar 90 cm (termasuk ekor, sekitar 40 cm atau kurang). Abu-abu kecoklatan dengan ekor hitam-coklat mulus.

Sebagaimana kita semua tahu, ada banyak jenis musang yang yang berkerabat dekat dengan Garangan (Herpertes javanicus) ini. Ada Musang Akar (Arctogalidia trivirgata) yang biasa hidup di hutan, dengan ekor yang biasanya lebih panjang dari kepala dan tubuhnya, dan punggungnya punya tiga ‘garis’ yang nyaris tidak putus, serta tak punya ‘tanda’ bitnik-bintik di sisi tubuhnya.

Ada pula Musang Galing (Paguma larvata) yang bulunya tengguli (kemerahan) tanpa bintik-bintik di sisi tubuh, wajah putih kekuningan dengan topeng gelap kehitaman di sekitar mata. Jenis lainnya adalah Musang Rase (Viverricula indica) yang ekornya belang-belang sempurna, hitam putih, lompatannya gemulai dan indah, menginspirasi komikus Hans Jaladara mencipta tokoh Si Rase Terbang.

Jalan pagi di punggung Si Nona saat Car Free day di Kota Cirebon – Foto Heryus Saputro Samhudi

Musang marga Paradoxurus, selain Paradoxurus hermaphroditus yang sedang ‘bertamu’ ke rumah saya, punya tiga saudara, yakni Paradoxurus jerdoni yang menyebar terbatas di negara bagian Kerala di selatan India; Paradoxurus lignicolor yang menyebar terbatas di Kepulauan Mentawai di lepas pantai barat Sumatera Barat; serta Paradoxurus zeylonensis yang menyebar terbatas di Sri Lanka.

Di antara para musang, rasanya Musang Luwak memang paling populer, karena hidup menyebar, mulai dari India, Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, Tiongkok selatan dan Asia Tenggara, khususnya Khmer, Semenanjung Malaya dan Filipina.

Di Indonesia didapati di sekujur Sumatera, Kepulauan Riau, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, Sulawesi bagian selatan, serta Taliabu dan Seram di Maluku.

Musang Luak amat pandai memanjat dan bersifat arboreal, lebih kerap berkeliaran di atas pepohonan, meski tidak segan pula untuk turun ke tanah. Bersifat nokturnal, aktif di malam hari untuk cari makanan dan aktivitas lainnya. Di alam liar, musang kerap dijumpai di atas pohon aren atau pohon kawung (Musang Luwak adalah penyebar vegetasi pohon aren), rumpun bambu, dan pohon kelapa

Namun begitu, Musang Luwak juga bisa disebut sebagai hewan kota karena kerap ditemui di sekitar permukiman dan perkotaan. Saya ingat, awal periode tahun 1960-an, Pak Samhudi ayah saya, berhasil menangkap seekor yang bersarang di wuwungan atap kantornya, Djawatan Peralatan Angkatan Darat (DPL-AD) di Jalan Kramat Raya Jakarta Pusat, yang kini menjadi RS TNI-AD Hasan Maureksa.

Di halaman rumah besar yang sedang ditanganinya pula, Mas Gesang menangkap Musang Luwak yang kini di rumah kami. “Masih anak waktu itu. Ada tiga ekor beriring-iring mengikuti induknya. Seekor tertangkap, dan lainnya kabur manjat ke pohon manga kwini, dan kini balik bersarang di wuwungan rumah,” kata Mas Gesang saat serah-terima itu hewan untuk kami pelihara.

Ya, Musang Luwak memang bisa jadi pet, hewan peliharaan yang jinak. Di lapang rumput Kota Tegal, pernah saya lihat Klub Civet menikmati minggu pagi sambil berlari-lari bareng hewan-hewan jinak peliharaannya itu. Juga saat berlangsung Car Free Day di jalan utama Kota Cirebon, dekat Lapangan Kejaksan, ada seorang nona cantik wara-wiri sambil memanggul Musang Luwak di punggungnya.

“Eh…, selain keripik ikan dan pisang kepok, jangan lupa juga kita sediakan dia buah kopi ranum matang pohon, Terserah mau jenis arabica atau robusta,” kata Resti, mengingatkan. Saya mengangguk-angguk, ingat para sedulur di Liwa – Lampung Selatan, dan Desa Glenmore di Banyuwangi, yang hidup sejahtera bersama Musang Luwak di kandang lebar yang diberdayakannya menjadi mesin produksi Kopi Luwak. ***

20/12/2021 PK 09:26 WIB

Avatar photo

About Heryus Saputro

Penjelajah Indonesia, jurnalis anggota PWI Jakarta, penyair dan penulis buku dan masalah-masalah sosial budaya, pariwisata dan lingkungan hidup Wartawan Femina 1985 - 2010. Menerima 16 peeghargaan menulis, termasuk 4 hadiah jurnalistik PWI Jaya - ADINEGORO. Sudah menilis sendiri 9 buah buku.