Oleh EFFI S HIDAYAT
“Apa yang kau cari?”
“Kunang-kunaaang…,” jawabnya tergesa, lalu meloncat-loncat lagi, berlari lincah.
Lihat saja! Di pematang sawah ia menandak-nandak, tak takut jatuh. Malah aku yang menjerit-jerit mengingatkan. Dan, Kenang hanya tertawa riang. Sesekali menengok ke arahku, sebelum kembali melompat lagi.
Hup-hup-hup… kali ini tangannya seolah menangkap sesuatu. Makhluk yang melayang-layang itu, yang kerap dirindukannya. Setiapkali malam menjelang tiba, ia mencari kunang-kunang. Sayangnya, kunang-kunang tak pernah datang lagi. Entah mengapa … tanyanya sendu. Begitu selalu.
Itulah sebabnya, tidak hanya saat malam tiba, pagi subuh seperti ini pun – tatkala bulan dan bintang sembunyi di peraduan, Kenang kembali mencari-cari kunang-kunang yang dirindukannya.
“Ibu, mengapa Ayah tak pernah datang lagi membawa kunang-kunang untukku?” desahnya perlahan, setelah lelah berlari-lari dengan kaki mungilnya. Hitam terbenam jejak lumpur di pematang.
Aku memandang ke langit. Mataku mendadak buram berselaput air yang mendesak keluar. Ah, bagaimana harus kuceritakan kepadanya, bahwa ayahnya tidak akan pernah datang lagi membawa kunang-kunang idamannya. Bagaimana harus kukisahkan… lelaki kami yang tercinta itu telah tiada.
Saat ia mencari kunang-kunang yang bercahaya untuk Kenang, putrinya …ia tertembak peluru nyasar pemburu kejam yang datang dari . kota. Memorakporandakan rumah kunang-kunang kami.