Ragam bumbu jadi, produk pabrikan, tak lantas membuat profesi peracik bumbu tradisional menjadi lenyap. Berbeda dengan media-cetak seperti koran dan majalah yang tenggelam setelah zaman e-paper, para tukang bumbu (paling tidak di Indonesia) masih bekerja meracik bumbu langsung dan terbuka tanpa rahasia, sesuai permintaan pembeli dan pelanggan. Di pasar – pasar tradisional.
Oleh HERYUS SAPUTRO SAMHUDI
Seide/id 04/07/2023 – Seperti masakan kurang bumbu. Begitu kata pepatah ihwal sesuatu barang jadi yang ditampilan, tapi dirasa kurang mengena karena ‘kurang bumbu’ penopangnya. Dalam kontek nyata, apapun masakan itu, diolah dari bahan pangan eksklusif dan mahal sekalipun, tak akan ‘sreg’ di lidah para pemikmatnya jika kekurangan bumbu. Dengan kata lain, apapun olahan kudu pas bumbunya.
Bumbu atau spice kata Thomas Stamford Raffles, Gubernur Jawa 1811 – 1815, sudah jadi bagian kebutuhan harian peradaban sejak manusia kenal budaya masak-memasak makanan. Dongeng kambing yang tak sengaja terbakar hangus misalnya, ‘daging bakar’nya ternyata jauh lebih enak disantap setelah potongan daging tersebut (lagi-lagi tanpa sengaja) tercelup ke air laut yang mengandung garam.
Garam sebagai penyedap rasa makanan, bisa jadi merupakan jenis bumbu pertama yang dikenal peradaban (kuliner) manusia. Setelah itu, berbagai ingredients atau bahan-bahan numbu lainnya, baik berupa mineral alam maupun elemen dan bagian tumbuhan. dicari dan ditemukan, hingga memperkaya garam (gula dan asam) sebagai bumbu masakan.
Kini siapapun orang yang hendak masak-memasak sesuatu, tak kan pernah lupa untuk juga menyiapkan bumbu, agar bahan pangan pokok yang sudah dibeli atau dipungut dari alam, bisa diolah menjadi hidangan lezat karena pas bumbunya. Secara klasik bumbu diracik dulu sebelum masak-memasak, sampai kemudian (memanfaatkan orang yang tak mau repot) hadir ragam jenis bumbu produk pabrik.
Untuk masak-memasak, kini siapa pun dimana pun memang nyaris tak perlu lagi mengolah bumbu, karena bumbu jadi dalam kemasan kedap udara dijual nyaris di mana-mana. Cara masak-memasak gaya baru ini sudah menjadi trend dunia. Yang butuh bumbu tinggal pergi ke toko atau warung di kampung. Tak perlu lagi repot-repot meracik bumbu. Yang penting, bahan utama untuk dimasak sudah disiapkan.
Uni Rosa di warung aneka bumbu racikan yang dijualnya, di pasar Renijaya, Bojong Sari, Depok. foto :Heryus SS
Namun begitu, ragam bumbu jadi produk pabrikan tak lantas membuat profesi peracik bumbu tradisional menjadi lenyap. Berbeda dengan media-cetak seperti koran dan majalah yang tenggelam setelah zaman e-paper, para tukang bumbu (paling tidak di Indonesia) masih bekerja meracik bumbu langsung dan terbuka tanpa rahasia, sesuai permintaan pembeli dan pelanggan.
Tidak percaya? Datang saja ke pasar-pasar tradisional, yang sudah dipermoderen ataupun yang lantainya masih becek. Bisa dipastikan akan selalu Anda temukan kios atau lapak penjual sekaligus peracik bumbu dapur dikerumuni para pecinta bumbu basah, istilah lain untuk bumbu masak yang diolah/diracik langsung (bukan sachet pabrikan) untuk juga digunakan langsung hari itu juga.
Ada dua type orang pembeli bumbu dapur. Pertama yang membeli bumbu mentah semisal untuk bumbu Sayur Lodeh, maka ragam bahan bumbu (daun salam, daun sereh, bawang merah, ketumbar dan lainya) dibeli unuk diracik sendiri di rumah. Tapi untuk masak rendang, opor dan bumbu lain yang lebih kompleks, bumbu basah ini yang biasa dibeli orang dalam bentuk sudah diracik halus di lapak bumbu.
Seorang tukang bumbu yang kami kenal adalah Uni Rosa yang punya lapak bumbu basah di Pasar Renijaya di Kampung Pondok Petir, Bojongsari, Depok, Jawa Barat. Beda kota beda provinsi dengan rumah kami yang sama di Renijaya, tapi masuk wilayah administratif Desa Pamulang Barat, Pamulang, Tanggerang Selatan, Banten. Namun cuma butuh jalan kaki sepuluh menit untuk ke lapak Uni Rosa
Tak cuma di saat-saat menjelang Hari Raya orang mmburu bumbu basah Uni Rosa, tapi tiap hari lapak bumbunya nyaris selalu riuh dikerumuni calon pembeli yang berebut minta dilayani. Sebungkus bumbu rendang untuk 1 Kg daging berkisar antara Rp 5000 s/d Rp 10.000 “Tergantung mau jadi enak atau sedang-sedang saja rasanya,” gurau Uni Rosa yang bumbunya juga dipesan banyak Restorang Padang. ***
HERYUS SAPUTRO SAMHUDI – SEIDE 07/07/2023 PK 17:11 WIB.