Oleh EFFI S HIDAYAT
Dia berjalan megal-megol, tangannya kemayu tak bisa diam. Sebentar melirik, sebentar tersenyum. Ada kursi di depannya, tetapi tak ia pedulikan. Namun tiba-tiba ia balik body, berusaha duduk di sana, walau bokong bahenolnya jelas-jelas tak muat dan ia mengumpat dengan lengkingan genit.
“Diamput! Eee…diamput!”
Grrrr! Panggung seolah bergetar menampung tawa orang-orang yang tiba-tiba meledak. Termasuk aku. Senyumku melebar, walau tak lama. Karena aku tahu, seusai ini, dia akan mengeluh di depan meja rias sembari menghapus make up-nya keras-keras.
“Ha, matik akuuu! Apalagi yang ku katakan besok? Kayakne bakalan mati gaya, aku bosan…bosaaan! Capeek! Kepingin liburan, ke mana ya, Yang? Opo meneh, kita pergi ke surga saja?” Seringai tawanya mendadak berujung isak. Selalu begitu. Siapa yang tahu ulahnya di balik panggung, kecuali aku?
Aku menghela napas panjang, meremas bahunya, ” Ayo, kita pulang sekarang….”
Dia menggeleng. “Kita ke hotel saja Yang. Ada barang baru….” Lalu ia menggandengku cepat-cepat walau kali ini gantian aku yang menggeleng namun lagi-lagi tak berdaya.
Dan, dua puluh menit kemudian, di sinilah kami berada. Sebuah kamar di hotel mewah berbintang lima.
“Iniii…jajallah. Nikmat…!” Ia mengeluarkan serbuk-serbuk putih itu dari dalam tasnya tergesa.
Aku tercekat, ingin menolak, tetapi sungguh tak bisa. Teriakannya samar-samar mampir di telingaku, “Kita ke surga sekarang, Yaaang….” Lalu,
ia melempar tubuh besarnya ke ranjang.
Berdebum keras. Sempat kudengar ia mengeluh, “Hiyaaa, kapan sih, tubuhku bisa langsing bugaaar lagiiii?” Tangisnya pecah dan perlahan berubah menjadi rintihan ketika kupeluk bahunya yang berguncang sembari ber- ‘hus-huss…’ berusaha menenangkan.
Usahaku berhenti cuma sampai di situ, karena tak lama aku pun sudah “melayang’ bersama dia. Masih sempat kubisikkan kalimat di sisi telinganya yang menggemaskan, “Kita harus berhenti, Nung…kita harus berhenti. Sampai kapan ini kita lakukan?”
Namun dia menggeleng. Terus menggeleng. Seterusnya aku tak ingat apa-apa lagi. Dan, di sinilah kami berakhir sekarang. Inikah perhentian aku dan Nung?
“Kalian berdua ditangkap, mengonsumsi sabu bukan perbuatan bermoral yang bisa ditolerir di negeri ini!”
Mataku membelalak lebar. Di sisiku, Nung, isteriku — komedian terkenal seIndonesia itu melenguh merintih bak anak sapi yang kehilangan induknya. Wajahnya pucat lesi. Bibirnya bergetar menahan tangisnya yang telah meledak sehabis-habisnya
” Ya, Gusti, aku sudah gagal menjadi imam baginya. Aku tak mampu menghibur dirinya. Aku bahkan terseret arus duniawi bersama dirinya.” Batinku ikut tersedu sedan, “Apa yang kau cari, Nung?”
Pertanyaan yang mendadak melompat terlontar dari kepalaku tak bertemu jawab. Polisi sudah meminta aku dan Nung menyodorkan kedua tangan kami untuk diborgol.
Perlahan-lahan masih tak rela, seperti mimpi yang terputus, kami berdua melakukan permintaan itu. Lalu, digiring melangkah ke luar…mau dikemanakan muka ini, duh?
Rumah tahanan sudah menanti . “Apa yang kau cari, Nung? Apa yang kita cari sebenar-benarnya?” Pertanyaan itu masih belum malas menggedor-gedor. Terngiang-ngiang, tak terjawabkan….