Oleh EFFI S HIDAYAT
Seraup permen cokelat dalam genggaman tangan mungil itu berayun-ayun di depan mataku. “Ayo, Ninie… ambiiil,” matanya mengerjap berbinar. Kuncir di kepalanya ikut bergoyang seirama gerakan kepala.
Aku ragu, membeku di meja kerjaku. Sedari pagi sudah berjam-jam aku memelototi layar monitor PC-ku. Tetapi, naskah yang kucari tak jua muncul. Hanya sekali ketukan jari, kejadiannya kemarin, aku histeris kehilangan 62 halaman tulisanku.
Entah ke mana larinya dia! Scroll up jumpalitan pun, jejak historinya sama sekali tak ada. Mau menangis, menjerit, jambak -jambak rambut tak ada gunanya. Yang jelas, mood-ku jadi jelek. Dan, si kecil Rumi terkena imbasnya. Ninie yang memang tak pernah ramah kepadanya sejak ia lahir, pastilah semakin judes saja di matanya!
Ah, aku memang tak pernah suka anak kecil. Bayi, apalagi balita seperti Rumi.Di mataku, mereka cuma monster yang beralih rupa! Hmm, tapi… permen cokelat yang diacungkan Rumi kepadaku…. Bukankah itu permen cokelat kegemarannya, yang tak pernah mau dibagikannya kepada siapa pun, termasuk orangtuanya sendiri?
Mengapa rela diberikannya kepadaku?
“Ayo, ambil, Nie… enyaaaak ,lho! Ninie nanti tak sedih lagi, kayak Rumi kalau lagi dicuekin Ninie…,” semua permen itu lalu ditaruhnya di tanganku. Malah kemudian dengan hati-hati dibuka bungkusnya satu, dan disuapkan ke mulutku. Lalu, ia tertawa riang.
Entah rasa cokelat yang lumer di mulut, ataukah ketulusan si kecil Rumi yang membuatku meleleh…dan, voila! Benar, katanya, kesedihanku, kekesalanku mendadak melipir pergi.
Duh, duh, Rumi. Aku terenyuh, anak kecil pun tahu kalau dia dicuekin. Maafkan Ninie, ya. Ninie janji akan menyayangi- mu sepenuh jiwa. Ya, bagaimana mungkin nenek lampir sepertiku, selama iniiii tega mengabaikan malaikat secantik Rumi?